Kamis, 19 Oktober 2017

Pendidikan Katekisasi Gereja

 “AJARLAH MEREKA MELAKUKAN YANG TELAH KUPERINTAHKAN” (Mat. 28:19,20):Kualitas Kristiani Menurut Pendidikan Katekisasi

A.     Akar Sejarah Pendefinisian “Katekisasi Gereja”
Di sini rancang bangun teologis dan sejarah untuk katekisasi sudah seharusnya dilangsungkan dalam bingkai timbal balik sebagai sebuah bentuk pendidikan. Di antaranya mesti melihat sumbangan pikiran-pikiran teologis tentang pendidikan Kristen dimulai dengan mencari definisi yang dibuahi dalam sejarah perkembangannya.
1.       Mencapai Kesepakatan Untuk Memahami Katekesasi: Akar PL dan PB dan Sejarah Gereja
Katekesasi adalah sebuah kata Kristen yang kuno. Sebuah istilah milik gereja. Sering kata ini memperoleh tempat yang familiar sejak dulu di kalangan umat dan teolog Roma Katolik, kemudian pada perkembangan Protestan hingga saat ini. John Westerhoff mengusulkan gagasanyang ia usulkan bahwa agar gereja-gereja Protestan dan Katolik Roma dapat bersatu dalam hal mengenali pelayanan pendidikan di gereja sebagai ‘katekese’ dan mengarahkan perhatian pada hakikat katekese.[1] Untuk mencari hakekat yang dimaksud, baiknya dimulai dengan memperkenalkannya secara akar kata menurut dua tradisi kebangsaan besar yang mendasari Alkitab, yakni tradisi Yahudi dan Yunani, serta sejarahnya dan arus perkembangan tempat katekisasi dalam pandangan pendidikan Kristen kontemporer.  
a.       Yang terdahulu ialah tradisi Yahudi.
Dalam tradisi Yahudi, pendidikan telah merupakan alat vital (sangat penting bagi kehidupan dan) pembangunan bangsa. Sejak dulu, khususnya pasca eksodus (keluaran) dari Mesir, tentulah merupakan sebuah kewajiban sipil bagi para orang tua untuk menuturkan secara oral (melalui pembicaraan langsung dari mulut) mau pun tertulis tentang peristiwa eksodus bangsa mereka sebagai perbuatan Allah, Tuhan umat Israel (Ulg. 6:20-25; Maz.78:1-7, dll). Hal ini kemudian diteruskan menjadi kebiasan dan mentradisi dengan kuat sekali. Kebiasaan ini dilakukan berulang-ulang, di mana pun, kapan pun secara terun-temurun, dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
Para orang tua berkewajiban memberi pengajaran kepada anak-anak mereka tentang perbuatan Allah. Tanggung jawab wajib itu, tentu saja dilakukan dalam lingkungan domestic (tiap rumah tangga), di tempat mana saja terdapat interaksi public (tempat umum: ladang, atau tempat ramai sekalipun saat berjalan, duduk/berdiri) dan kerumahtanggaan (di rumah, tempat tinggal. Ulg. 6:7). Dengan begitu, bangsa ini memiliki tradisi mendidik yang kuat dengan metode penuturan yang berulang-ulang dengan makna yang ditarik secara konsekuen. Para orang tua tidak saja menuturkan apa yang diperbuat Allah terhadap umat Israel saat di Mesir (historie), tetapi juga mereka menuturkan makna/maksud dari kisah sejarah itu (geschichte).
Pada tahap pendidikan Yahudi seperti ini, akan dengan mudah dikategorikan sebagai pendidikan dalam periode sebelum pembuangan. Rincian penjelasan mengenai masa ini, sbb:
1.       Masa Sebelum Pembuangan (Pra-exilic)
Disebut pra-exilic, oleh karena sejarah umat Israel diwarnai dengan peristiwa pembuangan ke negeri lain.[2] Jika dicermati, pendidikan di periode ini memiliki kekhasan tersendiri. Keluarga saat itu, sekali lagi, merupakan muara dan basis pendidikan. Para orang tua memegang sebagian besar peranan yang berarti. Walau demikian belum ada lembaga resmi bagi proses pendidikan dan sistemnya.[3] Kurikulum utama pada periode ini ialah sejarah perjalanan pemilihan umat oleh Allah, sebagai miliki pusaka-Nya. Allah yang menyatakan diri pada umat Israel sebagai natur pendidikannya yang menguatkan jati diri umat Israel. Di samping itu ajaran tentang manusia sebagai ciptaan Allah juga merupakan thema besar pendidikan Yahudi. Untuk memperoleh skema yang cukup terang, baiknya memerhatikan runtut pokok ajaran yang disajikan mantan pengajar Pendidikan Agama Kristen di STT Jakarta selama 25 tahun, Robert R. Boehlke:
Pemilihan Abraham dengan keturunannya (pemilihan umat), penciptaan langit dan bumi (penegasan penyataan diri Allah sebagai Allah monoteis bagi umat), pembebasan dari perbudakan di Mesir (karya besar Allah bagi umat), pemberian perjanjian/hukum Taurat (landasan konstitusional umat), pendudukan tanah yang dijanjikan (realisasi janji), permulaan kerajaan dan kesaksian para nabi tentang kecenderungan umat Israel menyeleweng dari persyaratan yang termuat dalam perjanjian.[4]
2.       Periode sesudah Pembuangan (Post-exilic)
Periode ini menggambarkan sebuah proses umat dalam melakukan pemulihan (restorasi) diri dan memusatkan kembali hidup (reorientasi) pada Allah secara tegas. Itu berarti terdapat pergeseran atau perkembangan yang cukup berarti. Restorasi berhubungan dengan memulihkan kondisi yang kacau balau saat pembuangan. Sedangkan reorientasi berhubungan dengan mengantisipasi dampak buruk missorientasi (hal-hal yang berhubungan dengan hambatan yang menghalangi orang Israel untuk kembali setia sebagai) umat dari Allah serta identitas diri, misalnya pada generasi yang lahir di tempat pembuangan, bahaya pencampuradukan agama (menyembah Allah sambil menyembah dewa-dewi dari agama bangsa lain), kecacatan dalam mengenal Allah sebagai Tuhan dari umat dan kelunturan tradisi serta ras. Sehingga diupayakan pengorientasikan ulang umat kepada Allah (bnd. Konteks  Pengkhotbah dan kutipan Ams. 22:6).
Pada perkembangan pertama dari masa ini, jika dibanding dengan pre-exilic terjadi pada cara penyampaian pendidikan. Penyampaian isi pendidikan umat Israel pada masa pre-exilic sangat lisan (tuturan mulut dan cara melakukan), sedangkan saat periode ini, isi pendidikan mesti diwariskan secara tertulis. Beberapa ahli menyebut masa ini sebagai masa ‘melek aksara’.[5] Masa pewarisan secara tertulis. Kedua, ialah sifat pendidikan saat itu semakin kultis (disampaikan dalam ibadah-ibadah di Sinagoge:tempat ibadah orang Yahudi). Ketiga ialah kebutuhan akan lembaga ‘resmi’ pendidikan lain, di samping keluarga, seperti sinagoge, pusat ibadah dan pendidikan local.[6] Keempat, adanya penyerahan pendidikan yang ditangani di sekolah dan guru.[7] Pada masa ini, tugas pendidikan diarahkan pada memulihkan dan meninjau kembali status dan orientasi umat. Metode pendidikan biasanya ialah menghafal secara harfiah. Walau demikian, akhir dan muara dari semua proses pendidikan ini akan ditindaklanjuti dalam keluarga dengan orang tua sebagai pendidiknya.
a.       Para Pendidik Umat Allah Dalam Perjanjian Lama
Selain orang tua yang melakukan kewajiban pengajaran, setelah membagi secara strategis periode pendidikan Yahudi, Matias Preiswerk, penggelut teori pendidikan Kristen, membantu menginventarisir agen-agen pendidik lain dalam PL menurut identifikasinya secara konklusif.
Di urutan pertama ada para nabi. Tujuan nilai pendidikan dari setiap tugas dan karya nabi ialah merealisasikan (baca: mewartakan dan menentang kekangan dosa dan penjajahan umat) pembebasan, misalnya yang paling terkenal ialah Musa. Isi berita mereka ialah pengungkapan isi hati Allah dengan perkataan yang sesuai dengan zamannya untuk mengonfrontasikan umat-Nya dengan harapan akan memulihkan bangsanya sekaligus pemimpinnya. Metode para nabi ialah pewartaan Firman yang bersifat teguran, janji-harapan, ancaman, dan tindakan simbolis (tanda-tanda mukjizat). Posisi kedua ada imam. Peran imam juga cukup sentral dan strategis. Tujuan pendidikan mereka ialah meneruskan tradisi umat. Konten pengajaran mereka termuat dalam semua ritus atau praktik agama dan hukum-hukum. Mereka biasanya memusatkan pendidikan di Bait Allah.
Berikut, yang memegang pengajaran moral praktis disertai asupan-asupan arah hidup ialah “para bijak”. Mereka ini dalam PL memiliki tujuan pendidikan ialah mengarahkan secara moral agar hidup umat secara individu/komunitas menuju arah yang bajik bagi yang mau menerima pengajaran. Konten pengajaran mereka berasal dari wejangan-wejangan reflektis-obyektif tentang hidup umat itu sendirian atau dari pengalaman dan hakekat hidup sebagai manusia di hadapan Allah. Metode mereka ialah verbalisasi pengajaran hikmat. Sedangkan, para bijak ini mengonsentrasikan pengajaran mereka di istana atau di pintu-pintu gerbang kota. Terakhir manurut Preiswerk, ialah ahli-ahli taurat, rabbi atau guru. Ia lebih menyukai menyebut mereka dengan sebutan khusus, yakni “sarjana taurat atau doctor taurat”. Tugas orang-orang seperti ini ialah menafsirkan kitab suci mereka (Ezra. 7:6, 10). Pengajaran mereka berisikan tafsiran-tafsiran teologis tentang pengalaman umat dengan Allah. Tindak lanjut dari tafsiran mereka ialah mengajarkannya bagi semua kalangan umat dan sering ditemui dilakukan di sinagoge/kenisah.[8] Melengkapi Preiswerk, Boehlke menginventarisir pendidik terakhir dalam PL, yakni kaum penyair. Tugas pengajaran mereka ialah melalui irama dan perkataan simbolis. Mereka sering mendobrak hati para pendengarnya melalui dua istrumen tersebut. Syair-syair yang mendidik ini sering ditemui dalam hampir keseluruhan kitab Mazmur, beberapa penggalan dalam kitab Keluaran (15:21). Isi syair sering menggambarkan pengalaman pribadi dan historis umat dengan Allah. Syair-syair sering ditemui bersifat ucapan syukur dan doa yang dilatunkan dalam irama alat musik ataupun tidak. Tugas pendidikan mereka seringkali berlangsung dalam tiap perkumpulan sosial, di tengah-tengah umat dalam perayaan, dalam keluarga, atau dalam istana. Semua yang mendengar syair atau membaca syair tersebut merupakan orang yang menerima didikan.[9]
Sumbangan Preiswerk cukup tampak bahwa sudah sejak awal, apa yang disebut pengajaran dalam pendidikan memiliki tempatnya dalam Alkitab, khususnya dalam budaya orang Yahudi, yang nota bene secara dominan dan ekslusif mendominasi narasi PL.
b.      Tujuan Pendidikan Dalam Perjanjian Lama
Andrew Hoffecker, yang cukup lama mengajar di Grove City Collage, menyimpulkan bahwa setidak-tidaknya terdapat tiga tujuan pokok pendidikan dalam PL, dalam hubungannya dengan katekesasi nanti. Pertama, pendidikan yang bertujuan untuk menurunkan warisan historis iman Ibrani, Allah sebagai Pembebas (Yos.4:21-24; Kel.12:26-27; 13:8-10; Ulg.4:9-10; 32-7).
Kedua, mengajarkan perilaku etis (Ulg. 6:6-9 dan kitab-kitab hikmat). Terakhir, ialah mengajarkan urusan-urusan praktis dari kehidupan sehari-hari, secara individu atau kelompok (lihat mengenai wejangan-wejangan hikmat: Ayub, Amsal & Pengkhotbah).[10] Dan untuk mengingatkan hal paling penting lagi bahwa, dalam PL, secara umum, pendidik berlangsung dengan proses yang sudah pasti merupakan intervensi transcendental (berhubungan dengan Tuhan dan kehidupan sehari-hari). Itu artinya, pendidik atau pengajar utama umat Israel ialah Allah, Tuhan, yang memperkenalkan diri dan memilih mereka. Karena itu, wajib diperhatikan rujukan Nabi Hosea berikut ini.
Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu … Akulah yang mengajar Efraim berjalan dan mengangkat mereka di tangan-Ku … Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih. Bagi mereka Aku seperti orang yang mengangkut kuk dari rahang mereka; Aku membungkuk pada mereka untuk memberi mereka makan (Hos. 11:1, 3-4).
Dalam PL, perlu diakui bahwa sifat pendidikan sejak awal umat terbentuk ialah religius dan politis. Religius berkaitan dengan posisi umat sebagai yang menerima ajaran tentang Allah sendiri sebagai Tuhan yang Esa, hidup dan benar. Sedangkan, politis berkaitan dengan posisi pendidikan tersebut yang memiliki signifikansi bagi menata kehidupan bersama sebagai umat secara nasional (baca: sebangsa atau sesuku dengan satu bapa leluhur, yang dimulai dari Abraham, Ishak dan Yakub) di hadapan Allah. Ini dimulai oleh generasi awal ke generasi muda-mudi, dan seterusnya.[11]
b.      Akar tradisi Yunani.
Kata ini merupakan sebuah kata kerja bahasa Yunani, yakni Κατεχειν (baca: katechein), yang berarti “menyuarakan dengan keras”, “menggemakan”, atau “mengumumkan” dari atas mimbar atau panggung ke para pendengar di bawahnya.[12] Dengan demikian, akar kata ini mengandung arti pengajaran lisan atau pelajaran-mengajar (lihat Luk. 1:4; Kis. 18:25; Gal. 6:6).[13] Mengajar dengan wibawa, otoritas dan dengan cara dialogis.[14] Kalau demikian, arti kata “katekhein” di sini lebih ditekankan pada mengajar bukan dalam arti intelektualistis (teori/rumus & kemampuan berpikir rumit) tetapi lebih kepada arti praktis, yaitu mengajar atau membimbing seseorang, supaya ia melakukan apa yang diajarkan kepadanya secara sederhana (Rm.2:18). Sifat mendasar katekhein dalam sejarah awal dengan demikian adalah pengajaran lisan, sederhana, dan yang terpenting ialah mencirikan karakter moral. Pengajaran moral praktis.[15]
Dalam PB, khusunya pada awal gereja mula-mula, kata katechein dapat dilihat dalam arti pengajaran lisan dengan penjelasan yang sangat sederhana (lih. Ibr. 5:12-14; 1 Kor. 3:1-3). Biasanya akar pengajaran tersebut terdapat pada ajaran dogtrinal Alkitabiah atau kepercayaan yang diyakini mendasarinya menuju pengajaran untuk diterapkan (aplikatif), praktis. Arti kata ini pada perkembangan jemaat mula-mula berarti tugas khusus pengajaran jemaat (Gal.6:6; 1 Kor.14:19). Dasar utamanya dan tempat bagi katekese adalah dalam pelayanan Firman. Di samping istilah katechein, terdapat empat istilah lagi. Masing-masing merupakan istilah diseputar pendidikan yang bersifat religius maupun politis. Masing-masing istilah berakar dalam alam pikiran Yunani yang kemudian diambil alih dan dibubuhi konten dan pesannya secara Kristen dalam PB.
a.       4 Istilah di Samping Lain lagi
Pertama, ialah didaskein. Kata ini ialah kata kerja. Dalam tradisi Yunani, istilah ini digunakan untuk sebuah pekerjaan perihal menyampaikan pengetahuan kepada orang lain, dengan maksud supaya yang diajar atau yang menerima pengetahuan itu sedapat mungkin bertindak dengan terampil dalam hidupnya. Lebih tepatnya, mengajar dengan kuasa (otoritas) keterkaitan ajaran dengan praktek.[16] Kata ini menggambarkan aktivitas dan kemampuan mengajar seorang pengajar terhadap muridnya dan selalu aktivitas itu mengacu pada praktek mengajar (cara mendidik, metode mengajar). Itu sebabnya, kata ini dalam serapan bahan Indonesia meilasnya, dapat menunjuk pada didaktika (ilmu tentang cara mengajar), didaktikus (ahli mendidik: Yoh.3:2) / didaktikus (bersifat mendidik), Mat. 4:23; 26:55; 7:28-29; Ef.4:11.s
Andar Ismail mengartikannya sebagai tindakan mengajar/belajar untuk bertindak secara jitu. Apa yang diajarkan adalah tentu apa yang mesti dipraktikan (bnd. Ulg. 4:1; Ams. 4:11; Mat. 4:23; Mark. 6:30). Comenius, yang diberi gelar bapak pendidikan modern, menyebutnya sebagai seni mengajar segala sesuatu kepada semua orang, secara tepat, enak dan selengkapnya.[17] Jadi, proses belajar seorang ialah menyerahkan seluruh perhatian dirinya dalam menerima pengajaran dan mempraktikannya dengan totalitas diri. Istilah ini biasanya menunjuk sebuah hubungan pengajaran tentang Allah dan aspek perilaku (Mat. 26:25; 28:19).[18]
Kedua, ginoskein. Istilah ini juga termasuk kata kerja. Artinya ialah ‘mengenal’ atau ‘belajar mengenal’. Dalam versi yang cukup sama, kata ini berarti mengajar atau belajar untuk mengetahui. Pengertian ini terlampau pasif dalam asas-asas intelektual. Jika istilah sebelumnya (didaskein) bersifat sangat praktis, maka istilah ini bersifat intelektualistis dalam alam pikiran Yunani yang cenderung filosofis.[19] Terdapat kadar teoritis dari proses intelektualisme filosofis yang menurut Groome, kecenderungan berpikir seperti ini tidak terkontrol.[20] Terdapat aspek empiris dalam proses mengetahui dari istilah yang dimaksud ini. Pengetahuan diperolah dari hasil pengamatan indrawi (pengalaman indra-indra) dan diafirmasi melalui penalaran. Akan tetapi, terkhusus pemakaian kata ini dalam PB, sifat intelektual itu digeser dan diberi sifat lain, yakni mengenal atau mengetahui secara intim atau mendalam dalam arti relasional dan berdasarkan pengalaman bergaul. Jika dibanding dengan istilah dalam PL, kata ini pantas disejajarkan dengan istilah yada (Ulg. 11:2; Hos. 4:6). Ginoskein ditekankan pemakaiannya untuk menjelaskan hubungan manusia yang ingin mengenal atau mengetahui tentang kehendak Allah. Dari hasil belajar mengenal atau mengetahui kehendak Allah inilah, yang kemudian menuntun arah hidup seorang manusia terhadap orang lain di sernya atau dengan lingkungannya. Dengan begitu, proses belajar ialah menempuh pergaulan dengan Allah dengan jalan tertentu dan mendesak ketaatan dan penyerahan diri (Rm. 1:21, 28; 1 Kor. 10:5; Gal. 4:8-9).
Istilah yang tak kalah penting berikut ini ialah manthanein. Sebuah bentuk kata kerja yang berarti ‘belajar’. Istilah ini dalam alam pikiran Yunani, berarti belajar untuk melakukan.[21] Dari segi pendidik, kata ini menunjuk proses memdidik secara bertanggung jawab agar ajaran membawa hidup/agar hidup baik.[22] Jika dalam asosiasi Kristen, kata ini berhubungan dengan proses rohani dalam hal perkembangan kepribadian. Manthanein tidak terlalu muncul dalam PB. Namun, amat penting untuk menggambarkan misalnya, status para murid Yesus.[23] Kata ini ingin memberitahukan bahwa murid adalah sekaligus pengikut dari seorang guru. Jadi, dua belas murid yang belajar dengan didahului pemilihan dan pemanggilan oleh Yesus, ialah para murid yang mesti mengambil keputusan eksistensial. Keputusan itu ialah memutuskan diri untuk belajar (baca:murid) pada Yesus, mesti mengikuti Dia ke mana saja Yesus pergi. Itu artinya, mereka menyerahkan diri sungguh-sungguh dan hidup secara disiplin (Mat. 9:13; Kis. 11:26; Ibr. 5:7-8).
Kata terakhir ialah kata yang memiliki sifat politis yang kuat, yakni paideuein. Kata ini berarti ‘mendidik’. Serapan kata ini ke dalam bahasa Indonesia menunjuk pada kata pedagogi (ilmu pendidikan/ilmu pengajaran). Menurut skema pikiran politis Yunani, pendidikan memperolah tempatnya pada polis.[24] Karena itu, istilah ini – sebagai  sebuah kata kerja yang menjelaskan sebuah proses bimbingan kepada warga polis (baca: Negara), dimulai dari anak-anak, supaya mencapai usia dewasa dapat tampil dengan baik dengan tuntutan hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat luas. Jadi, dalam usia dewasa, setiap orang yang menerima didikan dapat hidup sesuai tuntutan yang dipelajari sejak kecil. Ini berarti, istilah ini menggambarkan sebuah pendidikan jangka panjang yang dilakoni perangkat negara bagi warga negaranya agar memiliki warga negara yang baik dalam arti moral dan intelektual (saat ini mungkin dapat disebut manusia dengan sumberdaya). Menurut pandangan PB, Yudeo-Kristen (pascaYesus) paideuein berarti mendidik dan membimbing anggota-anggota jemaat untuk belajar berjalan di jalan pengudusan dan tetap berada di jalan itu (1 Tim. 3:16-17; Tit. 2:12; Ibr. 12:7; 1 Ptr. 2:9).
c.       Posisi perkembangan katekisasi dalam sejarah.
Setelah menelusuri kelima istilah tadi, dengan sedikit melanjutkan tradisi Yahudi – didirikanlah sekolah-sekolah oleh jemaat Yahudi secara resmi hinggan memasuki abad pertama.
1.       Abad Pertama.
Andre Lemaire menduga bahwa ada beberapa bentuk sekolah di Israel mulai dari zaman monarchi (kerajaan), khususnya di Yehuda selama abad ke-VIII dan ke-VII sM (masa-masa menjelang pembuang dan berada di pembuangan). Ia berpendapat berdasarkan analogi dari Mesir dan Mesopotamia, di mana sekolah telah ada sejak millennium ke-III. Sekolah-sekolah dimaksud belum dalam arti formal, yang hanya terdiri dari beberapa murid yang berada di sekeliling guru. Namun, ini semua menurutnya baru sebuah dugaan berdasarkan hasil riset arkeologi terhadap berbagai aksara untuk memperkuat pendapat mengenai pendidikan di zaman itu.[25]
Di sekolah-sekolah dasar itu anak-anak usia sekitar 6-7 tahun mendapat pengajaran (bimbingan) dari para guru Torah. Pengajaran ini bukan dimaksudkan untuk memberi pengetahuan umum, melainkan pengetahuan khusus tentang Torah. Pengajaran itu diberikan agar anak-anak tidak hanya menghafal ayat-ayat dalam torah secara harfiah, tetapi juga untuk mengetahui maknanya. Sekolah yang dimaksud ini disebut ‘rumah buku’ (Ibr. Bethhasefer). Pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah dasar ini ialah rumah pengajaran (Ibr. Beth-ha-midrasy). Biasa juga disebut ‘madrash’. Rumah yang dimaksud ini sering dihubungkan dengan sinagoge Yahudi. Artinya, aktivitas madrash berlangsung di sinagoge.
Berkaitan dengan sinagoge, L.J. Sherrill memberi komentarnya bahwa proses ini sejalan dengan hakekat agama dalam mana hakekat itu ditanamkan, yakni perkumpulan orang-orang Yahudi untuk menerima pengajaran agama.[26] Di situlah berlangsungnya pendidikan madrasah. Pendidikan yang dimaksud ialah pengajaran yang dilakukan oleh para pendidik taurat khususnya untuk menghasilkan murid (baca:katekumen) yang mampu mengetahui arti Torah dan maknanya dan secara bertanggung jawab atas pengajaran tersebut kepada Tuhan dan masyarakat Yahudi. Untuk katekisasi, ini hakekatnya hampir sama, hanya berbeda suasana. Di sinagoge khususnya, pengajaran dilakukan bagi tiap hari ibadah, yakni hari Sabat. Torah (hukum Musa) dibacakan di tiap hari Sabat (Lih. Kis.15:21) bagi seluruh umat. Abineno menyumbangkan rincian bahan pengajaran di sinagoge dalam beberapa bagian. Pertama, pengakuan iman (Ibr. Syema) nas pengakuan ini terdiri dari Ulangan 6:4-9, 11, 13-21 dan Bilangan 15:37-41. Kedua, doa utama (Ibr. Syemona Esre). Doa ini diucapkan oleh tiap-tiap orang Israel di semua kalangan usia, tiga kali sehari. Doa ini merupakan puji-pujian kepada Allah Abraham, Ishak dan Yakub dan suatu permohonan untuk pemulihan Yerusalem dan kerajaan Daud. Ketiga, pembacaan Torah (bnd. Neh.8:9). Keempat, pengajaran tentang arti dari hari raya-hari raya Yahudi, seperti Paskah, Pentakosta, Pendamaian, Pondok Daun, Purim, dll.[27]
Jika usia sebelumnya para murid melakukan penghafalan harfiah, maka di usia yang mencapai sepuluh tahun, mereka mulai dengan pengajaran yang sebenarnya. Sebagaimana usia genap yang dianggap matang untuk mempertanggungjawabkan pengajaran dan kurikulum Yahudi abad pertama itu, ialah dua belas tahun. Usia ini akan disebut usia “anak taurat”.[28] Abineno menyebut usia ini ialah usia “anak syariat”. Di sini sudah pasti, Yesus berkesempatan memperoleh pendidikan dan pengajaran tentang Torah (bnd. Luk.2:40).
Proses ini berlanjut hingga berakhirnya abad pertama, yang mana gereja sebagai buah pekebaran injil para rasul mulai beraktivitas dalam otonomi (sebagai komunitas tersendiri dan pengakuan tersendiri, “Yesus Kristus adalah Tuhan”) di bawah pimpinan Roh Kudus dan mulai memperoleh pengakuan politis-religius oleh kalangan Yahudi dan Yunani, tekecuali imperium Romawi saat itu.
Hal yang paling penting dan patut dicatat ialah bahwa, akhir-akhir abad pertama, khususnya pasca kematian Yesus, isi pengajaran dari bukan lagi difokuskan pada taurat, bagi setiap orang Kristen khususnya Yahudi, melainkan pada injil tentang pribadi dan karya Yesus Kristus. Itulah isi pengajarannya. Injil dilihat sebagai taurat baru.[29] Para pengajarnya tentu saja orang-orang yang berwewenang mengabarkan injil, khususnya para rasul, penginjil dan pengajar. Sekolah Kristen pertama ialah dalam persekutuan doa, yaitu ketika para murid Yesus berkumpul di rumah-rumah secara tersembunyi sambil menceritakan pengenang akan Guru Agung mereka sambil berdoa, menguatkan dan mendidik yang lain. Kedua, bahan-bahan katekese (baca:katekisasi) mulai bertambah banyak. Salah satu yang paling terkenal dalam gereja di akhir abad ini ialah didakhe. Didakhe merupakan buku katekismus jemaat purba di abad ini. Buku ini dijiwai oleh pengakuan iman jemaat mula-mula, yakni Yesus Kristus adalah Tuhan (Flp. 2:11). Ia merupakan buku pengajaran Kristen yang berlatar belakang Yudeo-Kristen. Buku ini berisikan unsur hukum (hukum yang utama dan dasa titah), unsur sakramen (baptisan, Perjamuan Puasa dan Puasa), pengakuan iman dan yang sangat khas ialah nasehat-nasehat eskatologis.
Saat gereja mulai terus berkembang sampai awal abad kedua, pengajaran juga terus mengalami perkembangan.
2.       Katekisasi di Sekitar Abad Ke-dua
Geraldine Hodgson dengan menulis Primitive Christian Education menelaah bahwa pola didik gereja mula-mula memasuki abad kedua cukup keras dan menantang. Pola didikan dalam gereja menggunakan disiplin tangan besi yang tak jarang hukuman keras tertentu dipergunakan. Termasuk bagi anggota katekumen menjelang baptis.[30] Namun begitu, perkembangan ini, perlahan memiliki pola yang bergerak sedikit membaik. Pola ini diaplikasikan pada para katekumen yang dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah tahap percobaan. Pada tahap ini, katekumen diajarkan mengenai iman Kristen secara disiplin cukup ketat selama tiga tahun. Mereka ini disebut ketekumin (pengikut-pengikut katekumenat). Mereka ini belum memiliki status resmi sebagai anggota gereja secara penuh karena belum mempunyai hak yang sama dengan anggota-anggota gereja yang sudah dibaptis. Jadi, mereka saat itu kebanyakan ialah petobat baru.
Di masa ini, gereja sangat kuat menjalankan pendidikan dan ajaran mereka dari bahaya timbulnya berbagai penyesatan dan perlawanan. Karena itu, alat didik mereka saat itu yang sekaligus merupakan senjata gereja untuk membendung perlawanan ialah: 1. Kanon Alkitab (kitab-kitab PB). 2. Pengakuan iman untuk menetapkan ajaran dab jenis pendidikan anggota gereja dari bahaya dimaksud. 3. Jabatan uskup, selaku pengganti rasul-rasul dan pembela kebenaran.[31] 4. Berbagai bentuk disiplin gereja (usaha menjaga kesucian jemaat dari dunia di sekitarnya).
3.       Katekisasi dan Petobat Baru dan keanggotaan Gereja
Boelhlke memandang bahwa pada abad ini katekumenat merupakan jawaban konkret dalam menanggulangi masalah kebanjiran petobat baru yang kebanyakan adalah orang dewasa yang ingin menaklukan diri pada Kristus melalui gereja-Nya.[32] Mereka semua berasal dari latar belakang agama pagan. Secara umum, gereja saat itu berkembang di tengah berbagai wawasan dunia profane, paganis, atau yang biasa disebut pihak gereja sebagai “orang kafir”. Karena itu, apabila dapat melampaui tahap pengajaran selama tiga tahun, akan berlanjut ke tahap berikutnya, yaitu tahap peneguhan sidi sebelum baptisan. Dalam persiapan itu, para calon baptis diatur persiapannya secara saksama. Mereka dipersiapkan untuk memperoleh upacara istimewa di antara anggota gereja penuh. Mereka diharuskan berdoa dan berpuasa; dimandikan dan diurapi, kemudian diberikan pakaian baru dan nama baru. Mereka juga ditiup dengan tujuan untuk mengenyahkan roh-roh yang jahat dan ditumpangkan tangan oleh pemimpin jemaat sebagai tanda penerimaan karunia-karunia Roh Suci (sebagai lawan dari roh paganis yang dianut dahulu). Semua prosesi itu dilakukan di luar gereja dan mereka diantar masuk ke dalam gedung gereja yang disambut dengan sukacita oleh jemaat lain. Mereka ini kemudian dilayakkan untuk mengucapkan doa Bapa Kami dan turut terjamu roti dan anggur perjamuan.
4.       Katekisasi di Kisaran Abad Pertengahan (menuju tahun 1500-an)
Dalam perjalanan gereja, berikut ini tampak bahwa ternyata katekisasi mengalami pasang surut. Pada abad-abad pertengahan, katekisasi makin mendangkal yang sebenarnya sudah dimulai pada abad pertama. Misalnya pada abad IV, konteks masa corpus crhristianum (mulai dari tahun 313 M), yang nota bene masa keemasan kekristenan secara ekspansif dan otoritarian (kekristenan sebagai agama negara, baca: imperium), apa yang ketat di abad sebelumnya dikendorkan dalam segi prosesi. Pendangkalan ini disebabkan sekurang-kurangnya 2 hal: Pertama, adanya baptisan anak-anak dari keluarga Kristen, dan mereka tidak diberi lagi pengajaran katekisasi. Katekisasi tidak lagi sebagai persiapan baptisan. Karena baptisan saja sudah cukup jadi Kristen, yaitu bahwa melalui sakramen anak-anak sudah memperoleh anugerah Allah yang diterima melalui setiap misa. Itu sebabnya, kemalasan mengajar dan belajar. Ditambah lagi, hal ini disebabkan oleh adanya tradisi, bahwa katekisasi hanya diberikan kepada orang-orang yang berpindah agama dari agama kafir ke agama Kristen sebagai persiapan baptisan. Itu pun tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan teliti. Sebab, ada paham yang berkembang bahwa teologi atau hal-hal agamawi merupakan ilmu praktek semata-mata dan bukan ilmu pengetahuan (yang menuntut pengajaran tertata). Paham ini disebarkan oleh Duns Scotus (wafat 1308). Sehingga gereja cukup menyepelekan katekisasi sebagai kegiatan pengajaran dan pemberian pengetahuan. Jadi praktek kegerejaan harus bersifat praktis saja. Ajaran hanya dihafalkan (Doa Bapa Kami dan Apostolikum: Pengakuan Iman, pengajaran daftar dosa), tidak dihayati. Rupanya di sinilah awal mulanya muncul ujian bagi para calon baptisan.[33] Kedua, adanya anggapan bahwa sakramen pengakuan dosa merupakan pengganti peran orangtua dalam pemeriksaan terhadap pendidikan ajaran Kristen. Akibatnya, para orangtua mengabaikan tanggung jawab penting mereka dalam mendidik anak-anak.
5.       Kisaran Abad Kelima Belas
Dalam abad kelimabelas katekisasi tidak berarti sama sekali, karena sudah begitu merosotnya. Pada saat itu Alkitab tidak dijadikan bahan khusus dalam katekisasi. Hingga masa reformasi barulah ditempatkan kembali Alkitab sebagai pusat dalam kehidupan bergereja menimbulkan perubahan dan pembaruan dalam bidang ketekisasi. Semua ajaran gereja adalah rangkuman dari ajaran Alkitab. Cerita-serita Alkitab dan sejarah gereja mulai dijadikan bahan katekisasi.
Katekisasi pada masa itu, tidak hanya diberikan kepada orang yang berpindah ke agama Kristen, tetapi diberikan kepada semua orang. Menurut para reformator, katekisasi pertama-tama merupakan tugas keluarga. Orangtua wajib mendidik anak-anak mereka menurut hukum Tuhan, dan memimpin mereka kepada Kristus. Di samping keluarga, katekisasi juga merupakan tugas sekolah, sebab pada waktu itu hubungan antara gereja dan sekolah sangat erat. Zwingli dan Calvin berpendapat, bahwa katekisasi adalah tugas pokok gereja. Sedangkan Luther bahwa sekolah adalah alat untuk memahami firman Allah dengan lebih baik, “hanya dengan sekolah Firman Allah dapat dipahami”.[34] Karena itu, ia mewajibkan tiap orang tua wajib mengirim anak-anak muda mereka ke sekolah. Ia banyak menyulap biara-biara menjadi sekolah dan di situ berlangsung katekisasi sekolah. Pada masa itu, bahan-bahan katekasasi tidak hanya dihafalkan, tetapi juga harus dimengerti; tidak hanya dimengerti dengan otak, tetapi juga dimengerti dengan hati.[35]
6.       Kisaran Abad Kedelapan Belas & Sembilan Belas
Dalam abad kedelapan belas dan kesembilan belas, dapat dikatakan sebagai abad pergerakan pekabaran injil lintas benua.[36] Di abad ini katekisasi mengalami pembaruan. Persiapan yang baik perlu dilakukan bagi orang-orang yang akan menerima baptisan. Katekisasi sebelum baptisan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Sayangnya, hal ini tidak berjalan lama. Sesudah itu  katekisasi merosot lagi, yaitu hanya sekedar  menghafal pokok-pokok ajaran. Hal ini dikritik oleh pelopor ilmu jiwa pendidikan, Jean-Jacques Rousseau. Ia menemui bahwa di zamannya, para katekumen diwajibkan menghafal, misalnya katekismus gereja Calvinis. Baginya, menganjurkan secara wajib penghafalan katekimus dan ajaran akan menciptakan kebiasaan membeo jawaban yang tidak dipahami.[37]
7.       Masa Zending Belanda Abad Sembilan Belas Menjalang Abad Dua Puluh
Pada waktu zending Belanda, katekisasi berhubungan erat dengan pelajaran agama di sekolah (Kristen), sehingga pelajaran agama di sekolah dipandang sebagai “pesemaian” katekisasi. Kebiasaan ini diambil dari gereja-gereja di Eropa yang dibawa oleh para zendeling ke Indonesia. Guru-guru yang mengajar di sekolah harus menandatangani pengakuan iman gereja-gereja Belanda, Katekismus Heidelberg, dan Dasar-dasar Ajaran Sinode di Dordrecht yang disebut Ketiga Surat Simbolis. Pelajaran agama yang diberikan di sekolah adalah pelajaran katekisasi yang diberikan di gereja seperti, menghafal doa Bapa Kami, dasa titah, ikhtisar katekimus Heidelberg dan menyanyikan mazmur.
Pada abad kedua puluh hingga saat ini, yang dikenal sebagai abad ekumenis,[38] tentu saja katekisasi mengalami berbagai bentuk kemajuan signifikan, berbeda dengan aba-abad sebelumnya. Antara lain, progresifitas terjadi pada tenaga pengajar yang mulai memperoleh pelatihan khusus mengenai ilmu edukasi (pendidikan), didaktika (ilmu mengajar) Kristen dan tidak juga melupakan perkembangan ilmu psikologi (ilmu jiwa). Yang menarik dan yang cukup menentukan ialah bahan ajar yang selalu disesuaikan perkembangan dan kemudahan mengaksesnya. Berbagai pengetahuan dapat dengan cukup mudah diperoleh berkaitan dengan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan, biak pengajar dan juga katekumen sendiri. Di samping itu juga, metode diperluas, alat-alat bantu pengajaran, dan berbagai hal yang menunjang kemajuan dalam proses katekisasi. Semua ini disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan komunikasi yang menunjang proses pendidikan Kristen bagi katekisasi.[39] Dengan begini, sebenar cukup mudah menyajikan pengajaran yang berkualitas.
d.      Perkembangan Terakhir: Perdebatan Dalam Mengusulkan Posisi Katekisasi Gerejawi.
Hingga sekarang, katekisasi terus disoroti sebagai bagian pendidikan dalam kekristenan. Dewasa ini, menyebut pendidikan di bidang agama Kristen, mesti diingat pemetaannya, seperti pendidikan tentang evangelikalisme, pendidikan agama, pendidikan Kristen, pendidikan agama Katolik, pendidikan ekumenis dan pendidikan multicultural. Kelima pendidikan dalam kekristenan ini, tentu saja mewakili perkembangan arus pemikiran Kristen dan perkembangan teologinya tersendiri. Penjelasan masing-masing tidak dilakukan di sini.[40]
Untuk itu, Berard Marthaler, misalnya, memahami istilah katekisasi yang merupakan bagian pendidikan Kristen sebagai proses yang melaluinya individu-individu diinisiasi dan disosialisasi dalam komunitas gereja.[41] Sedangkan Westerhoff yang dikenal ulung dalam ilmu pendidikan Kristen, mengusulkan makna bagi katekisasi begitu luas sehingga kata ini mendeskripsikan seluruh proses menjadi Kristen.[42] Akan tetapi, Groom melihat hal yang agak berbeda dan sangat mendasar sekali, berkaitan dengan posisi katekisasi. Ia mengusulkan dari cara pembedaannya antara katekisasi dengan pendidikan agama Kristen. Ia melihat bahwa katekisasi semestinya ditempatkan sebagai salah satu cara dan bentuk dalam berbicara mengenai Pendidikan Agama Kristen (PAK) itu sendiri. Sebab, ia mencoba membuka lebar wawasan katekisasi sebagai bagian integral dalam seluruh pendidikan Kristen. Kata “Kristen” baginya menuntut kegiatan katekisasi diinformasikan oleh teologi dan studi-studi Alkitab. Ini dilakukan agar tidak semata-mata mendidik orang yang baru bertobat atau meneguhkan isi pengajaran Kristen bagi yang telah Kristen untuk pada akhirnya memahami isi iman Kristen, sebagaimana perkembangan katekisasi pada gereja abad pertama.
Ia mengusulkan bahwa agar dapat memahami katekisasi secara konsekuen menurut Alkitab dan sejarah gereja, tetapi sekaligus komprehen berdasarkan perkembangan pendidikan agama Kristen. Demi gagasan ini, maka penting memberi konten yang lebih luas dari sekedar pengajaran dogtrinal (menggemakan kembali atau menceritakan kembali cerita iman Kristen yang telah diberitahu).
Ia mengharapkan sebuah pemberian konten yang dapat mengembangkan pengetahuan tentang iman Kristen ke arah tantangan zaman. Itulah sebabnya, dibutuhkan upaya yang lebih dari sekedar pengajaran dogtrinal dan Alkitab tentang iman Kristen.[43] Walau demikian, berdasarkan usulannya pun, ia sendiri sedikit alergi dengan katekisasi bila kontennya hanya berisikan apa yang ia sebut “ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang suci” melulu. Dengan begitu, ia ingin agar apa yang senang disebutnya, katechesis atau katekesasi dijalankan berdasarkan maknanya yang konsisten dengan asal kata etimologisnya atau pemakaiannya dalam Alkitab, gereja mula-mula dan sejarah, sekaligus bersifat kontemporer berdasarkan ilmu pendidikan agama Kristen. Itu artinya, katekisasi pertama sekali dilakukan oleh gereja dalam mana secara intensif aktif memberikan pengajaran dari kompromitas (sejalan dengan) studi-studi teologi dan studi-studi Alkitab dan bukan hanya sekedar mengulangi kembali nilai dogtrin harfiah dari gereja purba dalam bentuk pengakuan iman (orthodoksi), dasa titah, doa-doa dan sakramen-sakramen, melainkan memerhatikan maknanya bagi kepentingan hidup bersama dan pribadi (orthopraksis). Groom menyebut proses ini dengan istilah shared-praxis approach. Cara mendialogkan antara orthodoxi dengan orthopraksis.[44] Dialog ini merupakan yang seharusnya ditempuh untuk mengajarkan nilai beriman sebagai tindakan percaya menuju iman sebagai tindakan melakukan. Kedua, ialah katekisasi dilakukan sebagai kegiatan gereja yang sesuai dengan asas pendidikan. Ketiga, katekisasi dilakukan dalam suasana integrasinya dengan ilmu lain (interdisipliner terbatas). Keempat, katekisasi dilakukan dalam refleksi dan pengajaran dalam bingkai yang kontekstual, berdasarkan perkembangan kontemporer. Bisa saja secara singkat disebutkan bahwa katekisasi dilakukan sebagai pendidikan Kristen yang berpusat pada kehidupan (life centred), berorientasi pada misi (mission orientation) dan memusatkan diri pada injil (gospel centred). [45]
2.       Jenis Katekisasi/Katekese
Telah disampaikan dengan agak memadai pengertian katekisasi melalui bentuk akar kata dan sejarahnya. Kali ini, pemakain katekisasi perlu dipersempit lagi guna memberi arah yang terfokus berkaitan dengan konsentrasi materi ini. Tindakan ini dilakukan mengingat bahwa dalam sejarah, katekisasi telah memperoleh pemetaannya dalam tiga jenis, yakni:
1.       Katekisasi Keluarga
Kakisasai keluarga adalah bentuk yang sangat purba dari ketekisasi saat ini. Jadi, dengan mengambil alih kata dalam sains, bentuk katekisasi saat ini adalah hasil evolusinya. Dalam keluarga, tentu saja ada banyak pendidikan dalam arti natural. Tetapi berhubungan dengan memberi asupan pemahaman tentang agama, PL dan PB telah mencatatnya secara ketat dan diteruskan hingga abad reformasi. Hanya sempat merosot di abad kesembilan.
Dalam korpus reformasi, Calvin banyak memperketat hal tersebut. Mulai dengan mengharuskan mendidik anak-anak untuk mengetahui isi Alkitab (PL dan PB). Juga mengajarkan isi katekismus Heidelberg dan kidung-kidung injili serta Mazmur. Khusus untuk katekismus, misalnya, para reformator dan beberapa orang dari pihak gereja menyusunnya sebagai alat bantu pengajaran oleh pendeta-pendeta atau para presbiter.[46] Dan ini masih dipakai sampai saat ini di gereja-gereja di Indonesia.
Hingga abad 18-19 di sebagian Eropa dan Indonesia masih bertahan, dimulai sejak keputusan sinode Dordrecht (1618-1619). Meskipun itu, di zaman ini, menurut berbagai pengamatan, seperti Abineno, tentu apa yang dikerjakan Calvin, telah pudar sama sekali. Kebiasaan katekisasi seperti itu sudah hilang.[47]
2.       Katekisasi Sekolah
Dasar katekisasi di sekolah sudah bertunas sejak dalam pendidikan Yahudi pasca pembuangan. Hingga abad pertama, tampak amat kuat. Tuhan Yesus sejak bocah telah mendudukinya pula. Katekisasi di sekolah bukan hal baru. Dapat dianggap saat ini katekisasi di sekolah merupakan pelaksanaan warisan dari abad-abad tersebut, tetapi dalam arti yang fleksibel. Sebab, di abad-abad sebelumnya, pendidikan di sekolah berada dalam tanggung jawab gereja secara penuh, tergantung pada relasinya dengan negara. Sejak berpisahnya atau lebih tepat kejelasan tentang batas-batas relasi antara kedunya, maka pendidikan ditentukan oleh negara. Saat ini, katekisasi di sekolah berada di bawah tanggung jawab langsung oleh negara sebagai penyelenggara penuh pendidikan, walaupun ada sekolah-sekolah Kristen dan lembaga-lembaga yang mengelolanya. Katekisasi yang berlangsung di sekolah hanya merupakan penjabaran dan palaksanaan ilmu dan nilai-nilai agama Kristen (termasuk gama lainnya). Dalam istilah Abineno, “pesemaian” dari katekisasi gereja. Jadi, antara gereja dan negara, sebetulnya memiliki tanggungjawab bersama dan saling sinergis.[48]


3.       Katekisasi Gereja
Mencari akar katekisasi gerejawi, tentu saja tidak sulit. Sebab, akarnya terdapat dalam rumah-rumah ibadat. Zaman post-exilic di Babel yang menciptakan keadaan ini. Rumah-rumah ibadah seperti sinagoge dijadikan rumah-rumah pengajaran bagi rakyat (umat Israel). Pendidikan mereka berpusat pada Torah yang terdiri dari syema (pengakuan iman), doa utama (syemone-Esre) yang didoakan sebanyak tiga kali sehari, pembacaan Torah di tempat yang sentral dan pengajaran tentang arti hari raya-hari raya Yahudi. Para pengajar saat itu ialah guru-guru taurat (rabbi). Kebiasaan ini kemudian diteruskan hingga menuju gereja mula-mula berdiri. Hanya saja, perbedaan mencolok yang terjadi ialah tentang pengakuan iman dan pengajaran-pengajaran yang telah berubah dan berorientasi pada pribadi Yesus Kristus. Dari orientasi pada torah dan tradisi Yahudi, beralih ke orientasi pribadi seorang tokoh. Para pengajar saat gereja mula-mula ialah para rasul atau orang-orang yang ditunjuk sebagai pengajar, di samping penatua dan diaken. Hingga di masa perkembangan gereja katekisasi berlangsung dengan bahan-bahan penunjang pengajaran yang disusun sistematis dalam hal menguraikan isi iman Kristen, seperti didakhe, katekismus dan buku-buku di sampingnya. Yang unik dari katekisasi gereja ialah bahwa semua pelaksanaan pengajaran dilaksanakan oleh gereja dan bertempat di gereja. Hingga kini, hal ini terus dipelihara secara baik dan terus diperhatikan.
Karena itu, khusus dalam materi ini, semua uraian akan difokuskan pada katekisasi gerejawi bagi anak-anak, dalam hal isi dan pelaksanaannya bagi kelas regular, bukan kelas khusus bagi orang dewasa yang konversi (petobat baru) maupun tidak.
Ketiga jenis katekisasi ini dibagi lagi secara khusus oleh G. Riemer menjadi dua bagian khususnya bagi katekisasi di gereja, yakni katekisasi orang dewasa dan anak-anak.
3.1.  Katekisasi Gereja Untuk Orang Dewasa
Seperti penjelasan tadi (poin 3: Katekisasai gereja), secara paling formal, seorang dewasa ikut katekisasi ‘seharus’ adalah keinginan sendiri. Ia percaya kepada Yesus Kristus melalui pemberitaan injil (bnd. Rm. 10:15). Dengan mengikuti katekisasi, mereka diterima dan dibaptis (ini berlaku bagi petobat baru dewasa) menjadi anggota gereja. Melalui katekisasi, baptisan memperoleh maknanya paling lengkap, yaitu dapat memperoleh bekal mengapa saya beriman kepada Yesus dan menjadi murid-Nya? Atau secara lebih luas, mengapa saya harus memilih menjadi Kristen?
Katekisasi ibarat pintu masuk gereja. Para presbiter/majelis adalah penjaga pintu itu, sehingga tidak sembarang orang dapat masuk dengan motivasi yang salah, tidak sesuai iman dan ajaran Kristus dalam gereja-Nya. Pada dasarnya, setiap orang dewasa yang berkepentingan ingin dibaptis menjadi anggota gereja atau sekarang ini untuk alasan tertentu (menikah, dll) mesti terlebih dahulu diisi dengan pengetahuan: “tanpa pengetahuan kerajinan pun tidak baik..” (Ams.19:2). Alasan gereja mengatur katekisasi bagi mereka ialah bersifat missioner, memperluas perkembangna jemaat. Secara simpul, Riemer menyampaikan demikian:
Katekisasi Orang Dewasa
-          Alasan        : Ingin menjadi anggota jemaat dan mengenal Kristus (motivasi)
-          Tujuan        : Pengkuan iman (beralih setia kepada Allah: Bapa, Anak & Roh Kudus); 
Baptisan & Perjamuan Kudus (sakramen)
-          Alasan gereja          : Mendidik yang ingin menjadi anggota gereja (pengajaran)
-          Tujuan gereja          : menjaga dan mendorong pertumbuhan jemaat (missioner)
Untuk menjelaskan bagian ini lebih lanjut, ada baiknya memerhatikan pula tahap-tahap katekese dalam gereja kuno:
1.       Setiap orang dewasa yang ingin menjadi anggota jemaat harus terlebih dahulu mendaftarkan diri kepada pejabat gereja/ melalui seorang anggota gereja. Orang seperti ini berfungsi sebagai pengantara (suspector) bagi orang yang ingin menjadi anggota jemaat.
2.       Pemimpin jemaat wajib memeriksa motif orang tersebut yang ingin menjadi anggota jemaat. Tahap ini sangat penting dan dilakukan melalui percakapan.
3.       Hasil pemeriksaan/ percakapan tersebut ia janji yang harus diucapkan calon anggota.
4.       Ia wajib diterima dan didoakan barulah menjadikannya seorang katekumen untuk diajarkan.
5.       Mereka diikutsertakan dalam ibadah, tetapi diberi tempat khusus, terpisah dari anggota jemaat lain. Tempat mereka ialah di dekat ambang pintu, di belakang sekali. Mereka boleh mendengarkan firman dan menerima berkat. Tetapi menerima ekaristi tidak boleh.
6.       Katekisasi bagi mereka dilangsungkan selama 3 tahun. Katekisasi bagi mereka berlangsung tiga tahap. Tahap pertama: katekumen diperbolehkan mengikuti berbagai kebaktian, tetapi hanya sebagai pendengar (audientes) khotbah. Tahap kedua: mereka diizinkan untuk turut berdoa (Bapa kami di sorga). Tahap ketiga: menjelang baptisan, yaitu dua bulan sebelumnya, mereka disebut sebagai calon baptis: baptizandi / electi (orang terpilih) / orang yang diterangkan (illuminandi).[49]
3.2.  Katekisasi Gereja Untuk Anak-anak
Dalam kaitan dengan pengetahuan tentang iman Kristen, tujuan katekisasi menjadi sentral untuk anak-anak (remaja/jelang dewasa) adalah supaya anak-anak tidak binasa karena tidak mengenal Tuhan Allah lebih dalam. Dengan kata lain, supaya anak-anak tidak binasa karena kebodohan (Hos.4:6). Di sini, orang tua menjadi alasan utama anak-anak mengikuti katekisasi. Hal ini merupakan tindak lanjut dari janji orangtua saat baptisan berkaitan dengan tugas mendidik anak hingga mereka mampu mengenal Tuhan Allah lebih dalam. Gereja dan orangtua memiliki tujuan yang sama dalam mengadakan katekisasi untuk anak-anak. Keduanya wajib bertanggung jawab menjaga kesehatan iman dan mengantar anak-anak, secara khusus kepada Tuhan Yesus Kristus.
Katekisasi Anak-anak
-          Alasan  : Janji orangtua sewaktu baptisan
-          Tujuan  : Menjadi anggota sidi, perjamuan kudus.
-          Alasan gereja    : Mengajar anak-anak Kristen sampai sidi
-          Tujuan gereja     : Menjaga kekudusan jemaat Kristus hingga ia menjemputnya
Riemer melengkapi penjelasannya dengan menyatakan bahwa apabila katekisasi seluruh berhasil, akan tampak pula masa depan gereja yang sehat. Karena itu ia simpulakan gagasannya dengan membubuhi skema katekisasi gereja terhadap orang dewasa dan anak-anak, sbb:
 

     



Skema 1. Skema efektifitas katekisasi berdasarkan tujuan
3.       Pelakon Pengajaran: Siapakah Gurunya?
Seorang penggagas ulung pendidikan Kristen abad ke-II yang lahir di kota Atena dan tinggal di Palestina, murid Origenes, yaitu Clementus (150-215) menyatakan bahwa pendidik dalam kekristenan ialah Firman Allah, yaitu Yesus Kristus. Seseorang yang berpengetahuan dalam arti yang lengkap, patut menundukan diri dan belajar pada-Nya. Yesus menurut hematnya ialah Pendidik Agung bagi kehidupan. Dengan demikian, saat ini, Kristus yang menurut kristologi-edukasis secara fungsional eksis mengajar melalui gereja-Nya. Inipun ditegaskan lagi oleh Ellen G. White bahwa Yesus sebagai pengajar ulung yang berotoritas penuh dalam mengajar tentang kehidupan yang esensial dan ideal berdasarkan kebenaran yang bersesuaian dengan kehendak Allah untuk hidup di hadapan-Nya, di tengah-tengah dunia.[50] Untuk tiba pada tujuan ini, gereja di segala abad dipilih dan diperintahkan untuk mengambil peran tersebut. Dan untuk melengkapi gereja, Ia menyertai mereka dengan pertolongan spiritual, yakni Roh Kudus dan pertolongan praktis.[51]
Telah dari abad-abad sebelumnya, pengajaran katekisasi dilihat sebagai pelayanan pengajaran jemaat. Ini berindikasi bahwa para pengajarnya berasal dari unsur jemaat, yang melalui gereja diangkat berdasarkan jabatan gereja dan fungsinya, seperti majelis jemaat, pemimpin-pemimpin katekisasi dan orangtua. Majelis jemaat dalam hubungan dengan ini, berfungsi sebagai penanggung jawab pelayanan apapun, termasuk katekisasi. Mereka mengangkat para pengajar katekisasi, menyiapkan rencana katekisasi, memprovokasi orangtua melalui warta jemaat agar membawa anak-anak terlibat dalam katekisasi dan melakukan proses kontrol terhadap mereka, mengadakan pertemuan dengan orangtua, mengadakan percakapan pastoral dengan katemumen, dan juga turut mengajar bersama-sama para pengajar. Saat ini, semua pengajar adalah juga seorang yang berasal dari anggota Majelis Jemaat. Karena itu, Majelis Jemaat atau para presbiter yang melakukan pengajaran ini dapat terdiri dari majelis, yakni seorang penatua atau diaken yang mampu mengajar dengan latar belakang pendidikannya, pendeta dan pengajar itu sendiri. Dengan demikian, yang dimaksud dengan guru bagi terlaksananya katekisasi dalam gereja ialah Yesus Kristus dan saat ini, ia tetap menjadi Guru melalui gereja-Nya dalam wewenang kemajelisan. 
4.       Siapakah Pelajarnya?
Menurut sejarah perkembangannya, katekisasi sebagaimana juga dijelaskan di atas memiliki obyek pengajaran pada anak-anak atau muda-mudi. Tetapi sebenarnya, sebagaimana yang paling mendasar bahwa katekisasi dilaksanakan bagi semua anggota jemaat. Sebab, jika ingin konsekuen dengan etimologinya dalam PB, katekisasi tidak dapat begitu saja diterjemahkan sebagai pengajaran gereja saja. Pengajarannya juga bukan saja ditujukan hanya bagi anak-anak. Hal pertama dari argument ini ialah bahwa ia hanya sebagai bagian fungsi atau tugas gereja dalam hal mendidik, melatih, membimbing, memberitakan dan menuntun anggota gereja pada Kristus. Hal kedua adalah bahwa ketekisasi dilakukan berdasarkan hakekatnya. Hanya saja dalam prakteknya secara umum, ini dilakukan dengan obyeknya, yakni anak-anak dalam hubungannya dengan mempersiapkan pertumbuhan iman mereka menjadi anggota gereja yang penuh dan dewasa (menjembatani anak-anak dengan pengakuan iman dan perjamuan) untuk menjadi warga gereja yang bertanggung jawab dalam hidup dan pelayanan kepada Allah melalui gereja-Nya.[52] Saat ini, para katekumen yang turut mengikuti katekisasi ialah mereka yang datang dengan perbedaan motivasi, perbedaan umur, perbedaan pendidikan, dan perbedaan maksud dan tujuan.
5.       Hakekat Katekisasi
Katekisasi pertama sekali dimengerti sebagai pengajaran kepada umat, khususnya pada yang berusia muda dengan menganut amanat agung tentang “..ajarlah mereka (Mat. 28:19). Dengan begitu hakekatnya ialah pengajaran, yakni pemberian pengetahuan. Pemberian pengetahuan sebagai kegiatan transformasi pikiran (konsep) untuk lebih memahami apa itu imanku dan mengapa beriman, serta sebagai kegiatan melakukan, untuk apa imanku. Pengajaran itu ialah tentang Allah dan kehendak-Nya (“.. melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan..”) seperti yang ajar mereka yang sejak kecil sebagai anggota gereja (belum penuh secara keanggotaannya secara sacramental) Kristus melalui baptisan dibawa dan terhisap kepada janji dan berkat Tuhan dalam persekutuannya melalui sakramen perjamuan kudus berdasarkan iman. Itu sebabnya, melalui pengajaran, iman mereka dibubuhi pemahaman yang memadai tentang isi iman yang mereka sedang anut. Setelah itu mereka dilayakan mengakuinya di hadapan jemaat. Di sini berarti katekisasi erat sekali dengan perjamuan kudus dan baptisan kudus. Hanya saja, ini semua baru dalam pengertian eklesiologis. Dan katekisasi pada tahap ini merupakan titikberat dari seluruh pengajaran gereja. Artinya, bukan sebuah pekerjaan yang gampang.

6.       Tujuan Pada Dirinya
Dari ini semua tujuan umum katekisasi yang varian ini ialah bahwa melalui pengajarannya (katekisasi oleh gereja) kepada semua anggota gereja untuk memperlengkapi mereka bagi sebuah hidup yang bertanggung jawab di dalam dunia sebagai anggota-anggota yang dewasa dari gereja Yesus Kristus dan secara berangsur-angsur dididik agar rupa Kristus menjadi nyata dalam hidup setiap anak-anak dan orang dewasa. Implikasinya, hidup orang beriman, khususnya anak-anak bertumbuh ke arah menyerupai Kristus secara konformis.[53]
Untuk itu, melalui inventarisir yang dilakukan Abineno terhadap pikiran beberapa ahli ihwal katekisasi dibagi tujuan katekisasi dibagi menjadi 4 bagian: Pertama, katekisasi sebagai pemberian pengetahuan. Di sini katekumen harus mengetahui hal-hal pokok-pokok dari isi Alkitab, mereka harus mengetahui tentang ajaran gereja, yang diambil dari Alkitab. Selain dari pada itu mereka juga harus mengetahui garis-garis besar tentang gereja, tentang pelayanan dan sejarahnya. Kedua, tujuannya sebagai pendidikan (baca:pembinaan) anggota-anggota jemaat untuk menyadari tugas mereka di dalam gereja. Dalam tujuan pertama ini terdapat juga fungsi katekisasi sebagai hubungan antara baptisan dan perjamuan kudus. Para katekumen harus mengetahui, bahwa gereja adalah persekutuan dalam arti am. Ketiga, mendidik anak-anak muda & dewasa supaya mereka menjadi hamba-hamba Allah yang bertanggung jawab di dalam dunia. Berdasarkan tujuan ini, mereka dibebaskan dari isolemen mereka (hidup tertutup di dalam gereja) dan ditempatkan di tengah-tengah dunia sebagai saksi dan pelayan Kristus. Keempat, menyampaikan pengetahuan tentang Allah dari generasi ke generasi. Keselamatan Allah – yang diberitakan kepada  di dalam Alkitab – harus disampaikan kepada semua orang dari generasi ke generasi.[54] Selain Abineno, sekali lagi Riemer member pandangannya perihal tujuan umum katekisasi gereja, yaitu setiap orang yang dididik ajaran Kristus untuk mengenal Allah, mengasihi Dia, dan memuji Dia. Agar dengan demikian, hidup sesuai dan dapat mengasihi setiap orang pula, yaitu mampu menuruti semua perintah-perintah-Nya (1 Yoh.4:7-11).
Pandangan tentang tujuan di atas hanya dapat dicapai apabila anak-anak dan orang dewasa – pada  khususnya, mengikuti katekisasi, telah sebelumnya dipimpin kepada pengakuan pribadi yang mendasar akan Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka. Tanpa hal ini, pada hematnya, mereka tidak dimungkinkan dapat menunaikan tugas seperti yang gereja harapkan dari mereka, yaitu sebagai saksi-saksi dan pelayan-pelayan Kristus yang bertanggung jawab di dalam dunia milik-Nya.




[1] John Westerhoff. A Call to Catechesis, Philadelphia: United Church Press, 2011, hlm. 354.
[2] Tercatat terjadi tiga kali pembuangan. Pada tahun 722 sM Israel Utara dibuang ke Asyur, 597 Israel Selatan (Yerusalem jatuh) dibuang pertama ke Babel  dan 587 dibuang kedua kali ke Babel.
[3] Hope S. Antone. Pendidikan Kristiani Kontekstual, Jakarta: BPK. GM, hlm.17-18.
[4] Robert R. Boehlke. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Agama Kristen: Dari Plato sampai Ignasius Loyola. Jakarta: BPK. GM, 18-35.
[5] Everett Warner. Modernization Among Peasant, New York: Holt, Rinehart, 2010, hlm. 81-90.
[6] Hope S. Antone, op.cit, hlm. 18. Menurut Boehlke, sinagoge masih diperdebatkan waktu yang pasti pendiriannya. Tetapi, alternative terhadap hal ini ialah bahwa sinagoge didirikan ser masa pembuangan ke Babel dan awal abad pertama, khususnya awal kekristenan.
[7] Untuk sekolah ini, tidak akan dibahas di sini, melainkan akan dibahas dalam point sejarah pendidikan abad pertama.
[8] Matias Preiswerk. Educating in the Living Word: A Theoretical Framework for Christian Education, Marknoll, NY: Orbis, 1987, p. 10-66.
[9] Robert R. Boehlke, op.cit, hlm. 28-30.
[10] Andrew Hoffecker, Building Christian Worldview, Vol. 2: The Universe, Society, and Ethics, New Jersey: Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1988, p. 186-188.
[11] Kedua sifat pendidikan ini dapat dilihat dalam Thomas H. Groome. Christian Religius Education, (terj. Daniel Stefanus). Jakarta: BPK. GM, hlm. Ellen G. White Estate. Fundamental of Christian Education, New Jersey: Ellen G. White Estate, Inc., 2010, p. 21-38. 475-484
[12] Zakharias Ursinus & Caspar Olecianus. Katekismus Heidelberg, Jakarta: BPK. GM, 2012, hlm. Xii.
[13] Thomas H. Groome, op. cit, hlm. 39.
[14] G. Riemer. Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: YKBK, 2006, hlm. 33.
[15] Francis Xavier Murphy. New Catholic Encyclopedi, “Catechesis: Early Christian”, New York: International Publishers, 2008, hlm. 208.
[16] G. Riemer, op. cit, hlm. 33.
[17] Andar Ismail (Peny.). Ajarlah Mereka Melakukan, Jakarta: BPK. GM, 2015, hlm. 80; Robert R. Boelhke. Sejarah Perkembangan Pikirin dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia, Jakarta: BPK. GM, 1997, hlm. 12-13.
[18] J.L. Ch. Abineno. Sekitar Katekese Gerejawi, Jakarta: BPK. GM, 2012, hlm. 7-12.
[19] Ibid, hlm. 13-16.
[20] Thomas H. Groome, op. cit, hlm.230.
[21] Andar Ismail, op.cit, hlm. 80.
[22] G. Riemer, op. cit, hlm. 33.
[23] J.L.Ch. Abineno, op.cit, hlm.16-18.
[24] Ibid, hlm. 19-21.
[25] Andre Lemaire, Education (Israel), Edition University. Fribourg: Vandenhoeck & Ruprecht, 1981, 305 dalam Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah. (terj. Robert Setio & Atdi Susanto). Jakarta: BPK. G.M, 2012, hlm301; J. Aviaram, Biblical Archelogy Today. Jerusalem: Israel Exploration Society, 1985, p. 301.
[26] Sinagoge, diterjemahkan ke dalam bahasan Yunani, menurut Philo dari Alexandri, ialah didaskaleia. Kata ini berarti pengajaran, yaitu suatu wadah penerimaan pengajaran dan penyampainnya. L.J. Sherrill. The Rise of Christian Education, New York: Macmillan, 1944, hlm. 45, 47.
[27] J.L. Ch. Abineno. Sekitar Katekese Gerejawi, Jakarta: BPK. GM, 2012, hlm. 3
[28] I.H. Enklaar & E.G. Homrighausen, op.cit, hlm. 105.
[29] H. Berkhof & I. H Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK. Gm, 2011, hlm. 12-14.
[30] Geraldine Hodgson. Primitive Christian Education, Edinburgh: T. & T. Clark, 1906, 37-38 dalam J. Donald Butler. Religion Education. Harper & Row, 1962, 26-30.
[31] H. Berkhof & I. H Enklaar, op.cit, hlm. 26-30.
[32] Robert L Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktik Agama Kristen, op. cit, hlm. 134-138.
[33] G. Riemer, Ajarlah Mereka, Jakarta: YKBK, 2006, hlm. 59-61.
[34] A. eddy Kristiyanto, Musa Jerman, Jakarta: BPK. GM, 2017, hlm.54 & W.J. Kooiman, Marthin Luther, Jakarta; BPK. GM, 2011, hlm.26.
[35] Ibid, hlm. 91-108.
[36] Joseph Kaung Tai-Wai. Finding the Way Together: Education for Ecumenical Understanding and Action, Hongkong: CCA Education, 1986, p. 25.
[37] Robert R. Boelhke. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK. GM, 2010, hlm. 149-151.
[38] Joseph Kaung Tai-Wai, op.cit, p. 25-27.
[39] J.L. Ch. Abineno, ………… 
[40] Dapat dilihat penjelasannya dalam Mary C. Boy. Educating in Faith: Maps and Visions, Kansas: Sheed and ward, 1989.
[41] Berard Mathaler. Toward a Revisionist in Catechetics, Horizons: Religius Education, 1976, 459.
[42] John Westerhoff. Who Are We? The Quest For a Religius Education, Brimingham: Religius Education Press, 1978, hlm. 264-277.
[43] Thomas H. Groome, op.cit, hlm. 40.
[44] Ibid, hlm. 80-94.
[45] PGI. Strategi Pendidikan Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK. GM, 1989, hlm. 52.
[46] Luther menyusun katekismus Besar dan katekismus kecil; Calvin menyusun katekismus Genewa dan merangkum pengajaran gereja (institutio); P. Melanchton menyusun katekismus dalam bahasa Latin dan Jerman; U. Zwingli menyusun katekismus khusus dengan tidak membahas dasafirman dan sakramen-sakramen; Bullinger menyusun katekismus besar. J.L. Ch. Abineno, op. cit, hlm. 77.
[47] J.L.Ch. Abineno, op.cit, hlm. 56-62.
[48] Ibid, hlm. 62-72.
[49] G. Riemer, op.cit, hlm. 51-52.
[50] Ellen G. White, op.cit, hlm. 236-239.
[51] Pathways To Congregational Vitality  No. 2 Serving The Needs Of Leaders In Foundational Christian Ministries. Pdf, hlm. 1.
[52] Ibid, hlm. 94-95.
[53] Dyana L. Hinson, Christian Education (Planning for Lifelong Faith Formation). Nashville: Abingdong Press Journal, Pdf, hlm. 5.
[54] Ibid, hlm. 99-101.