“AJARLAH MEREKA MELAKUKAN YANG TELAH KUPERINTAHKAN” (Mat. 28:19,20):Kualitas Kristiani Menurut
Pendidikan Katekisasi
A. Akar
Sejarah Pendefinisian “Katekisasi Gereja”
Di sini rancang bangun teologis dan sejarah untuk katekisasi
sudah seharusnya dilangsungkan dalam bingkai timbal balik sebagai sebuah bentuk
pendidikan. Di antaranya mesti melihat sumbangan pikiran-pikiran teologis
tentang pendidikan Kristen dimulai dengan mencari definisi yang dibuahi dalam
sejarah perkembangannya.
1. Mencapai Kesepakatan Untuk Memahami
Katekesasi: Akar PL dan PB dan Sejarah Gereja
Katekesasi adalah sebuah kata Kristen
yang kuno. Sebuah
istilah milik gereja. Sering kata ini memperoleh tempat yang familiar sejak dulu di kalangan umat dan teolog Roma Katolik, kemudian pada perkembangan
Protestan hingga saat ini. John Westerhoff mengusulkan gagasanyang ia usulkan bahwa agar gereja-gereja
Protestan dan Katolik Roma dapat bersatu dalam hal mengenali pelayanan
pendidikan di gereja sebagai ‘katekese’ dan mengarahkan perhatian pada hakikat
katekese.[1]
Untuk mencari hakekat yang dimaksud, baiknya dimulai dengan memperkenalkannya secara akar kata menurut dua tradisi kebangsaan besar yang mendasari Alkitab,
yakni tradisi Yahudi dan Yunani, serta sejarahnya dan arus perkembangan tempat
katekisasi dalam pandangan pendidikan Kristen kontemporer.
a. Yang
terdahulu ialah tradisi Yahudi.
Dalam
tradisi Yahudi, pendidikan telah merupakan alat vital (sangat penting bagi
kehidupan dan) pembangunan bangsa. Sejak dulu, khususnya pasca eksodus (keluaran)
dari Mesir, tentulah merupakan sebuah kewajiban sipil bagi para orang tua untuk
menuturkan secara oral (melalui pembicaraan langsung dari mulut) mau pun
tertulis tentang peristiwa eksodus bangsa mereka sebagai perbuatan Allah, Tuhan
umat Israel (Ulg. 6:20-25; Maz.78:1-7, dll). Hal ini kemudian diteruskan
menjadi kebiasan dan mentradisi dengan kuat sekali. Kebiasaan ini dilakukan
berulang-ulang, di mana pun, kapan pun secara terun-temurun, dari generasi yang
satu ke generasi berikutnya.
Para orang tua berkewajiban memberi pengajaran kepada
anak-anak mereka tentang perbuatan Allah. Tanggung jawab wajib itu, tentu saja
dilakukan dalam lingkungan domestic (tiap rumah tangga), di tempat mana saja
terdapat interaksi public (tempat umum: ladang, atau tempat ramai sekalipun
saat berjalan, duduk/berdiri) dan kerumahtanggaan (di rumah, tempat tinggal. Ulg.
6:7). Dengan begitu, bangsa ini memiliki tradisi mendidik yang kuat dengan
metode penuturan yang berulang-ulang dengan makna yang ditarik secara
konsekuen. Para orang tua tidak saja menuturkan apa yang diperbuat Allah
terhadap umat Israel saat di Mesir (historie),
tetapi juga mereka menuturkan makna/maksud dari kisah sejarah itu (geschichte).
Pada tahap pendidikan Yahudi seperti ini, akan dengan mudah
dikategorikan sebagai pendidikan dalam periode sebelum pembuangan. Rincian
penjelasan mengenai masa ini, sbb:
1.
Masa
Sebelum Pembuangan (Pra-exilic)
Disebut
pra-exilic, oleh karena sejarah umat
Israel diwarnai dengan peristiwa pembuangan ke negeri lain.[2]
Jika dicermati, pendidikan di periode ini memiliki kekhasan tersendiri.
Keluarga saat itu, sekali lagi, merupakan muara dan basis pendidikan. Para
orang tua memegang sebagian besar peranan yang berarti. Walau demikian belum
ada lembaga resmi bagi proses pendidikan dan sistemnya.[3]
Kurikulum utama pada periode ini ialah sejarah perjalanan pemilihan umat oleh
Allah, sebagai miliki pusaka-Nya. Allah yang menyatakan diri pada umat Israel
sebagai natur pendidikannya yang menguatkan jati diri umat Israel. Di samping
itu ajaran tentang manusia sebagai ciptaan Allah juga merupakan thema besar
pendidikan Yahudi. Untuk memperoleh skema yang cukup terang, baiknya
memerhatikan runtut pokok ajaran yang disajikan mantan pengajar Pendidikan
Agama Kristen di STT Jakarta selama 25 tahun, Robert R. Boehlke:
Pemilihan Abraham dengan keturunannya (pemilihan umat),
penciptaan langit dan bumi (penegasan penyataan diri Allah sebagai Allah
monoteis bagi umat), pembebasan dari perbudakan di Mesir (karya besar Allah
bagi umat), pemberian perjanjian/hukum Taurat (landasan konstitusional umat),
pendudukan tanah yang dijanjikan (realisasi janji), permulaan kerajaan dan
kesaksian para nabi tentang kecenderungan umat Israel menyeleweng dari
persyaratan yang termuat dalam perjanjian.[4]
2.
Periode
sesudah Pembuangan (Post-exilic)
Periode
ini menggambarkan sebuah proses umat dalam melakukan pemulihan (restorasi) diri
dan memusatkan kembali hidup (reorientasi) pada Allah secara tegas. Itu berarti
terdapat pergeseran atau perkembangan yang cukup berarti. Restorasi berhubungan
dengan memulihkan kondisi yang kacau balau saat pembuangan. Sedangkan
reorientasi berhubungan dengan mengantisipasi dampak buruk missorientasi (hal-hal yang berhubungan dengan hambatan yang
menghalangi orang Israel untuk kembali setia sebagai) umat dari Allah serta
identitas diri, misalnya pada generasi yang lahir di tempat pembuangan, bahaya pencampuradukan
agama (menyembah Allah sambil menyembah dewa-dewi dari agama bangsa lain),
kecacatan dalam mengenal Allah sebagai Tuhan dari umat dan kelunturan tradisi
serta ras. Sehingga diupayakan pengorientasikan ulang umat kepada Allah (bnd. Konteks Pengkhotbah dan kutipan Ams. 22:6).
Pada
perkembangan pertama dari masa ini, jika dibanding dengan pre-exilic terjadi pada cara penyampaian
pendidikan. Penyampaian isi pendidikan umat Israel pada masa pre-exilic sangat lisan (tuturan mulut
dan cara melakukan), sedangkan saat periode ini, isi pendidikan mesti
diwariskan secara tertulis. Beberapa ahli menyebut masa ini sebagai masa ‘melek
aksara’.[5]
Masa pewarisan secara tertulis. Kedua, ialah sifat pendidikan saat
itu semakin kultis (disampaikan dalam ibadah-ibadah di Sinagoge:tempat ibadah
orang Yahudi). Ketiga ialah kebutuhan akan lembaga ‘resmi’ pendidikan lain, di
samping keluarga, seperti sinagoge, pusat
ibadah dan pendidikan local.[6]
Keempat,
adanya penyerahan pendidikan yang ditangani di sekolah dan guru.[7]
Pada masa ini, tugas pendidikan diarahkan pada memulihkan dan meninjau kembali
status dan orientasi umat. Metode pendidikan biasanya ialah menghafal secara
harfiah. Walau demikian, akhir dan muara
dari semua proses pendidikan ini akan ditindaklanjuti dalam keluarga dengan
orang tua sebagai pendidiknya.
a. Para
Pendidik Umat Allah Dalam Perjanjian Lama
Selain
orang tua yang melakukan kewajiban pengajaran, setelah membagi secara strategis
periode pendidikan Yahudi, Matias Preiswerk, penggelut teori pendidikan
Kristen, membantu menginventarisir agen-agen pendidik lain dalam PL menurut
identifikasinya secara konklusif.
Di
urutan pertama ada para nabi. Tujuan nilai pendidikan dari
setiap tugas dan karya nabi ialah merealisasikan (baca: mewartakan dan
menentang kekangan dosa dan penjajahan umat) pembebasan, misalnya yang paling
terkenal ialah Musa. Isi berita mereka ialah pengungkapan isi hati Allah dengan
perkataan yang sesuai dengan zamannya untuk mengonfrontasikan umat-Nya dengan
harapan akan memulihkan bangsanya sekaligus pemimpinnya. Metode para nabi ialah
pewartaan Firman yang bersifat teguran, janji-harapan, ancaman, dan tindakan
simbolis (tanda-tanda mukjizat). Posisi kedua ada imam. Peran imam
juga cukup sentral dan strategis. Tujuan pendidikan mereka ialah meneruskan
tradisi umat. Konten pengajaran mereka termuat dalam semua ritus atau praktik
agama dan hukum-hukum. Mereka biasanya memusatkan pendidikan di Bait Allah.
Berikut, yang memegang pengajaran moral
praktis disertai asupan-asupan arah hidup ialah “para bijak”. Mereka ini dalam PL memiliki tujuan pendidikan ialah
mengarahkan secara moral agar hidup umat secara individu/komunitas menuju arah
yang bajik bagi yang mau menerima pengajaran. Konten pengajaran mereka berasal
dari wejangan-wejangan reflektis-obyektif tentang hidup umat itu sendirian atau
dari pengalaman dan hakekat hidup sebagai manusia di hadapan Allah. Metode
mereka ialah verbalisasi pengajaran hikmat. Sedangkan, para bijak ini
mengonsentrasikan pengajaran mereka di istana atau di pintu-pintu gerbang kota.
Terakhir manurut Preiswerk, ialah ahli-ahli
taurat, rabbi atau guru. Ia
lebih menyukai menyebut mereka dengan sebutan khusus, yakni “sarjana taurat
atau doctor taurat”. Tugas orang-orang seperti ini ialah menafsirkan kitab suci
mereka (Ezra. 7:6, 10). Pengajaran mereka berisikan tafsiran-tafsiran teologis
tentang pengalaman umat dengan Allah. Tindak lanjut dari tafsiran mereka ialah
mengajarkannya bagi semua kalangan umat dan sering ditemui dilakukan di
sinagoge/kenisah.[8] Melengkapi Preiswerk, Boehlke
menginventarisir pendidik terakhir dalam PL, yakni kaum penyair. Tugas pengajaran mereka ialah melalui
irama dan perkataan simbolis. Mereka sering mendobrak hati para pendengarnya
melalui dua istrumen tersebut. Syair-syair yang mendidik ini sering ditemui
dalam hampir keseluruhan kitab Mazmur, beberapa penggalan dalam kitab Keluaran
(15:21). Isi syair sering menggambarkan pengalaman pribadi dan historis umat
dengan Allah. Syair-syair sering ditemui bersifat ucapan syukur dan doa yang
dilatunkan dalam irama alat musik ataupun tidak. Tugas pendidikan mereka
seringkali berlangsung dalam tiap perkumpulan sosial, di tengah-tengah umat
dalam perayaan, dalam keluarga, atau dalam istana. Semua yang mendengar syair
atau membaca syair tersebut merupakan orang yang menerima didikan.[9]
Sumbangan Preiswerk cukup tampak bahwa sudah sejak awal, apa
yang disebut pengajaran dalam pendidikan memiliki tempatnya dalam Alkitab,
khususnya dalam budaya orang Yahudi, yang nota
bene secara dominan dan ekslusif
mendominasi narasi PL.
b. Tujuan
Pendidikan Dalam Perjanjian Lama
Andrew Hoffecker, yang cukup lama
mengajar di Grove City Collage, menyimpulkan bahwa setidak-tidaknya terdapat
tiga tujuan pokok pendidikan dalam PL, dalam hubungannya dengan katekesasi
nanti. Pertama, pendidikan yang bertujuan untuk menurunkan warisan historis iman Ibrani,
Allah sebagai Pembebas (Yos.4:21-24; Kel.12:26-27; 13:8-10; Ulg.4:9-10; 32-7).
Kedua,
mengajarkan perilaku etis (Ulg. 6:6-9 dan kitab-kitab hikmat). Terakhir, ialah mengajarkan urusan-urusan praktis dari kehidupan
sehari-hari, secara individu atau kelompok (lihat mengenai
wejangan-wejangan hikmat: Ayub, Amsal & Pengkhotbah).[10]
Dan untuk mengingatkan hal paling penting lagi bahwa, dalam PL, secara umum,
pendidik berlangsung dengan proses yang sudah pasti merupakan intervensi transcendental
(berhubungan dengan Tuhan dan kehidupan sehari-hari). Itu artinya, pendidik
atau pengajar utama umat Israel ialah
Allah, Tuhan, yang memperkenalkan diri dan memilih mereka. Karena itu,
wajib diperhatikan rujukan Nabi Hosea berikut ini.
Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir
Kupanggil anak-Ku itu … Akulah yang mengajar
Efraim berjalan dan mengangkat mereka di tangan-Ku … Aku menarik mereka
dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih. Bagi mereka Aku seperti orang yang
mengangkut kuk dari rahang mereka; Aku membungkuk pada mereka untuk memberi
mereka makan (Hos. 11:1, 3-4).
Dalam PL, perlu diakui bahwa sifat pendidikan sejak awal
umat terbentuk ialah religius dan politis. Religius berkaitan dengan
posisi umat sebagai yang menerima ajaran tentang Allah sendiri sebagai Tuhan
yang Esa, hidup dan benar. Sedangkan, politis berkaitan dengan posisi
pendidikan tersebut yang memiliki signifikansi bagi menata kehidupan bersama
sebagai umat secara nasional (baca: sebangsa atau sesuku dengan satu bapa
leluhur, yang dimulai dari Abraham, Ishak dan Yakub) di hadapan Allah. Ini dimulai oleh generasi awal ke
generasi muda-mudi, dan seterusnya.[11]
b. Akar
tradisi Yunani.
Kata
ini merupakan sebuah kata kerja bahasa Yunani, yakni Κατεχειν (baca: katechein),
yang berarti “menyuarakan dengan keras”, “menggemakan”, atau
“mengumumkan” dari atas mimbar atau
panggung ke para pendengar di bawahnya.[12]
Dengan demikian, akar kata ini
mengandung arti pengajaran lisan atau pelajaran-mengajar (lihat Luk. 1:4; Kis. 18:25; Gal. 6:6).[13] Mengajar dengan wibawa, otoritas dan
dengan cara dialogis.[14]
Kalau demikian, arti kata “katekhein” di sini lebih ditekankan
pada mengajar bukan dalam arti intelektualistis (teori/rumus &
kemampuan berpikir rumit) tetapi lebih kepada arti praktis, yaitu mengajar atau
membimbing seseorang, supaya ia melakukan apa yang diajarkan
kepadanya secara sederhana (Rm.2:18). Sifat mendasar katekhein dalam sejarah awal dengan demikian
adalah pengajaran lisan, sederhana, dan yang terpenting ialah mencirikan
karakter moral. Pengajaran moral praktis.[15]
Dalam PB, khusunya pada awal gereja mula-mula, kata katechein
dapat dilihat dalam arti pengajaran lisan dengan penjelasan yang sangat
sederhana (lih. Ibr. 5:12-14; 1 Kor. 3:1-3). Biasanya akar pengajaran tersebut
terdapat pada ajaran dogtrinal
Alkitabiah atau kepercayaan yang diyakini mendasarinya menuju pengajaran untuk diterapkan (aplikatif),
praktis. Arti
kata ini pada perkembangan jemaat mula-mula berarti tugas khusus pengajaran
jemaat (Gal.6:6; 1 Kor.14:19). Dasar utamanya dan tempat bagi katekese
adalah dalam pelayanan Firman. Di
samping istilah katechein, terdapat empat istilah lagi. Masing-masing merupakan
istilah diseputar pendidikan yang bersifat religius maupun politis.
Masing-masing istilah berakar dalam alam pikiran Yunani yang kemudian diambil
alih dan dibubuhi konten dan pesannya secara Kristen dalam PB.
a. 4
Istilah di Samping Lain lagi
Pertama,
ialah didaskein. Kata ini
ialah kata kerja. Dalam tradisi Yunani, istilah ini digunakan untuk sebuah
pekerjaan perihal menyampaikan pengetahuan kepada orang lain, dengan maksud
supaya yang diajar atau yang menerima pengetahuan itu sedapat mungkin bertindak
dengan terampil dalam hidupnya. Lebih tepatnya, mengajar dengan kuasa
(otoritas) keterkaitan ajaran dengan praktek.[16]
Kata ini menggambarkan aktivitas dan kemampuan mengajar seorang pengajar
terhadap muridnya dan selalu aktivitas itu mengacu pada praktek mengajar (cara
mendidik, metode mengajar). Itu sebabnya, kata ini dalam serapan bahan
Indonesia meilasnya, dapat menunjuk pada didaktika (ilmu tentang cara
mengajar), didaktikus (ahli mendidik: Yoh.3:2) / didaktikus (bersifat mendidik),
Mat. 4:23; 26:55; 7:28-29; Ef.4:11.s
Andar Ismail mengartikannya sebagai tindakan
mengajar/belajar untuk bertindak secara jitu. Apa yang diajarkan adalah tentu
apa yang mesti dipraktikan (bnd. Ulg.
4:1; Ams. 4:11; Mat. 4:23; Mark. 6:30). Comenius, yang diberi gelar bapak
pendidikan modern, menyebutnya sebagai seni mengajar segala sesuatu kepada
semua orang, secara tepat, enak dan selengkapnya.[17]
Jadi, proses belajar seorang ialah menyerahkan seluruh perhatian dirinya dalam
menerima pengajaran dan mempraktikannya dengan totalitas diri. Istilah ini
biasanya menunjuk sebuah hubungan pengajaran tentang Allah dan aspek perilaku
(Mat. 26:25; 28:19).[18]
Kedua, ginoskein. Istilah ini juga termasuk kata kerja. Artinya ialah ‘mengenal’
atau ‘belajar mengenal’. Dalam versi yang cukup sama, kata ini berarti mengajar
atau belajar untuk mengetahui. Pengertian ini terlampau pasif dalam asas-asas
intelektual. Jika istilah sebelumnya (didaskein) bersifat sangat praktis, maka istilah
ini bersifat intelektualistis dalam alam pikiran Yunani yang cenderung
filosofis.[19]
Terdapat kadar teoritis dari proses intelektualisme filosofis yang menurut
Groome, kecenderungan berpikir seperti ini tidak terkontrol.[20]
Terdapat aspek empiris dalam proses mengetahui dari istilah yang dimaksud ini.
Pengetahuan diperolah dari hasil pengamatan indrawi (pengalaman indra-indra)
dan diafirmasi melalui penalaran. Akan tetapi, terkhusus pemakaian kata ini
dalam PB, sifat intelektual itu digeser dan diberi sifat lain, yakni mengenal
atau mengetahui secara intim atau mendalam dalam arti relasional dan
berdasarkan pengalaman bergaul. Jika dibanding dengan istilah dalam PL, kata
ini pantas disejajarkan dengan istilah yada
(Ulg. 11:2; Hos. 4:6). Ginoskein
ditekankan pemakaiannya untuk menjelaskan hubungan manusia yang ingin mengenal
atau mengetahui tentang kehendak Allah. Dari hasil belajar mengenal atau
mengetahui kehendak Allah inilah, yang kemudian menuntun arah hidup seorang manusia
terhadap orang lain di sernya atau dengan lingkungannya. Dengan begitu, proses
belajar ialah menempuh pergaulan dengan Allah dengan jalan tertentu dan
mendesak ketaatan dan penyerahan diri (Rm. 1:21, 28; 1 Kor. 10:5; Gal. 4:8-9).
Istilah yang tak kalah penting berikut ini ialah manthanein. Sebuah bentuk kata kerja yang berarti
‘belajar’. Istilah ini dalam alam pikiran Yunani, berarti belajar untuk
melakukan.[21] Dari
segi pendidik, kata ini menunjuk proses memdidik secara bertanggung jawab agar
ajaran membawa hidup/agar hidup baik.[22]
Jika dalam asosiasi Kristen, kata ini berhubungan dengan proses rohani dalam
hal perkembangan kepribadian. Manthanein tidak terlalu muncul dalam PB. Namun,
amat penting untuk menggambarkan misalnya, status para murid Yesus.[23]
Kata ini ingin memberitahukan bahwa murid adalah sekaligus pengikut dari
seorang guru. Jadi, dua belas murid yang belajar dengan didahului pemilihan dan
pemanggilan oleh Yesus, ialah para murid yang mesti mengambil keputusan
eksistensial. Keputusan itu ialah memutuskan diri untuk belajar (baca:murid)
pada Yesus, mesti mengikuti Dia ke mana saja Yesus pergi. Itu artinya, mereka
menyerahkan diri sungguh-sungguh dan hidup secara disiplin (Mat. 9:13; Kis.
11:26; Ibr. 5:7-8).
Kata terakhir ialah kata yang memiliki sifat politis yang
kuat, yakni paideuein. Kata ini
berarti ‘mendidik’. Serapan kata ini ke dalam bahasa Indonesia menunjuk pada
kata pedagogi (ilmu pendidikan/ilmu
pengajaran). Menurut
skema pikiran politis Yunani, pendidikan memperolah tempatnya pada polis.[24]
Karena itu, istilah ini – sebagai sebuah
kata kerja yang menjelaskan sebuah proses bimbingan kepada warga polis (baca:
Negara), dimulai dari anak-anak, supaya mencapai usia dewasa dapat tampil
dengan baik dengan tuntutan hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
luas. Jadi, dalam usia dewasa, setiap orang yang menerima didikan dapat hidup
sesuai tuntutan yang dipelajari sejak kecil. Ini berarti, istilah ini
menggambarkan sebuah pendidikan jangka panjang yang dilakoni perangkat negara
bagi warga negaranya agar memiliki warga negara yang baik dalam arti moral dan
intelektual (saat ini mungkin dapat disebut manusia dengan sumberdaya). Menurut
pandangan PB, Yudeo-Kristen (pascaYesus) paideuein berarti mendidik dan
membimbing anggota-anggota jemaat untuk belajar berjalan di jalan pengudusan
dan tetap berada di jalan itu (1 Tim. 3:16-17;
Tit. 2:12; Ibr. 12:7; 1 Ptr. 2:9).
c. Posisi
perkembangan katekisasi dalam sejarah.
Setelah
menelusuri kelima istilah tadi, dengan sedikit melanjutkan tradisi Yahudi – didirikanlah
sekolah-sekolah oleh jemaat Yahudi secara resmi hinggan memasuki abad pertama.
1. Abad Pertama.
Andre Lemaire menduga bahwa ada beberapa bentuk
sekolah di Israel mulai dari zaman monarchi (kerajaan), khususnya di Yehuda
selama abad ke-VIII dan ke-VII sM (masa-masa menjelang pembuang dan berada di
pembuangan). Ia berpendapat berdasarkan analogi dari Mesir dan Mesopotamia, di
mana sekolah telah ada sejak millennium ke-III. Sekolah-sekolah dimaksud belum
dalam arti formal, yang hanya terdiri dari beberapa murid yang berada di
sekeliling guru. Namun, ini semua menurutnya baru sebuah dugaan berdasarkan
hasil riset arkeologi terhadap berbagai aksara untuk memperkuat pendapat
mengenai pendidikan di zaman itu.[25]
Di sekolah-sekolah dasar itu anak-anak usia sekitar 6-7 tahun mendapat
pengajaran (bimbingan) dari para guru Torah. Pengajaran ini bukan dimaksudkan
untuk memberi pengetahuan umum, melainkan pengetahuan khusus tentang Torah.
Pengajaran itu diberikan agar anak-anak tidak hanya menghafal ayat-ayat dalam
torah secara harfiah, tetapi juga untuk mengetahui maknanya. Sekolah yang
dimaksud ini disebut ‘rumah buku’ (Ibr. Bethhasefer).
Pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah dasar ini ialah rumah pengajaran
(Ibr. Beth-ha-midrasy). Biasa juga
disebut ‘madrash’. Rumah yang
dimaksud ini sering dihubungkan dengan sinagoge Yahudi. Artinya, aktivitas
madrash berlangsung di sinagoge.
Berkaitan dengan sinagoge, L.J. Sherrill memberi komentarnya bahwa proses
ini sejalan dengan hakekat agama dalam mana hakekat itu ditanamkan, yakni
perkumpulan orang-orang Yahudi untuk menerima pengajaran agama.[26] Di
situlah berlangsungnya pendidikan madrasah. Pendidikan yang dimaksud ialah pengajaran yang dilakukan
oleh para pendidik taurat khususnya untuk menghasilkan murid (baca:katekumen)
yang mampu mengetahui arti Torah dan maknanya dan secara bertanggung jawab atas
pengajaran tersebut kepada Tuhan dan masyarakat Yahudi. Untuk katekisasi, ini
hakekatnya hampir sama, hanya berbeda suasana. Di sinagoge khususnya,
pengajaran dilakukan bagi tiap hari ibadah, yakni hari Sabat. Torah (hukum
Musa) dibacakan di tiap hari Sabat (Lih.
Kis.15:21) bagi seluruh umat. Abineno menyumbangkan rincian bahan pengajaran di
sinagoge dalam beberapa bagian. Pertama, pengakuan iman (Ibr. Syema) nas pengakuan ini terdiri dari
Ulangan 6:4-9, 11, 13-21 dan Bilangan 15:37-41. Kedua, doa utama (Ibr. Syemona Esre). Doa ini diucapkan oleh
tiap-tiap orang Israel di semua kalangan usia, tiga kali sehari. Doa ini
merupakan puji-pujian kepada Allah Abraham, Ishak dan Yakub dan suatu
permohonan untuk pemulihan Yerusalem dan kerajaan Daud. Ketiga, pembacaan Torah (bnd. Neh.8:9). Keempat, pengajaran
tentang arti dari hari raya-hari raya Yahudi, seperti Paskah, Pentakosta,
Pendamaian, Pondok Daun, Purim, dll.[27]
Jika usia sebelumnya para murid melakukan penghafalan
harfiah, maka di usia yang mencapai sepuluh tahun, mereka mulai dengan
pengajaran yang sebenarnya. Sebagaimana usia genap yang dianggap matang untuk
mempertanggungjawabkan pengajaran dan kurikulum Yahudi abad pertama itu, ialah
dua belas tahun. Usia ini akan disebut usia “anak taurat”.[28]
Abineno menyebut usia ini ialah usia “anak syariat”. Di sini sudah pasti, Yesus berkesempatan memperoleh
pendidikan dan pengajaran tentang Torah (bnd. Luk.2:40).
Proses ini berlanjut hingga berakhirnya abad pertama, yang mana gereja
sebagai buah pekebaran injil para rasul mulai beraktivitas dalam otonomi
(sebagai komunitas tersendiri dan pengakuan tersendiri, “Yesus Kristus adalah
Tuhan”) di bawah pimpinan Roh Kudus dan mulai memperoleh pengakuan
politis-religius oleh kalangan Yahudi dan Yunani, tekecuali imperium Romawi
saat itu.
Hal yang paling penting dan patut dicatat
ialah bahwa, akhir-akhir abad pertama, khususnya pasca kematian Yesus, isi
pengajaran dari bukan lagi difokuskan pada taurat, bagi setiap orang Kristen
khususnya Yahudi, melainkan pada injil tentang pribadi dan karya Yesus Kristus.
Itulah isi pengajarannya. Injil dilihat sebagai taurat baru.[29] Para
pengajarnya tentu saja orang-orang yang berwewenang mengabarkan injil,
khususnya para rasul, penginjil dan pengajar. Sekolah Kristen pertama ialah
dalam persekutuan doa, yaitu ketika para murid Yesus berkumpul di rumah-rumah
secara tersembunyi sambil menceritakan pengenang akan Guru Agung mereka sambil
berdoa, menguatkan dan mendidik yang lain. Kedua,
bahan-bahan katekese
(baca:katekisasi) mulai bertambah banyak. Salah satu yang paling terkenal
dalam gereja di akhir abad ini ialah didakhe.
Didakhe merupakan buku katekismus jemaat purba di abad ini. Buku ini dijiwai
oleh pengakuan iman jemaat mula-mula, yakni Yesus Kristus adalah Tuhan (Flp.
2:11). Ia merupakan buku pengajaran Kristen yang berlatar belakang
Yudeo-Kristen. Buku ini berisikan unsur hukum (hukum yang utama dan dasa
titah), unsur sakramen (baptisan, Perjamuan Puasa dan Puasa), pengakuan iman
dan yang sangat khas ialah nasehat-nasehat eskatologis.
Saat gereja mulai terus berkembang sampai awal abad kedua, pengajaran juga terus
mengalami perkembangan.
2. Katekisasi di Sekitar Abad Ke-dua
Geraldine Hodgson dengan menulis Primitive Christian Education menelaah bahwa pola didik gereja
mula-mula memasuki abad kedua cukup keras dan menantang. Pola didikan dalam
gereja menggunakan disiplin tangan besi yang tak jarang hukuman keras tertentu
dipergunakan. Termasuk bagi anggota katekumen menjelang baptis.[30]
Namun begitu, perkembangan ini, perlahan memiliki pola yang bergerak sedikit
membaik. Pola ini diaplikasikan pada para katekumen yang dibagi menjadi dua
tahap. Tahap pertama adalah tahap
percobaan. Pada tahap ini, katekumen diajarkan mengenai iman Kristen
secara disiplin cukup ketat selama tiga tahun. Mereka ini disebut ketekumin
(pengikut-pengikut katekumenat). Mereka ini belum memiliki status resmi sebagai
anggota gereja secara penuh karena belum mempunyai hak yang sama dengan
anggota-anggota gereja yang sudah dibaptis. Jadi, mereka saat itu kebanyakan
ialah petobat baru.
Di masa ini,
gereja sangat kuat menjalankan pendidikan dan ajaran mereka dari bahaya
timbulnya berbagai penyesatan dan perlawanan. Karena itu, alat didik mereka
saat itu yang sekaligus merupakan senjata gereja untuk membendung perlawanan
ialah: 1. Kanon Alkitab (kitab-kitab PB). 2. Pengakuan iman untuk menetapkan
ajaran dab jenis pendidikan anggota gereja dari bahaya dimaksud. 3. Jabatan
uskup, selaku pengganti rasul-rasul dan pembela kebenaran.[31] 4.
Berbagai bentuk disiplin gereja (usaha menjaga kesucian jemaat dari dunia di
sekitarnya).
3. Katekisasi dan Petobat Baru dan keanggotaan Gereja
Boelhlke memandang bahwa pada abad ini katekumenat
merupakan jawaban konkret dalam menanggulangi masalah kebanjiran petobat baru
yang kebanyakan adalah orang dewasa yang ingin menaklukan diri pada Kristus
melalui gereja-Nya.[32]
Mereka semua berasal dari latar belakang agama pagan. Secara umum, gereja saat
itu berkembang di tengah berbagai wawasan dunia profane, paganis, atau yang
biasa disebut pihak gereja sebagai “orang kafir”. Karena itu, apabila dapat
melampaui tahap pengajaran selama tiga tahun, akan berlanjut ke tahap
berikutnya, yaitu tahap peneguhan sidi sebelum baptisan. Dalam persiapan itu,
para calon baptis diatur persiapannya secara saksama. Mereka dipersiapkan untuk
memperoleh upacara istimewa di antara anggota gereja penuh. Mereka diharuskan
berdoa dan berpuasa; dimandikan dan diurapi, kemudian diberikan pakaian baru
dan nama baru. Mereka juga ditiup dengan tujuan untuk mengenyahkan roh-roh yang
jahat dan ditumpangkan tangan oleh pemimpin jemaat sebagai tanda penerimaan
karunia-karunia Roh Suci (sebagai lawan dari roh paganis yang dianut dahulu).
Semua prosesi itu dilakukan di luar gereja dan mereka diantar masuk ke dalam
gedung gereja yang disambut dengan sukacita oleh jemaat lain. Mereka ini
kemudian dilayakkan untuk mengucapkan doa Bapa Kami dan turut terjamu roti dan
anggur perjamuan.
4. Katekisasi di Kisaran Abad Pertengahan (menuju tahun
1500-an)
Dalam
perjalanan gereja, berikut ini tampak bahwa ternyata katekisasi mengalami
pasang surut. Pada abad-abad pertengahan, katekisasi makin mendangkal yang
sebenarnya sudah dimulai pada abad pertama. Misalnya pada abad IV, konteks masa
corpus crhristianum (mulai dari tahun 313
M), yang nota bene masa keemasan
kekristenan secara ekspansif dan otoritarian (kekristenan sebagai agama negara,
baca: imperium), apa yang ketat di abad sebelumnya dikendorkan dalam segi
prosesi. Pendangkalan ini disebabkan sekurang-kurangnya 2 hal: Pertama, adanya baptisan anak-anak dari
keluarga Kristen, dan mereka tidak diberi lagi pengajaran katekisasi.
Katekisasi tidak lagi sebagai persiapan baptisan. Karena baptisan saja sudah
cukup jadi Kristen, yaitu bahwa melalui sakramen anak-anak sudah memperoleh
anugerah Allah yang diterima melalui setiap misa. Itu sebabnya, kemalasan
mengajar dan belajar. Ditambah lagi, hal ini disebabkan oleh adanya tradisi,
bahwa katekisasi hanya diberikan kepada orang-orang yang berpindah agama dari
agama kafir ke agama Kristen sebagai persiapan baptisan. Itu pun tidak
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan teliti. Sebab, ada paham yang berkembang
bahwa teologi atau hal-hal agamawi merupakan ilmu praktek semata-mata dan bukan
ilmu pengetahuan (yang menuntut pengajaran tertata). Paham ini disebarkan oleh
Duns Scotus (wafat 1308). Sehingga gereja cukup menyepelekan katekisasi sebagai
kegiatan pengajaran dan pemberian pengetahuan. Jadi praktek kegerejaan harus
bersifat praktis saja. Ajaran hanya dihafalkan (Doa Bapa Kami dan Apostolikum:
Pengakuan Iman, pengajaran daftar dosa), tidak dihayati. Rupanya di sinilah
awal mulanya muncul ujian bagi
para calon baptisan.[33] Kedua, adanya anggapan bahwa sakramen
pengakuan dosa merupakan pengganti peran orangtua dalam pemeriksaan terhadap
pendidikan ajaran Kristen. Akibatnya, para orangtua mengabaikan tanggung jawab
penting mereka dalam mendidik anak-anak.
5. Kisaran Abad Kelima Belas
Dalam abad kelimabelas
katekisasi tidak berarti sama sekali, karena sudah begitu merosotnya. Pada saat itu Alkitab tidak dijadikan bahan
khusus dalam katekisasi. Hingga masa reformasi barulah ditempatkan kembali
Alkitab sebagai pusat dalam kehidupan bergereja menimbulkan perubahan dan
pembaruan dalam bidang ketekisasi. Semua ajaran gereja adalah rangkuman dari
ajaran Alkitab. Cerita-serita Alkitab dan sejarah gereja mulai dijadikan bahan
katekisasi.
Katekisasi pada masa itu, tidak hanya diberikan kepada orang yang berpindah
ke agama Kristen, tetapi diberikan kepada semua orang. Menurut para reformator,
katekisasi pertama-tama merupakan tugas keluarga. Orangtua wajib mendidik
anak-anak mereka menurut hukum Tuhan, dan memimpin mereka kepada Kristus. Di
samping keluarga, katekisasi juga merupakan tugas sekolah, sebab pada waktu itu
hubungan antara gereja dan sekolah sangat erat. Zwingli dan Calvin berpendapat,
bahwa katekisasi adalah tugas pokok gereja. Sedangkan Luther bahwa sekolah
adalah alat untuk memahami firman Allah dengan lebih baik, “hanya dengan sekolah Firman Allah dapat
dipahami”.[34] Karena
itu, ia mewajibkan tiap orang tua
wajib mengirim anak-anak muda mereka ke sekolah. Ia banyak menyulap biara-biara
menjadi sekolah dan di situ berlangsung katekisasi sekolah. Pada masa itu, bahan-bahan katekasasi tidak hanya dihafalkan,
tetapi juga harus dimengerti; tidak hanya dimengerti dengan otak, tetapi juga
dimengerti dengan hati.[35]
6. Kisaran Abad Kedelapan Belas & Sembilan Belas
Dalam abad kedelapan
belas dan kesembilan belas, dapat dikatakan sebagai abad pergerakan
pekabaran injil lintas benua.[36] Di
abad ini katekisasi mengalami pembaruan. Persiapan yang baik perlu dilakukan bagi
orang-orang yang akan menerima baptisan. Katekisasi sebelum baptisan merupakan
syarat yang harus dipenuhi. Sayangnya, hal ini tidak berjalan lama. Sesudah
itu katekisasi merosot lagi, yaitu hanya sekedar menghafal
pokok-pokok ajaran. Hal ini dikritik oleh pelopor ilmu jiwa pendidikan,
Jean-Jacques Rousseau. Ia menemui bahwa di zamannya, para katekumen diwajibkan
menghafal, misalnya katekismus gereja Calvinis. Baginya, menganjurkan secara
wajib penghafalan katekimus dan ajaran akan menciptakan kebiasaan membeo
jawaban yang tidak dipahami.[37]
7. Masa Zending Belanda Abad Sembilan Belas Menjalang
Abad Dua Puluh
Pada waktu zending Belanda, katekisasi
berhubungan erat dengan pelajaran agama di sekolah (Kristen), sehingga
pelajaran agama di sekolah dipandang sebagai “pesemaian” katekisasi. Kebiasaan
ini diambil dari gereja-gereja di Eropa yang dibawa oleh para zendeling ke
Indonesia. Guru-guru yang mengajar di sekolah harus menandatangani pengakuan
iman gereja-gereja Belanda, Katekismus Heidelberg, dan Dasar-dasar Ajaran
Sinode di Dordrecht yang disebut Ketiga Surat Simbolis. Pelajaran agama yang
diberikan di sekolah adalah pelajaran katekisasi yang diberikan di gereja
seperti, menghafal doa Bapa Kami, dasa titah, ikhtisar katekimus Heidelberg dan
menyanyikan mazmur.
Pada abad kedua puluh hingga saat ini, yang dikenal sebagai abad ekumenis,[38]
tentu saja katekisasi mengalami berbagai bentuk kemajuan signifikan, berbeda
dengan aba-abad sebelumnya. Antara lain, progresifitas terjadi pada tenaga
pengajar yang mulai memperoleh pelatihan khusus mengenai ilmu edukasi
(pendidikan), didaktika (ilmu mengajar) Kristen dan tidak juga melupakan
perkembangan ilmu psikologi (ilmu jiwa). Yang menarik dan yang cukup menentukan
ialah bahan ajar yang selalu disesuaikan perkembangan dan kemudahan
mengaksesnya. Berbagai pengetahuan dapat dengan cukup mudah diperoleh berkaitan
dengan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan, biak pengajar dan juga katekumen
sendiri. Di samping itu juga, metode diperluas, alat-alat bantu pengajaran, dan
berbagai hal yang menunjang kemajuan dalam proses katekisasi. Semua ini
disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan komunikasi yang
menunjang proses pendidikan Kristen bagi katekisasi.[39] Dengan
begini, sebenar cukup mudah menyajikan pengajaran yang berkualitas.
d.
Perkembangan Terakhir: Perdebatan Dalam Mengusulkan
Posisi Katekisasi Gerejawi.
Hingga
sekarang, katekisasi terus disoroti sebagai bagian pendidikan dalam kekristenan.
Dewasa ini, menyebut pendidikan di bidang agama Kristen, mesti diingat
pemetaannya, seperti pendidikan tentang evangelikalisme, pendidikan agama,
pendidikan Kristen, pendidikan agama Katolik, pendidikan ekumenis dan
pendidikan multicultural. Kelima pendidikan dalam kekristenan ini, tentu saja
mewakili perkembangan arus pemikiran Kristen dan perkembangan teologinya
tersendiri. Penjelasan masing-masing tidak dilakukan di sini.[40]
Untuk itu, Berard Marthaler, misalnya, memahami
istilah katekisasi yang merupakan bagian
pendidikan Kristen sebagai proses yang melaluinya individu-individu diinisiasi dan disosialisasi dalam
komunitas gereja.[41]
Sedangkan Westerhoff yang dikenal ulung dalam ilmu pendidikan Kristen,
mengusulkan makna bagi katekisasi begitu luas
sehingga kata ini mendeskripsikan seluruh proses menjadi Kristen.[42]
Akan tetapi, Groom melihat hal yang agak berbeda dan sangat mendasar sekali,
berkaitan dengan posisi katekisasi. Ia mengusulkan dari cara pembedaannya antara katekisasi
dengan pendidikan agama Kristen.
Ia melihat bahwa katekisasi semestinya ditempatkan sebagai salah
satu cara dan bentuk dalam berbicara mengenai Pendidikan Agama Kristen (PAK) itu sendiri.
Sebab, ia mencoba membuka lebar wawasan katekisasi sebagai bagian integral dalam seluruh
pendidikan Kristen. Kata
“Kristen” baginya menuntut kegiatan katekisasi diinformasikan oleh teologi dan
studi-studi Alkitab. Ini dilakukan agar tidak semata-mata mendidik orang yang
baru bertobat atau meneguhkan isi pengajaran Kristen bagi yang telah Kristen
untuk pada akhirnya memahami isi iman Kristen, sebagaimana perkembangan katekisasi pada gereja abad
pertama.
Ia mengusulkan bahwa agar dapat memahami katekisasi secara
konsekuen menurut Alkitab dan sejarah gereja, tetapi sekaligus komprehen
berdasarkan perkembangan pendidikan agama Kristen. Demi gagasan ini, maka
penting memberi konten yang lebih luas dari sekedar pengajaran dogtrinal
(menggemakan kembali atau menceritakan kembali cerita iman Kristen yang telah
diberitahu).
Ia mengharapkan sebuah pemberian konten yang dapat
mengembangkan pengetahuan tentang iman Kristen ke arah tantangan zaman. Itulah
sebabnya, dibutuhkan upaya yang lebih
dari sekedar pengajaran dogtrinal dan Alkitab tentang iman Kristen.[43] Walau demikian, berdasarkan usulannya pun, ia sendiri
sedikit alergi dengan katekisasi bila kontennya hanya berisikan apa yang ia
sebut “ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan
yang suci” melulu. Dengan begitu, ia ingin agar apa yang senang disebutnya,
katechesis atau katekesasi dijalankan berdasarkan maknanya yang konsisten
dengan asal kata etimologisnya atau pemakaiannya dalam Alkitab, gereja
mula-mula dan sejarah, sekaligus bersifat kontemporer berdasarkan ilmu
pendidikan agama Kristen. Itu artinya, katekisasi pertama sekali dilakukan
oleh gereja dalam mana secara intensif aktif memberikan pengajaran dari
kompromitas (sejalan dengan) studi-studi teologi dan studi-studi Alkitab dan
bukan hanya sekedar mengulangi kembali nilai dogtrin harfiah dari gereja purba
dalam bentuk pengakuan iman (orthodoksi), dasa titah, doa-doa dan
sakramen-sakramen, melainkan memerhatikan maknanya bagi kepentingan hidup
bersama dan pribadi (orthopraksis). Groom menyebut proses ini dengan istilah shared-praxis approach. Cara
mendialogkan antara orthodoxi dengan orthopraksis.[44]
Dialog ini merupakan yang seharusnya ditempuh untuk mengajarkan nilai beriman
sebagai tindakan percaya menuju iman sebagai tindakan melakukan. Kedua,
ialah katekisasi dilakukan sebagai kegiatan gereja yang sesuai dengan asas
pendidikan. Ketiga, katekisasi dilakukan dalam suasana integrasinya dengan
ilmu lain (interdisipliner terbatas). Keempat, katekisasi dilakukan dalam
refleksi dan pengajaran dalam bingkai yang kontekstual, berdasarkan
perkembangan kontemporer. Bisa saja secara singkat disebutkan bahwa
katekisasi dilakukan sebagai pendidikan Kristen yang berpusat pada kehidupan
(life centred), berorientasi pada misi (mission orientation) dan memusatkan
diri pada injil (gospel centred). [45]
2.
Jenis Katekisasi/Katekese
Telah disampaikan dengan agak memadai pengertian katekisasi melalui bentuk akar
kata dan sejarahnya. Kali ini, pemakain katekisasi perlu dipersempit lagi guna
memberi arah yang terfokus berkaitan dengan konsentrasi materi ini. Tindakan
ini dilakukan mengingat bahwa dalam sejarah, katekisasi telah memperoleh
pemetaannya dalam tiga jenis, yakni:
1. Katekisasi Keluarga
Kakisasai
keluarga adalah bentuk yang sangat purba dari ketekisasi saat ini. Jadi, dengan
mengambil alih kata dalam sains, bentuk katekisasi saat ini adalah hasil
evolusinya. Dalam keluarga, tentu saja ada banyak pendidikan dalam arti
natural. Tetapi berhubungan dengan memberi asupan pemahaman tentang agama, PL
dan PB telah mencatatnya secara ketat dan diteruskan hingga abad reformasi.
Hanya sempat merosot di abad kesembilan.
Dalam korpus reformasi, Calvin banyak memperketat hal tersebut. Mulai
dengan mengharuskan mendidik anak-anak untuk mengetahui isi Alkitab (PL dan
PB). Juga mengajarkan isi katekismus Heidelberg dan kidung-kidung injili serta
Mazmur. Khusus untuk katekismus, misalnya, para reformator dan beberapa orang
dari pihak gereja menyusunnya sebagai alat bantu pengajaran oleh
pendeta-pendeta atau para presbiter.[46] Dan
ini masih dipakai sampai saat ini di gereja-gereja di Indonesia.
Hingga abad 18-19 di sebagian Eropa dan Indonesia masih bertahan, dimulai
sejak keputusan sinode Dordrecht (1618-1619). Meskipun itu, di zaman ini,
menurut berbagai pengamatan, seperti Abineno, tentu apa yang dikerjakan Calvin,
telah pudar sama sekali. Kebiasaan katekisasi seperti itu sudah hilang.[47]
2. Katekisasi Sekolah
Dasar
katekisasi di sekolah sudah bertunas sejak dalam pendidikan Yahudi pasca
pembuangan. Hingga abad pertama, tampak amat kuat. Tuhan Yesus sejak bocah
telah mendudukinya pula. Katekisasi di sekolah bukan hal baru. Dapat dianggap
saat ini katekisasi di sekolah merupakan pelaksanaan warisan dari abad-abad
tersebut, tetapi dalam arti yang fleksibel. Sebab, di abad-abad sebelumnya,
pendidikan di sekolah berada dalam tanggung jawab gereja secara penuh,
tergantung pada relasinya dengan negara. Sejak berpisahnya atau lebih tepat kejelasan
tentang batas-batas relasi antara kedunya, maka pendidikan ditentukan oleh
negara. Saat ini, katekisasi di sekolah berada di bawah tanggung jawab langsung
oleh negara sebagai penyelenggara penuh pendidikan, walaupun ada
sekolah-sekolah Kristen dan lembaga-lembaga yang mengelolanya. Katekisasi yang
berlangsung di sekolah hanya merupakan penjabaran dan palaksanaan ilmu dan
nilai-nilai agama Kristen (termasuk gama lainnya). Dalam istilah Abineno,
“pesemaian” dari katekisasi gereja. Jadi, antara gereja dan negara, sebetulnya
memiliki tanggungjawab bersama dan saling sinergis.[48]
3. Katekisasi Gereja
Mencari akar
katekisasi gerejawi, tentu saja tidak sulit. Sebab, akarnya terdapat dalam
rumah-rumah ibadat. Zaman post-exilic di Babel yang menciptakan keadaan
ini. Rumah-rumah ibadah seperti sinagoge dijadikan rumah-rumah pengajaran bagi
rakyat (umat Israel). Pendidikan mereka berpusat pada Torah yang terdiri dari syema (pengakuan iman), doa utama (syemone-Esre) yang didoakan sebanyak
tiga kali sehari, pembacaan Torah di tempat yang sentral dan pengajaran tentang
arti hari raya-hari raya Yahudi. Para pengajar saat itu ialah guru-guru taurat
(rabbi). Kebiasaan ini kemudian
diteruskan hingga menuju gereja mula-mula berdiri. Hanya saja, perbedaan
mencolok yang terjadi ialah tentang pengakuan iman dan pengajaran-pengajaran
yang telah berubah dan berorientasi pada pribadi Yesus Kristus. Dari orientasi
pada torah dan tradisi Yahudi, beralih ke orientasi pribadi seorang tokoh. Para
pengajar saat gereja mula-mula ialah para rasul atau orang-orang yang ditunjuk
sebagai pengajar, di samping penatua dan diaken. Hingga di masa perkembangan
gereja katekisasi berlangsung dengan bahan-bahan penunjang pengajaran yang
disusun sistematis dalam hal menguraikan isi iman Kristen, seperti didakhe,
katekismus dan buku-buku di sampingnya. Yang unik dari katekisasi gereja ialah
bahwa semua pelaksanaan pengajaran dilaksanakan oleh gereja dan bertempat di
gereja. Hingga kini, hal ini terus dipelihara secara baik dan terus
diperhatikan.
Karena itu, khusus dalam materi ini, semua uraian akan difokuskan pada
katekisasi gerejawi bagi anak-anak, dalam hal isi dan pelaksanaannya bagi kelas
regular, bukan kelas khusus bagi orang dewasa yang konversi (petobat baru)
maupun tidak.
Ketiga jenis
katekisasi ini dibagi lagi secara khusus oleh G. Riemer menjadi dua bagian
khususnya bagi katekisasi di gereja, yakni katekisasi orang dewasa dan anak-anak.
3.1. Katekisasi
Gereja Untuk Orang Dewasa
Seperti
penjelasan tadi (poin 3: Katekisasai gereja), secara paling formal, seorang
dewasa ikut katekisasi ‘seharus’ adalah keinginan sendiri. Ia percaya kepada
Yesus Kristus melalui pemberitaan injil (bnd.
Rm. 10:15). Dengan mengikuti katekisasi, mereka diterima dan dibaptis (ini
berlaku bagi petobat baru dewasa) menjadi anggota gereja. Melalui
katekisasi, baptisan memperoleh maknanya paling lengkap, yaitu dapat memperoleh
bekal mengapa saya beriman kepada Yesus dan menjadi murid-Nya? Atau secara
lebih luas, mengapa saya harus memilih menjadi Kristen?
Katekisasi ibarat
pintu masuk gereja. Para presbiter/majelis adalah penjaga pintu itu, sehingga
tidak sembarang orang dapat masuk dengan motivasi
yang salah, tidak sesuai iman dan ajaran Kristus dalam gereja-Nya. Pada
dasarnya, setiap orang dewasa yang berkepentingan ingin dibaptis menjadi
anggota gereja atau sekarang ini untuk alasan tertentu (menikah, dll) mesti
terlebih dahulu diisi dengan pengetahuan: “tanpa
pengetahuan kerajinan pun tidak baik..” (Ams.19:2). Alasan gereja mengatur
katekisasi bagi mereka ialah bersifat missioner, memperluas perkembangna
jemaat. Secara simpul, Riemer menyampaikan demikian:
Katekisasi Orang Dewasa
-
Alasan : Ingin menjadi anggota jemaat dan
mengenal Kristus (motivasi)
-
Tujuan : Pengkuan iman (beralih setia kepada
Allah: Bapa, Anak & Roh Kudus);
Baptisan &
Perjamuan Kudus (sakramen)
-
Alasan gereja : Mendidik yang ingin menjadi anggota
gereja (pengajaran)
-
Tujuan gereja : menjaga dan mendorong pertumbuhan
jemaat (missioner)
Untuk menjelaskan bagian ini lebih lanjut, ada baiknya
memerhatikan pula tahap-tahap katekese dalam gereja kuno:
1. Setiap orang dewasa yang ingin menjadi anggota jemaat
harus terlebih dahulu mendaftarkan diri kepada pejabat gereja/ melalui seorang anggota
gereja. Orang seperti ini berfungsi sebagai pengantara (suspector) bagi orang
yang ingin menjadi anggota jemaat.
2. Pemimpin jemaat wajib memeriksa motif orang
tersebut yang ingin menjadi anggota jemaat. Tahap ini sangat penting dan
dilakukan melalui percakapan.
3. Hasil pemeriksaan/ percakapan tersebut ia janji yang harus diucapkan calon
anggota.
4. Ia wajib diterima dan didoakan barulah menjadikannya
seorang katekumen untuk diajarkan.
5. Mereka diikutsertakan dalam ibadah, tetapi diberi
tempat khusus, terpisah dari anggota jemaat lain. Tempat mereka ialah di dekat ambang
pintu, di belakang sekali. Mereka boleh mendengarkan firman dan menerima
berkat. Tetapi menerima ekaristi tidak boleh.
6. Katekisasi bagi mereka dilangsungkan selama 3 tahun.
Katekisasi bagi mereka berlangsung tiga tahap. Tahap pertama: katekumen
diperbolehkan mengikuti berbagai kebaktian, tetapi hanya sebagai pendengar (audientes) khotbah. Tahap kedua:
mereka diizinkan untuk turut berdoa (Bapa kami di sorga). Tahap ketiga: menjelang
baptisan, yaitu dua bulan sebelumnya, mereka disebut sebagai calon baptis: baptizandi / electi (orang terpilih) / orang yang diterangkan (illuminandi).[49]
3.2. Katekisasi
Gereja Untuk Anak-anak
Dalam kaitan dengan pengetahuan tentang iman Kristen,
tujuan katekisasi menjadi sentral untuk anak-anak (remaja/jelang dewasa) adalah
supaya anak-anak tidak binasa karena tidak mengenal Tuhan Allah lebih dalam.
Dengan kata lain, supaya anak-anak tidak binasa karena kebodohan (Hos.4:6). Di
sini, orang tua menjadi alasan utama anak-anak mengikuti katekisasi. Hal ini
merupakan tindak lanjut dari janji orangtua saat baptisan berkaitan dengan
tugas mendidik anak hingga mereka mampu mengenal Tuhan Allah lebih dalam. Gereja
dan orangtua memiliki tujuan yang sama dalam mengadakan katekisasi untuk
anak-anak. Keduanya wajib bertanggung jawab menjaga kesehatan iman dan
mengantar anak-anak, secara khusus kepada Tuhan Yesus Kristus.
Katekisasi
Anak-anak
-
Alasan : Janji orangtua sewaktu baptisan
-
Tujuan : Menjadi anggota sidi, perjamuan kudus.
-
Alasan gereja : Mengajar anak-anak Kristen sampai sidi
-
Tujuan gereja : Menjaga kekudusan jemaat Kristus hingga
ia menjemputnya
Riemer melengkapi penjelasannya dengan menyatakan
bahwa apabila katekisasi seluruh berhasil, akan tampak pula masa depan gereja
yang sehat. Karena itu ia simpulakan gagasannya dengan membubuhi skema
katekisasi gereja terhadap orang dewasa dan anak-anak, sbb:
Skema 1. Skema efektifitas katekisasi berdasarkan
tujuan
3.
Pelakon Pengajaran: Siapakah Gurunya?
Seorang penggagas ulung pendidikan Kristen abad ke-II yang lahir di kota
Atena dan tinggal di Palestina, murid Origenes, yaitu Clementus (150-215)
menyatakan bahwa pendidik dalam kekristenan ialah Firman Allah, yaitu Yesus
Kristus. Seseorang yang berpengetahuan dalam arti yang lengkap, patut
menundukan diri dan belajar pada-Nya. Yesus menurut hematnya ialah Pendidik
Agung bagi kehidupan. Dengan demikian, saat ini, Kristus yang menurut
kristologi-edukasis secara fungsional eksis mengajar melalui gereja-Nya. Inipun
ditegaskan lagi oleh Ellen G. White bahwa Yesus sebagai pengajar ulung yang
berotoritas penuh dalam mengajar tentang kehidupan yang esensial dan ideal
berdasarkan kebenaran yang bersesuaian dengan kehendak Allah untuk hidup di
hadapan-Nya, di tengah-tengah dunia.[50]
Untuk tiba pada tujuan ini, gereja di segala abad dipilih dan diperintahkan
untuk mengambil peran tersebut. Dan untuk melengkapi gereja, Ia menyertai
mereka dengan pertolongan spiritual, yakni Roh Kudus dan pertolongan praktis.[51]
Telah dari abad-abad sebelumnya, pengajaran katekisasi dilihat sebagai
pelayanan pengajaran jemaat. Ini berindikasi bahwa para pengajarnya berasal
dari unsur jemaat, yang melalui gereja diangkat berdasarkan jabatan gereja dan
fungsinya, seperti majelis jemaat, pemimpin-pemimpin katekisasi dan orangtua.
Majelis jemaat dalam hubungan dengan ini, berfungsi sebagai penanggung jawab
pelayanan apapun, termasuk katekisasi. Mereka mengangkat para pengajar
katekisasi, menyiapkan rencana katekisasi, memprovokasi orangtua melalui warta
jemaat agar membawa anak-anak terlibat dalam katekisasi dan melakukan proses
kontrol terhadap mereka, mengadakan pertemuan dengan orangtua, mengadakan
percakapan pastoral dengan katemumen, dan juga turut mengajar bersama-sama para
pengajar. Saat ini, semua pengajar adalah juga seorang yang berasal dari
anggota Majelis Jemaat. Karena itu, Majelis Jemaat atau para presbiter yang
melakukan pengajaran ini dapat terdiri dari majelis, yakni seorang penatua atau
diaken yang mampu mengajar dengan latar belakang pendidikannya, pendeta dan
pengajar itu sendiri. Dengan demikian, yang dimaksud dengan guru bagi
terlaksananya katekisasi dalam gereja ialah Yesus Kristus dan saat ini, ia
tetap menjadi Guru melalui gereja-Nya dalam wewenang kemajelisan.
4.
Siapakah Pelajarnya?
Menurut sejarah perkembangannya, katekisasi sebagaimana juga dijelaskan di
atas memiliki obyek pengajaran pada anak-anak atau muda-mudi. Tetapi
sebenarnya, sebagaimana yang paling mendasar bahwa katekisasi dilaksanakan bagi semua anggota jemaat. Sebab, jika
ingin konsekuen dengan etimologinya dalam PB, katekisasi tidak dapat begitu
saja diterjemahkan sebagai pengajaran gereja saja. Pengajarannya juga bukan
saja ditujukan hanya bagi anak-anak. Hal pertama dari argument ini ialah bahwa
ia hanya sebagai bagian fungsi atau tugas gereja dalam hal mendidik, melatih,
membimbing, memberitakan dan menuntun anggota gereja pada Kristus. Hal kedua
adalah bahwa ketekisasi dilakukan berdasarkan hakekatnya. Hanya saja dalam
prakteknya secara umum, ini dilakukan dengan obyeknya, yakni anak-anak dalam
hubungannya dengan mempersiapkan pertumbuhan iman mereka menjadi anggota gereja
yang penuh dan dewasa (menjembatani anak-anak dengan pengakuan iman dan
perjamuan) untuk menjadi warga gereja yang bertanggung jawab dalam hidup dan
pelayanan kepada Allah melalui gereja-Nya.[52] Saat
ini, para katekumen yang turut mengikuti katekisasi ialah mereka yang datang
dengan perbedaan motivasi, perbedaan umur, perbedaan pendidikan, dan perbedaan
maksud dan tujuan.
5.
Hakekat Katekisasi
Katekisasi pertama sekali dimengerti sebagai pengajaran kepada umat,
khususnya pada yang berusia muda dengan menganut amanat agung tentang
“..ajarlah mereka (Mat. 28:19). Dengan begitu hakekatnya ialah pengajaran,
yakni pemberian pengetahuan. Pemberian pengetahuan sebagai kegiatan
transformasi pikiran (konsep) untuk lebih memahami apa itu imanku dan mengapa
beriman, serta sebagai kegiatan melakukan, untuk apa imanku. Pengajaran itu
ialah tentang Allah dan kehendak-Nya (“.. melakukan segala sesuatu yang telah
kuperintahkan..”) seperti yang ajar mereka yang sejak kecil sebagai anggota
gereja (belum penuh secara keanggotaannya secara sacramental) Kristus melalui
baptisan dibawa dan terhisap kepada janji dan berkat Tuhan dalam persekutuannya
melalui sakramen perjamuan kudus berdasarkan iman. Itu sebabnya, melalui
pengajaran, iman mereka dibubuhi pemahaman yang memadai tentang isi iman yang
mereka sedang anut. Setelah itu mereka dilayakan mengakuinya di hadapan jemaat.
Di sini berarti katekisasi erat sekali dengan perjamuan kudus dan baptisan
kudus. Hanya saja, ini semua baru dalam pengertian eklesiologis. Dan katekisasi
pada tahap ini merupakan titikberat dari seluruh pengajaran gereja. Artinya,
bukan sebuah pekerjaan yang gampang.
6.
Tujuan Pada Dirinya
Dari ini semua tujuan umum katekisasi yang varian ini ialah bahwa melalui
pengajarannya (katekisasi oleh gereja) kepada semua anggota gereja untuk
memperlengkapi mereka bagi sebuah hidup yang bertanggung jawab di dalam dunia
sebagai anggota-anggota yang dewasa dari gereja Yesus Kristus dan secara
berangsur-angsur dididik agar rupa Kristus menjadi nyata dalam hidup setiap
anak-anak dan orang dewasa. Implikasinya, hidup orang beriman, khususnya
anak-anak bertumbuh ke arah menyerupai Kristus secara konformis.[53]
Untuk itu, melalui inventarisir yang dilakukan Abineno
terhadap pikiran beberapa ahli ihwal katekisasi dibagi tujuan katekisasi dibagi
menjadi 4 bagian: Pertama, katekisasi sebagai pemberian pengetahuan. Di sini katekumen harus mengetahui hal-hal
pokok-pokok dari isi Alkitab, mereka harus mengetahui tentang ajaran gereja,
yang diambil dari Alkitab. Selain dari pada itu mereka juga harus mengetahui
garis-garis besar tentang gereja, tentang pelayanan dan sejarahnya. Kedua, tujuannya sebagai pendidikan (baca:pembinaan) anggota-anggota jemaat untuk menyadari tugas mereka
di dalam gereja. Dalam tujuan pertama ini terdapat juga fungsi katekisasi
sebagai hubungan antara baptisan dan perjamuan kudus. Para katekumen harus
mengetahui, bahwa gereja adalah persekutuan dalam arti am. Ketiga, mendidik anak-anak muda & dewasa supaya
mereka menjadi hamba-hamba Allah yang bertanggung jawab di dalam dunia.
Berdasarkan tujuan ini, mereka dibebaskan dari isolemen mereka (hidup tertutup
di dalam gereja) dan ditempatkan di tengah-tengah dunia sebagai saksi dan
pelayan Kristus. Keempat, menyampaikan pengetahuan tentang Allah dari
generasi ke generasi. Keselamatan Allah – yang diberitakan kepada di dalam Alkitab – harus disampaikan kepada
semua orang dari generasi ke generasi.[54] Selain
Abineno, sekali lagi Riemer member pandangannya perihal tujuan umum katekisasi
gereja, yaitu setiap orang yang dididik ajaran Kristus untuk mengenal Allah, mengasihi Dia, dan memuji Dia. Agar dengan
demikian, hidup sesuai dan dapat mengasihi setiap orang pula, yaitu mampu
menuruti semua perintah-perintah-Nya (1 Yoh.4:7-11).
Pandangan tentang tujuan di atas hanya dapat dicapai
apabila anak-anak dan orang dewasa – pada
khususnya, mengikuti katekisasi, telah sebelumnya dipimpin kepada
pengakuan pribadi yang mendasar akan Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat
mereka. Tanpa hal ini, pada hematnya, mereka tidak dimungkinkan dapat
menunaikan tugas seperti yang gereja harapkan dari mereka, yaitu sebagai
saksi-saksi dan pelayan-pelayan Kristus yang bertanggung jawab di dalam dunia
milik-Nya.
[1] John
Westerhoff. A Call to Catechesis, Philadelphia:
United Church Press, 2011, hlm. 354.
[2] Tercatat terjadi tiga kali
pembuangan. Pada tahun 722 sM Israel Utara dibuang ke Asyur, 597 Israel Selatan
(Yerusalem jatuh) dibuang pertama ke Babel
dan 587 dibuang kedua kali ke Babel.
[3] Hope S. Antone. Pendidikan Kristiani Kontekstual, Jakarta:
BPK. GM, hlm.17-18.
[4] Robert R. Boehlke. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek
Agama Kristen: Dari Plato sampai Ignasius Loyola. Jakarta: BPK. GM, 18-35.
[5] Everett Warner. Modernization Among Peasant, New York:
Holt, Rinehart, 2010, hlm. 81-90.
[6] Hope S. Antone, op.cit, hlm. 18. Menurut Boehlke,
sinagoge masih diperdebatkan waktu yang pasti pendiriannya. Tetapi, alternative
terhadap hal ini ialah bahwa sinagoge didirikan ser masa pembuangan ke Babel
dan awal abad pertama, khususnya awal kekristenan.
[7] Untuk sekolah
ini, tidak akan dibahas di sini, melainkan akan dibahas dalam point sejarah
pendidikan abad pertama.
[8] Matias Preiswerk. Educating in the Living Word: A Theoretical
Framework for Christian Education, Marknoll, NY: Orbis, 1987, p. 10-66.
[9] Robert R. Boehlke, op.cit, hlm. 28-30.
[10] Andrew Hoffecker, Building Christian Worldview, Vol. 2: The
Universe, Society, and Ethics, New Jersey: Presbyterian and Reformed
Publishing Co., 1988, p. 186-188.
[11] Kedua sifat pendidikan ini
dapat dilihat dalam Thomas H. Groome. Christian
Religius Education, (terj. Daniel Stefanus). Jakarta: BPK. GM, hlm. Ellen G. White Estate. Fundamental of Christian Education, New
Jersey: Ellen G. White Estate, Inc., 2010, p. 21-38. 475-484
[12] Zakharias Ursinus & Caspar
Olecianus. Katekismus Heidelberg, Jakarta: BPK. GM, 2012, hlm.
Xii.
[13] Thomas H.
Groome, op.
cit, hlm. 39.
[14] G. Riemer. Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: YKBK,
2006, hlm. 33.
[15] Francis
Xavier Murphy. New Catholic Encyclopedi,
“Catechesis: Early Christian”, New York: International Publishers, 2008,
hlm. 208.
[16] G. Riemer, op. cit, hlm. 33.
[17] Andar Ismail (Peny.). Ajarlah Mereka Melakukan, Jakarta: BPK. GM, 2015, hlm. 80; Robert
R. Boelhke. Sejarah Perkembangan Pikirin
dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius sampai
Perkembangan PAK di Indonesia, Jakarta: BPK. GM, 1997, hlm. 12-13.
[18] J.L. Ch. Abineno. Sekitar Katekese Gerejawi, Jakarta: BPK.
GM, 2012, hlm. 7-12.
[19] Ibid, hlm. 13-16.
[20] Thomas H.
Groome, op.
cit, hlm.230.
[21] Andar Ismail, op.cit, hlm. 80.
[22] G. Riemer, op. cit, hlm. 33.
[23] J.L.Ch. Abineno, op.cit, hlm.16-18.
[24] Ibid, hlm. 19-21.
[25] Andre Lemaire, Education (Israel), Edition University.
Fribourg: Vandenhoeck & Ruprecht, 1981, 305 dalam Philip J. King &
Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel
Alkitabiah. (terj. Robert Setio & Atdi Susanto). Jakarta: BPK. G.M,
2012, hlm301; J. Aviaram, Biblical
Archelogy Today. Jerusalem: Israel Exploration Society, 1985, p. 301.
[26] Sinagoge, diterjemahkan ke
dalam bahasan Yunani, menurut Philo dari Alexandri, ialah didaskaleia. Kata ini berarti pengajaran, yaitu suatu wadah
penerimaan pengajaran dan penyampainnya. L.J.
Sherrill. The Rise of Christian
Education, New York: Macmillan, 1944, hlm. 45, 47.
[27] J.L. Ch. Abineno. Sekitar Katekese Gerejawi, Jakarta: BPK.
GM, 2012, hlm. 3
[28] I.H. Enklaar & E.G.
Homrighausen, op.cit, hlm. 105.
[29]
H. Berkhof & I. H Enklaar, Sejarah
Gereja, Jakarta: BPK. Gm, 2011, hlm. 12-14.
[30] Geraldine Hodgson. Primitive Christian Education, Edinburgh: T.
& T. Clark, 1906, 37-38 dalam J. Donald Butler. Religion Education. Harper & Row, 1962, 26-30.
[31]
H. Berkhof & I. H Enklaar, op.cit, hlm.
26-30.
[32] Robert L Boehlke, Sejarah
Perkembangan Pikiran dan Praktik Agama Kristen, op. cit, hlm. 134-138.
[33] G. Riemer, Ajarlah Mereka, Jakarta: YKBK, 2006,
hlm. 59-61.
[34]
A. eddy Kristiyanto, Musa Jerman, Jakarta:
BPK. GM, 2017, hlm.54 & W.J. Kooiman, Marthin
Luther, Jakarta; BPK. GM, 2011, hlm.26.
[35] Ibid, hlm. 91-108.
[36] Joseph Kaung Tai-Wai. Finding the Way Together: Education for
Ecumenical Understanding and Action, Hongkong: CCA Education, 1986, p. 25.
[37] Robert R. Boelhke. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek
Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK. GM, 2010, hlm. 149-151.
[38] Joseph Kaung Tai-Wai, op.cit, p. 25-27.
[39] J.L. Ch. Abineno, …………
[40] Dapat dilihat penjelasannya
dalam Mary C. Boy. Educating in Faith:
Maps and Visions, Kansas: Sheed and ward, 1989.
[41] Berard
Mathaler. Toward a Revisionist in
Catechetics, Horizons: Religius Education, 1976, 459.
[42] John
Westerhoff. Who Are We? The Quest For a
Religius Education, Brimingham: Religius Education Press, 1978, hlm.
264-277.
[43] Thomas H.
Groome, op.cit, hlm. 40.
[44] Ibid, hlm. 80-94.
[45] PGI. Strategi Pendidikan Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK. GM, 1989,
hlm. 52.
[46] Luther menyusun katekismus
Besar dan katekismus kecil; Calvin menyusun katekismus Genewa dan merangkum
pengajaran gereja (institutio); P. Melanchton menyusun katekismus dalam bahasa
Latin dan Jerman; U. Zwingli menyusun katekismus khusus dengan tidak membahas
dasafirman dan sakramen-sakramen; Bullinger menyusun katekismus besar. J.L. Ch.
Abineno, op. cit, hlm. 77.
[47] J.L.Ch. Abineno, op.cit, hlm. 56-62.
[48] Ibid, hlm. 62-72.
[49]
G. Riemer, op.cit, hlm. 51-52.
[50] Ellen G. White, op.cit, hlm. 236-239.
[51] Pathways To Congregational
Vitality No. 2 Serving The Needs Of
Leaders In Foundational Christian Ministries. Pdf, hlm. 1.
[52] Ibid, hlm. 94-95.
[53] Dyana L. Hinson, Christian Education (Planning for Lifelong
Faith Formation). Nashville: Abingdong Press Journal, Pdf, hlm. 5.
[54] Ibid, hlm. 99-101.