Minggu, 20 April 2014

TEOLOGI FEMINIS

Arus Umum: Model-model Teologi Feminis dan Relevansinya
bagi Pengembangan Teologi Feminis di NTT

A.       Pendahuluan
1Latar Belakang 
 Mengamati fenomena sosial masyarakat yang pada dasarnya sangat majemuk, mengundang banyak sekali operasi studi. Terutama dalam disiplin antropologi, sosiologi dan banyak disiplin ilmu yang dikembangkan darinya. Tiap disiplin memberi perhatian terutama denan bobot studi yang terintegrasi.
Salah satu fenomena sosial yang sedang gencar diberi perhatian studi ialah mengenai ketidakadilan yang menampakkan wajah dalam aktifitas kehidupan, peran dan status dari perempuan. Fenomena ini terungkap dan diangkap sebagai bagian yang sangat perlu ditanggapi dalam ranah keilmuan ialah karena adanya distingsi gender. Pokok distingsi ini ialah bahwa faktor ketidakadilan mewarnai interaksi dua insan sosial, yakni laki-laki dan perempuan. Interaksi inilah yang di dalamnya sudah mencakup ambivalensinya, yakni antara kesadaran akan keadilan dan pengabaian keadilan, superior-inferior, mengahasilkan distingsi sosial-gender. Jeny Teichman menyampaikan bahwa distingsi itu dihasilkan juga dari meniru perbedaan biologis alami.
Ihwal jender, ketidakadilan tersebut dialami lebih banyak dan khusus bagi insan perempuan (dan juga laki-laki) secara global di sepanjang zaman. Ketidakadilan tersebut sekali lagi muncul dan dialami, paling tidak dalam rupa-rupa kekerasan terhadap perempuan dalam aktifitas feminisnya yang menghasilkan penaklukan, subordinasi terhadap wanita (perempuan dinomorduakan), marjinalisasi (peminggiran secara ekonomi, peran natural, posisi dan status di masyarakat), beban kerja yang banyak, stereotipe (anggapan baru/cap-capan/stigtisasi). Dari sinilah muncul tendensi penyikapan lebih intens sebagai kebutuhan dan cita-cita glokal dan individual untuk menjadikan masyarakat dan dunia egaliter (hidup setara dan adil) yang layak dihuni. 
Banyak hal dapat dibicarakan mengenai suatu dunia yang layak dihuni. Salah satunya mengenai konsentrasi dari pencarian dan penegakkan keadilan terhadap gender, lebih khusus yang dialami oleh perempuan. Di NTT secara khusus sebagai bagian integral, dari yang lokal sekaligus global, ada banyak khasus mengenai perlakuan budaya, sejarah yang nota benenya dihidupi menurut struktur patriarkat. Struktur ini mengasumsikan urgensi ketidakadilan gender yang menyentuh semua dimensi kehidupan: kultural, religius-institusional, ideologis-politis, ekonomis, dan ekologis. Dalam tulisannya, Banawiratma menandaskan bahwa sentuhan itu menyentuh lagi level kehidupan, yakni: pribadi, keluarga, masyarakat, lingkungan kerja, negara, agama. Dengan demikian, struktur patriarkat menjadi semacam roh yang menjiwai hampir di seluruh aktifitas sosial masyarakat NTT. Karena itu, dalam menata kembali urgensinya, gerakan feminis menjadi salah satu alat operasional yang bersifat konsentris.
Konsentrasi dilakukan melalui banyak perspektif. Untuk menentukan perspektif yang banyak, akan sangat perlu dilakukan dengan menentukan dan mempelajari perspektif khas dan model-model perspektif dari feminis secara teologis.

B.       Mengapa Teologi Feminis Kristen?
2.      Sejarah Lahirnya Teologi Feminis
Teologi feminis diprakarsai oleh Kaum perempuan Ero-Amerika. Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi teologi di Amerika Serikat mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Asumsi mendasar mereka untuk berteologi bukan lagi asumsi prafeminis, yang memandang bahwa kehidupan perempuan mempunyai beberapa aspek yang unik, dapat setara dengan laki-laki, melainkan keyakinan yang kuat bahwa perempuan dalam segala peran dan statusnya setara dengan laki-laki. Mereka pada umumnya memiliki praasumsi egalitarian.
Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang mewabah ke seluruh dunia, khususnya bagi masyarakat Amerika Utara. Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20, yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum wanita diakui dan dilegitimasi di Amerika dalam undang-undang. Hal ini dikarenakan signifikansi dan intensitas perjuangan pergerakkan kaum perempuan melalui perspektif gender (perspektif sosial). Ini merupakan sebuah tuntutan revolusioner dalam tatanan dunia. Mereka melakukan sesuatu yang baru pada waktu itu, yaitu dengan mengejar gelar dibidang teologi, yang sebelumnya hanya diikuti oleh kaum lelaki saja. Hal ini dilakukan guna membebaskan kaum perempuan yang mengalami ketidakadillan dan penindasan. Pada tahun 1970-an dan sepanjang tahun 1980-an pengalaman kaum perempuan berkulit putih diunggulkan. Namun banyak dari kaum perempuan ini menyadari bahwa teologi mereka juga mengalami rabun senja serta mengakui bahwa dalam menguniversalkan pengalaman mereka terpdapat pula bentuk patriakat yang kelihatan. Oleh karena itu para teolog feminis memperluas perhatian mereka agar merangkul semua kaum perempuan dari berbagai lokasi sosial yang berbeda dari lokasi sisial mereka sendiri, termasuk juga  kaum laki-laki yang ditindas. Para teolog feminis Ero-Amerika menyatakan sikap solider dengan kaum perempuan di dunia kedua dan kaum perempuan dan laki-laki di dunia ketiga dalam perjuangan menentang penindasan patriarkat. Kemudian memiliki suatu tekad bersama untuk memahami Allah dalam Yesus Kristus dari sisi pengalaman kaum perempuan untuk  mendorong kaum perempuan turut terlibat aktif dalam berteologi demi kepentingan  bersama.
Semua teologi feminis menganut prinsip patriakat dan androsentrisme. Para teolog dan pemimpin gerejani melayani dengan membawa injil bagi jemaat. Namun, telaah atas sejarah gereja-gereja Kristen di Eropa Barat dan Amerika menyingkapkan bahwa dalam hal Patriakat. Ada upaya para teolog membawa injl untuk menentang patriakat tetapi mereka gagal. Sebab dalam menyampaikan berita injil para teolog dan pemimpin gerejani juga memakai Alkitab untuk mendukung kejahatan-kejahatan ditengah masyarakat. Salah satu misalnya perempuan dipandang sebagai makhluk yang berbeda dan makhluk cacat dan terkutuk. Selain itu dalam prinsip androsentrisme menjadi persoalan sistemik dalam kehidupan gereja. Sebab ada pemahaman bahwa kaum perempuan harus dikucilkan dari peran kepemimpinan gerejani. Singkatnya, Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.
Kebanyakan orang mengalami hal menggereja itu pada kebaktian hari minggu dan sering menajdi kesempatan secara simbolik status kelas dua dipertegas. Khotbah sangat jarang memusatkan pada bacaan-bacaan yang menampilkan perempaun. Di samping itu juga dalam liturgi tidak ditemukan ungkapan mother, Women atau sisterhood sebab kaum laki-laki dipandang sebagai yang mewakili seluruh manusia di hadapan Allah.
Dalam patriakat mengabsahakan berbagai bentuk penindasan seperti seksisme dari tata  penciptaan: 1. Orang-orang Afrika boleh diperbudak karena dibawah tulah Nuh atas anaknya Ham. 2. Israel mempertahankan kebiasaan memelihara budak. 3. Kristus tidak pernah mengajar menentang perbudakan. 4. perbudakan merupakan tingkat rendah dalam tatanan sosial yang diciptakan Allah. 5. perbudakan orang Afrika justru memajukan taraf kehidupan mereka atas akses kepada injil yang membuat mereka dari orang-orang yang tidak beradab menjadi beradab. Sebuah amanat yang ditunjukan sama sekali berbeda dan disalahgunakan selama berabad-abad kemudian untuk mengabsahkan perbudakan.
Dalam era perdangagan budak oleh orang-orang Eropa Barat dan Ero-Amerika tidak mempersoalkan moralitas perbudakan itu. Para pemimpin protestan juga memandang perbudakan sebagai suatu soal politik dan ekonomi dan bukan perkara religious dan moral. Sehingga banyak di antara mereka tidak membela orang-orang Afrika dalam perbudakan itu.  Kolonialisme Eropa juga menjadi bentuk patriakat yang memiliki dampak destruktif yang panjang atas hidup kaum perempuan dan laki-laki, khususnya di dunia ke tiga. Masyarakat dan bangsa terus menghadapi soal-soal yang ditinggalkan penaklukkan kolonial oleh bangsa-bangsa barat Eropa Barat. Bebarapa kaum feminis berupaya untuk membedah persoalan ini.
Teologi feminis mengakui bahwa teologi tidak dapat dilaksanakan tanpa upaya yang keras untuk mengatasi hal-hal yang bertentangan dengan amanat Kristen yang  mendukung gerakan feminis akan menunjukkan sikap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang berkomitmen untuk memperbaharui masyarakat agar keseteraan penuh antara laki-laki dan perempuan dihormati. Untuk itu teologi feminis tidak bisa hanya keluar dari intelektual melainkan harus memiliki implikasi demi memajukan kaum perempuan dan orang-orang tertindas dalam gereja dan masyarakat. Dari semuanya itu sangat diperlukan pembaruan sistem pemikiran yang membenarkan tata sosila yang tidak adil dan ini menjadi hal penting bagi integrasi daya hidup agama Kristen.
Dalam perkembangannya, telah bermunculan beberapa penulis wanita mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan feminisme ini ke dalam suatu karya tulisan/buku. Mereka menyoroti pengaruh 'kecendrungan patriarkat yang menurut mereka begitu dominan' ada di dalam Alkitab dan juga dalam penafsiran tradisi gereja secara socio-kultural, terutama dalam konsep prihal Allah Tritunggal.
3.      Latar Belakang lahirnya Teologi Feminis: suatu sasaran utama studi
Kalau North American Black Theology dan Latin American Liberation Theology dimulai dengan berlandaskan pada suatu pengalaman ketidakadilan dalam berbagai wajahnya, yaitu penindasan yang sangat mendalam sehingga 'penindasan' ini menuntut mereka untuk mendapatkan pembebasan, maka dalam gerakan Teologi Feminis landasan mereka adalah situasi penganiayaan dan penindasan terhadap kaum wanita. Wanita dibebaskan dari penganiayaan dan penindasan (oleh kaum laki-laki) sebagai sebuah pengalaman yang sudah terjadi selama berabad-abad. Oleh karena itu, tema seputar pengalaman penindasan terhadap kaum wanita menjadi arah dasar teologi mereka. Sebuah pengalaman dimaksud ialah pengalaman dalam iman akan Allah. Dengan begitu teologi feminis memusatkan pengalaman iman manusia dalam ketertindasan, lebih daripada itu pengalaman sosial mereka yang lebih luas,  dikembangkan dari perspektif wanita atau terpusat pada wanita. Perspektif tadi ialah perspektif iman dan sikap iman Kristen. Sehingga, teologi feminis dapat disebut sebagai salah satu studi dari perpektif perempuan yang menelaah dan menyikapi suatu pengalaman pelik dan pahit akan rupa-rupa ketidakadilan (global). Penelaahan tersebut dilakukan menurut disiplin paradigma iman Kristen. Paradigma ini diutarakan berdasarkan paradigma pembebasan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa latar belakang melakukan teologi feminis ada pada tuntutan pembebasan. Sederhananya ialah bahwa teologi feminis adalah bagian integrasi dari teologi pembebasan dengan memperluas asalisis yang sudah dilakukan oleh teologi-teologi pembebasan, yakni dengan analisis gender.
Akhir abad kedua puluh teologi feminis berbagi/memiliki kesamaan tertentu dengan Teologi Hitam Amerika Utara dan teologi pembebasan Amerika Latin. Seperti mereka, teologi feminis dimulai dengan situasi penindasan, serta munculnya refleksi penting berdasarkan praksis pengalaman orang tertindas untuk membebaskan diri dari denominasi.
Feminisme Kristen ingin menunjukkan pada masyarakat bahwa laki-laki maupun perempuan hidup dan bekerjasama sebagai mitra sejajar yang mempunyai tanggungjawab yang sama. Namun Feminisme Kristen juga mengakui perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pada dasarnya tidak ditolak. Yang dicari adalah suatu status kesetaraan dan peran sosial, begitu  juga di hadapan Allah. Meskipun begitu, Feminisme tidak menginginkan dominasi kaum perempuan terhadap laki-laki ataupun masyarakat pada umumnya. Kaum Feminis mewariskan pemikiran eksklusif yang menentukan kebudayaan barat (yang berpikir secara eksklusif), dan mencari pemikiran inklusif yang menerima kepelbagaian sebagai kekayaan dan dorongan untuk mencari kebenaran yang lebih dalam dan utuh. Oleh karena itu, sebagai orang kristen hendak menekankan ketuhanan atau keilahian sebagai rahasia yang melampaui segala sesuatu yang dapat kita bayangkan dan pekirkan sehingga ia dapat didekati dari berbagai segi. Dalam hubungan dengan penganut agama dan ideologi lain, kita hendaknya bekerja demi keadilan dan perdamaian, serta kehiduan manusia dan berusaha memberi kesaksian atas kasih Allah. Inilah salah satu hakikat studi feminis. Dengan Studi feminis adalah studi keadilan Allah, yaitu mencari dan menampakkan keadilan Allah, sebagai keadilan, untuk diperhadapkan kepada dunia yang tidak adil. Begitu juga studi ini adalah studi pembebasan umat Allah, yang dapat dilakukan bukan saja oleh perempuan, tetapi juga laki-laki. Demikian studi ini adalah studi persekutuan atau gereja, yaitu studi umat Allah, studi yang menempatkan keadilan pada posisi yang tepat bagi semua umat manusia.

4.      Pendekatan Teologi Feminis
Banyak orang mencari tahu tentang pegangan fundamental dari teologis feminis. Secara sadar dapat ditemukan melalui tradisi hermeneutika. Akan tetapi, merasa belum begitu sadar akan unsur hakikinya. Anne M. Clifford menyumbangkan secara gamblang bahwa unsur-unsur hakiki dari teologi feminis bersifat profetis dan liberatif. Kedua unsur ini adalah juga unsur yang digali dari Alkitab.
Dalam tradisi profetis alktabiah, para pelayan Allah memberi perhatian pada hal yang mengabaikan kebenaran Allah yang menyelamatkan semua jemaat. Salah satu ciri yang membedakan dari teologi feminis ialah memusatkan perhatian pada keanggotaan kaum perempuan yang diabaikan dalam jemaat. Oleh karena itu penyebutan profetis tersebut sebenarnya ingin membebaskan teologi Kristen dari pola rabun senja patriakat, yang mengutamakan pengalaman, pemikiran dan nilai kaum laki-laki selama selama berabad-abad. Hal ini juga yang setidaknya telah disampaikan oleh salah satu teolog pembebasan, Juan Louis Segundo dalam tulisannya, Lyberation of theology (1976), yaitu teologi pembebasan sebagai pembebasan teologi.
Kaum Feminis mengembangkan tiga langkah dalam berteologi (feminis). Pertama, dimulai dengan kritik terhadap peristiwa masa lampau, terutama terhadap tradisi teologi, gereja dan budaya yang cenderung bernuansa patriarkat. Kritik tersebut dimaksudkan sebagai semacam penyembuhan atas ingatan akan adanya bahaya penindasan yang dialami kaum wanita pada masa lampau yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal ini dilakukan dengan jasa kritik historis. Mengeritik dominasi maskulin dalam tradisi teologi, sejarah gereja dan budaya.
Kedua, mencari alasan, istilah dan alternatif lain untuk mendukung gerakan yang disesuaikan dengan keinginan mereka, terutama dari Kitab Suci, dan juga dari luar Alkitab. Ketiga, mereka mengembangkan metode teologi untuk merevisi doktrin yang tidak sesuai dengan lingkup dunia wanita.
Seperti juga American Liberation Theology, Feminisme melihat teologi sebagai refleksi dari suatu tindakan atau pengalaman yang diterima kaum wanita yang tertindas oleh kaum laki-laki. Menurut mereka, semua pendekatan teologi Feminis harus didasarkan pada pengalaman praksis wanita, bukan bersumber utama kepada Alkitab atau tradisi gereja. Tentang hal ini J. Grenz mengatakan; Bukan kebetulan bahwa langkah mendasar ini datang terakhir, teologi feminis, melihat teologi sebagai refleksi atas proses rekonstruksi kepercayaan Kristen dan kehidupan berdasarkan pengalaman perempuan.
   Untuk membenarkan pandangannya, para teolog feminis memberikan kritik terhadap teologi dan tradisi Gereja terutama kritik terhadap pandangan para Bapa Gereja. Pertama-tama kritik holistikal terhadap teologi yang berabad-abad, yang sangat maskulin. Artinya, semua konstruksi teologi yang berabad-abad selama ini bersifat kelaki-lakian. Sebagai contoh, Rosemary Radford Ruether, mengkritik para Bapa gereja dan ahli filsafat seperti Origenes, Agustinus, Socrates, Plato, dan lain-lain, yang menurutnya hanya menghargai keberadaan kaum laki-laki sebagai ‘the Image of God’ sedangkan wanita bukan ‘the Image of God. Sementara Thomas Aquinas dinilai hanya menghargai wanita sebagai seorang laki-laki yang dilupakan. Sementara itu, mereka menilai para Bapa reformasi tidak berusaha mengubah status wanita di dalam gereja, bahkan Karl Barth pun mengatakan wanita di dalam perjanjian dengan Allah menduduki tempat nomor dua. Chrysostom sependapat dengan Agustinus bahwa hanya manusia khususnya laki-laki yang sesuai dengan ‘image of God’ karena itu laki-laki mempunyai otoritas dan wanita tidak. Dia mengatakan; "Lalu kenapa 'manusia/pria' dikatakan dalam 'gambar Allah' dan wanita tidak? ... 'Image/gambaran' memiliki lebih hubungannya dengan otoritas, dan ini hanya milik pria, sedangkan wanita tidak memilikinya.” Sementara itu, Tertulianus menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”. Terakhir Agustinus berpendapat bahwa hanya laki-laki sendirilah merupakan citra Allah, seorang perempuan adalah citra Allah hanya bersama dengan suaminya.
Pendapat di atas menurut Marie Claire Barth-Frommel cukup hidup dalam masyarakat, seperti terjadi di Asia. Dia adalah seorang teolog perempuan yang menganalisis dan mengembangkan wawasannya tentang teologi feminis di Asia. Dia menulis pendapatnya demikian; ”Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menghasilkan kekayaan, menciptakan budaya, sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, suka memelihara apa yang ada dan meneruskan ketrampilan lama, biasa melayani dan suka dipimpin. Jika kita mengamati dengan seksama dan teliti, ada banyak implikasi yang cukup serius mensubordinasi wanita. Pertama, Laki-laki dipandang sebagai superior atas perempuan. Laki-laki memiliki peran penting yang tidak dapat digantikan oleh perempuan karena sifat-sifat perempuan lebih dilihat sebagai pelengkap. Kedua,perempuan hanya bertugas melanjutkan apa yang telah dirintis oleh laki-laki karena pada umumnya laki-laki itu kuat dan pemberani. Ketiga, laki-laki bertugas untuk memimpin suatu masyarakat yang luas, sedangkan perempuan ditugaskan untuk memelihara rumah tangga dan sekitarnya. Di dalam kalangan atas, seorang perempuan yang menjadi istri pejabat, harus mampu mengimbangi peran suaminya. Ia harus mendampingi suaminya dan menampilkan keanggunan sebagai istri yang baik serta pendidik sopan santun untuk anak-anak.
 
5.      Tema-Tema Pertama (Sekular) dalam Teologi Feminis
            Pada tahun delapan puluhan, spiritualitas feminis mulai menampakkan diri dengan tema-tema sebagai berikut:
1) Monisme/New Age Movement: All is one, semua adalah satu. Tema inilah yang pertama kali muncul dalam kehidupan spiritualitas teologi Feminis yang percaya bahwa segala sesuatu satu adanya, seperti bagian-bagian kecil menyusun bagian kesatuan yang besar. Menurut mereka, segala sesuatu saling berhubungan, saling bergantung, dan saling meresapi. Adanya indikasi monism masuk dalam spiritualitas teologi feminis bisa dibaca dari pandangan Douglas Groothuis. Dia meneliti bahwa gerakan New Age sudah meresapi gerakan feminism dengan mengatakan; "Pada akhirnya, monisme menegaskan tidak ada perbedaan antara Tuhan, seseorang, apel, atau batu. Mereka adalah bagian dari sebuah realitas terus menerus yang tidak memiliki batas dan tidak ada keterpisahan."
2) Pantheisme, gerakan ini pun sangat dekat dengan lingkup pandangan teolog Feminis. Pandangan ini melihat; All is God, semua adalah Allah, artinya semua materi atau benda apa pun, baik binatang, manusia, tanah, tumbuhan, laut, dan lain-lain adalah merupakan bagian dari Allah.
3) Selfisme. Menurut pandangan ini, Self is God Diri manusia adalah Allah. Tentang hal ini Mary Daly berkata jika Allah itu 'male' maka 'male' itu Allah.
4) Humanitas Baru. Menurut teologi feminis segala sesuatu menuju kepada suatu perjuangan yang mengarah kepada humanitas baru yang sempurna.
5) Unisex. Di sini teologi feminis mendesak agar menggunakan istilah Allah ke dalam istilah yang menyatukan seksisme; laki-laki dan perempuan menjadi suatu bentuk yang "netral" atau "no sex".
Tema-tema di atas memperlihatkan kepada kita bahwa spiritualitas feminis tidak dimulai dengan mendasarkan diri pada doktrin, tetapi lebih pada spiritualitas (gerakan sekular) bahkan boleh disebut sebagai sebuah bentuk teologi emotif, bila mereka tidak ingin memaksakan teologi mereka pertama-tama disebut teologi non-doktrin. Namun sebenarnya ada beberap tesis yang hendak diangkat oleh teologi feminis yang kami paparkan secara singkat di bagian selanjutnya.

6.      Tesis-Tesis Pokok Teologi Feminis
Betty Talbert-Wettler menerangkan bahwa untuk mengerti apakah Feminisme itu sekuler atau tidak, gereja wajib mengerti dan memahami presposisi mereka. Inilah beberapa preposisi yang ditulis oleh Betty Talbert-Wettler:
1.    Feminis melihat bahwa sistem ajaran inti kekristenan bersifat ‘patriarkhat’ yang menindas wanita.
2.    Simbol ‘maskulin’ untuk Allah menguatkan sistem hirarki secara seksual, menempatkan kedudukan laki-laki melebihi kedudukan wanita.
3.    Simbol, metafor dan gambaran Kristus/bahasa tentang Allah sebagai laki-laki tidak cocok dengan kepentingan religi wanita.
4.    Wanita harus dilepas-bebaskan dari penindasan kaum laki-laki baik secara teologis maupun secara sosial. Wanita harus membangun komunitas baru yang berdasarkan pada nilai-nilai yang berbeda dengan tradisi dan filsafat ‘patriarchi’.

7.      Beberapa Contoh Pendasaran Biblis Teologi Feminis
Beberapa contoh ini bukanlah sebuah ajian teologis lengkap.
7.1.                      Dalam Perjanjian Lama
Pengaturan peranan wanita dalam Perjanjian Lama banyak didasarkan pada kitab Kejadian pasal 1 dan 2.  Pada mulanya pandangan umum bangsa Israel terhadap peranan wanita dan pria adalah sama sederajat. Pengertian manusia (wanita/pria) adalah gambar dan teladan Allah, merupakan suatu pengertian yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perubahan itu mulai terjadi saat Allah melalui perjanjian kekal-Nya menyebut "Abraham sebagai Bapa segala bangsa". Istilah inilah yang kemudian menjadi suatu alasan dari munculnya pandangan bahwa yang memegang peranan otoritas tertinggi keluarga ada di tangan "kaum patriakh/laki-laki". Hal ini terjadi sampai pada zaman Israel dipilih Allah sebagai bangsa yang kudus, umat perjanjian Allah.
Dalam pandangan lama tersebut, peranan kaum patriakh dalam keluarga sangat menyolok, seperti Abraham, mencarikan jodoh anaknya, Ishak. Kej 24. Peranan ayah Ribkah, mengambil keputusan menerima lamaran atau tidak, menunjukkan bahwa adat saat itu tetap melalui jalur otoritas seorang ayah. Walaupun akhirnya keputusan untuk ikut Eliezer atau tidak, diserahkan kembali kepada anaknya, Ribkah. Demikian juga kepemimpinan Bapa Abraham boleh dikatakan tidak dominan lagi, sejak peranan Sarah lebih dominan dalam mengatur seluk beluk keluarga.
Dalam hal perceraian Perjanjian Lama sebenarnya tidak banyak memberikan informasi tetapi berdasarkan Ul 22:13-29. Ada dua hal yang cukup kelihatan. Pertama, suami tidak diperbolehkan menceraikan istrinya terutma jika ia salah dalam menuduh istrinya perihal ketidaksucian istrinya tersebut. Kedua, jika ia memaksa istrinya (memperkosa) padahal istrinya tidak mau melayaninya. Di dalam Perjanjian lama, banyak teks Alkitab yang membahas bagaimana keluarga harus melindungi kesucian wanita, janda dan  anak perempuan (Bdk.Ul 22-25).
Selanjutnya kita juga bisa melihat dalam kitab Bilangan. Menurut Bil. 30:3-16, kedudukan ayah sangat dominan dalam menentukan kehidupan anaknya (wanita) pada masa gadisnya. Bahkan setelah menikah pun sang ayah dapat menolong anaknya dengan menerima dia kembali saat diceraikan. Seandainya ayahnya sudah meninggal maka kewajiban saudara laki-lakinya yang melindungi janda ini. Dari sini kita melihat dengan jelas bahwa dalam konteks teks Bilangan tersebut, wanita harus tunduk pada pria, tujuannya bukan untuk menekan wanita tetapi untuk melindungi hak-hak wanita.
Lebih jauh, dalam Perjanjian Lama kita melihat banyak sekali teks yang menceritakan peranan wanita. Kalau mau dilihat secara mendalam, peranan wanita dalam PL, khususnya ibu sangat penting, baik pengaruh negatif maupun positif. Misalnya, kasus Yefta, Samuel, Eli, di mana kasih seorang ibu tidak pernah mereka dapatkan. Dengan itu, dampaknya sangat luar biasa parahnya. Sebaliknya peranan ibu yang negatif pun ada, seperti kasus Salomo, anak kesayangan Betsyeba, Dina anak Yakub, Ribkah, dan lain-lain. Wanita pun mendapatkan hak sebagai pemimpin bangsa. Baik peranan mereka menjadi hakim, nabi, ratu, dan lain-lain, misalnya, Deborah, Naomi, Ester, Rahab, Hana, Elizabeth, dan lain-lain. 
7.2.                      Kedudukan Wanita dalam Perjanjian Baru
            Untuk pendasaran dari Perjanjian Baru ini, kami ingin memfokuskan diri untuk melihat kedudukan wanita dalam kehidupan Tuhan Yesus dan kedudukan wanita dalam zaman  para rasul.
7.2.1.   Wanita dalam Kehidupan Tuhan Yesus
Secara umum, dapat dikatakan bahwa ada banyak wanita yang menjadi pengikut Yesus. Prihal pertanyaan, siapakah saudara dan orang tua Yesus?, kita bisa melihat jawaban dalam Mat 12:49-50, "siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di Sorga dialah saudaraku laki-laki, saudaraku wanita dan ibuku,". Selanjutnya, dalam Injil Yohanes kita melihat wanita pertama dalam kitab Injil Yohanes yang ditemui Yesus adalah Perempuan Samaria (Bdk. Yoh 4:5-30). Kemudian wanita dari Kanaan yang menjerit meminta tolong Yesus (Bdk. Yoh 15:22-28). Wanita jugalah yang mengurapi Tuhan Yesus di rumah Simon, orang Farisi (Bdk. Luk 7:44-50). Yesus juga bertemu seorang wanita yang menderita bungkuk delapan belas tahun (Bdk. Luk 13:10-17).
Ada masih banyak cerita lain yang melibatkan wanita dalam kehidupan Yesus. Kita bisa menyebut wanita dalam ceritera parabel Tuhan Yesus; seorang wanita mengaduk tepung dengan ragi (Bdk. Mat 13:3), gadis yang mencari koin yang hilang (Bdk Luk 15:8-10), sepuluh gadis pintar dan sepuluh gadis bodoh (Bdk. Mat 25:1-13), perumpamaan tentang janda yang ulet dalam memohon kepada seorang hakim (Bdk. Luk 18:1-8) dan Janda miskin yang memberikan seluruh hartanya kepada Tuhan (Bdk. Mat 12:38-44). 
            Kita juga bisa menyebut beberapa wanita yang menjadi murid Yesus dalam pengajaranNya, seperti Maria dan Marta (Bdk Luk 10:38-42). Lalu ada Maria Magdalena, seorang wanita yang disembuhkan Yesus karena kuasa roh jahat. Kemudian dia menerima Yesus di rumahnya dan mendukung pelayanan Yesus dengan menjual dan memberikan harta miliknya (Bdk. Luk 8:1-3).  Ada juga Salome dan ibu dari Yakobus anak Zebedius (Bdk. Mat 27:55-56) serta dan tentu saja kita harus menyebut wanita sentral; Maria ibu Yesus.
Penting sekali juga, kita melihat bagaimana pengajaran Yesus tentang perkawinan, perceraian, dan selibat (Bdk. Mat 19:3-12 dan Mrk 10:11-12). Ajaran Yesus ini jauh melampaui tradisi atau hukum Yahudi. Pertama, pada prinsipnya menurut Tuhan Yesus, Allah tidak menghendaki perceraian. Kedua, Yesus mengatakan apabila ada suami yang menceraikan istrinya kemudian menikah lagi, maka suami itu harus dianggap terlibat praktik perzinahan. Tentu saja, prinsip kedua ini tidak sama dengan tradisi dan hukum Yahudi yang menekankan kebebasan suami untuk menikah lagi. Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa isu moral yang Tuhan Yesus ajarkan jauh melampaui pengajaran rabbi-rabbi Yahudi (Bdk Mat 5-7).
7.2.2.      Posisi Wanita pada Zaman  Para Rasul
Pada zaman para Rasul kedudukan wanita adalah sebagai teman sekerja dalam penginjilan. Kita bisa menyebut Priskila dan suaminya Akwila (Kis 18:2). Mereka adalah kawan sekerja Rasul Paulus. Dalam Rom 16:3-5, kita membaca bagaimana salam dari Paulus memperlihatkan kedekatan hubungan Paulus dengan mereka. Kita juga patut menyebut beberapa wanita lain yang sangat mendukung pelayanan penginjilan, seperti Eudia, Sintekhe dan  Febe.
            Sebagai kesimpulan, kita dapat mengatakan bahwa kalau dilihat dalam banyak hal maka Alkitab tidak pernah membuang apalagi merendahkan peranan wanita. Oleh karena itu, teologi feminis perlu melihat peranan wanita secara menyeluruh dan dari semua sisi kehidupan mereka, bukan hanya sisi ketidakadilannya, tetapi juga terutama bagaimana hebatnya pelayanan mereka dalam mengembangkan penginjilan yang dilakukan mulai dari zaman Tuhan Yesus sampai jamannya para Rasul. Peranan wanita ini terus berlangsung dan sangat positif disambut, bahkan dalam kehidupan gereja mula-mula.
C.      Model-model Teologi Feminis
Untuk dapat memberikan penilaian proporsional terhadap teologi feminis, terlebih dahulu kita perlu mengenal beberapa jenis teologi feminis. Teologi Feminis dibagi menjadi beberapa golongan menurut jenis teologianya, yaitu kaum feminis pembaharuan, kaum feminis emansipasi, kaum feminis radikal.
1.      Teologi Feminis feminis Kristen revolusioner (pembaharuan menyeluruh dan mendasar). Mereka berusaha memberi kesempatan baik bagi kaum pria maupun kaum wanita untuk menggunakan potensinya. Menurut mereka, dalam masyarakat tradisional pembagian tugas menurut jenis kelamin membatasi kebebasan keduanya, baik pria maupun wanita. Mereka mendapat kesempatan memainkan peranannya dan hanya beberapa bagian peranan yang cocok dengan kedudukannya, misalnya sebagai ayah atau ibu. Mereka berfungsi seperti separuh manusia. Anne M. Clifford memberi pandangan lebih khusus dalam gereja. Dalam model teologi ini nyatanya banyak dipengaruhi oleh kaum radikal, khususnya bagi kelompok yang membela kebudayaan kaum perempuan. Banyak dari teologi feminis radikal dapat dikatakan sebagai kaum pasca Kristen. Banyak dari mereka yang juga mengambil bagian dalam gereja-gereja Kristen, namun dengan kesadaran bahwa ternyata agama Kristen itu patriarkat yang tidak dapat disembuhkan lagi bahkan anti perempuan. Sehingga jika kaum perempuan ingin dibebaskan, maka kaum ini harus meninggalkan agama Kristen. Masalah utama mereka mengenai agama Kristen ialah peran utaman yang diberikan mengenai seorang Allah laki-laki yang diyakini untuk mengabsahkan penindasan patriakat dan penidasan kaum perempuan yang ada di dalam gereja dalam relasi perkwainan mereka. Jadi, para teolog meninggalkan agama Kristen karena sikap opresif terhadap perempuan. Banyak dari mereka yang berpaling kepada tradisi dewa-dewi purba sebagai sumber teologi mereka yang memberi daya kreatif kaum perempuan. Dengan demikian menurutnya, dalam model teologi revolusioner memandang tradisi telah didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi tidak dapat memberikan harapan perbaikan. Oleh karena itu, menurut teolog feminis revolusioner, harus ada pembaharuan berkaitan dengan kedudukan pria dan wanita. Pembaharuan ini dapat dicapai dengan dua cara yaitu pembaharuan secara struktural dan secara individu.

2.      Teologi feminis Kristen reformis. Model ini merupakan model yang berbeda dari model revolusioner. Hal yang ditekankan dalam model ini ialah seorang teolog tidak berupaya untuk melakukan perubahan-perubahan secara total untuk merombak gama Kristen melainkan mereka melakukan perubahan yang moderat dalam struktur gereja-gereja yang ada. Sikap-sikap mereka menunjukkan komitmen yang sama dalam tradisi Kristen. Para feminis reformis ini bisa ditemukan dalam denominasi protestan dan gereja Katolik Roma.
Dalam denominasi-denominasi protestan, kaum feminis dianggap lebih konservatif adalah kaum evangelis dan fundamentalis yang berpegang teguh pada kitab suci serta teks-teks yang ada di dalamnya dan juga melawan prasangka gender dalam perlakuan terhadap perempuan di dalam gereja, keluarga dan masyarakat. Para pendukung model teologi feminis ini yakin bahwa mereka dapat memecahkan masalah kaum perempuan dengan cara menerjemahkan Alkitab yang leih baik dan penekanan lebih banyak pada perikop yang berbicara mengenai kesetaraam antara kaum perempuan dan laki-laki dalam kitab suci. Dalam gereja Katolik Roma, para perempuan dan laki-laki menunjukkan rasa hormat yang mendalam terhadap tradisi Katolik Roma dan kewenangan institusionalnya. Selain itu mereka berkeyakinan bahwa kaum perempaun perlu dilibatkan dalam kehidupan dan kepemipinan gerejani. Namun, ada pula sebagian dari mereka yang bersikap tidak kritis terhadap struktur kelembagaan gereja dan mendukung ajaran gereja. Contohnya dalam petahbisan, mereka membatasi pejabat gereja hanya bagi kaum laki-laki saja sedangkan perempuan terlibat dalam pelayanan-pelayanan gereja yang lain dan dalam pendidikan teologi. Jadi, teologi ini mengatakan bahwa walaupun memandang tradisi telah didominasi oleh kaum laki-laki, dan perempuan cenderung kurang kritis, tetapi masih melihat adanya harapan bahwa tradisi Kristen dapat diubah.

3.         Teologi Feminis Kristen rekonstruksionis. Dalam model ini nyatanya memiliki titik temu dengan feminisme reformis dalam komitmen kepada agama Kristen. Dalam hal ini mengizinkan kaum perempuan memegang jabatan gereja dan melaksanakan pelayanan-pelayanan gereja. Para teolog feminis rekonstrusionis mencari sebuah intipati teologis yang membebaskan kaum perempuan di dalam tradisi Kristen sendiri, namun juga mencita-citakan pembaharuan lebih sungguh, suatu konstrusi yang sejati bukan saja menyangkut struktur gereja melainkan juga struktur dalam masyarakat. Di sini para teolog feminis Kristen Rekonstruksionis membuat penilaian kritis terhadap patriakat dengan menafsir kembali simbol-simbol dan gagasan-gagasan tradisi agama Kristen tanpa melepaskan otoritas Allah di dalam Kristus.
Komitmen  bersama dalam persekutuan murid yang bermartabat dianut oleh para teolog feminis melangkaui denominasi atau lintas denominasi. Mereka masing-masing yang bisa saja memiliki perbedaan doktrin, namun dalam mengupayakan teologi, mereka sangat menjunjung tinggi kemitraan antardenominasi, dan member rasa hormat bagi perbedaan. Lebih daripada itu berusaha melalui kemitraan, membangun suatu wawasan Kristen yang komprehensif yang mampu menyeberangi batas perbedaan suku, kelas, kiblat seksual, agama.
Model ini sangat potensial dibanding model lain. Model ini secara baik akan menjadi kiblat berteologi feminis. Penganut model ini menempatkan pengalaman perempuan sebagai salah satu batu loncatan konstruksi teologi yang amat penting. Dalam model rekonstruksionis, para teolognya bukan sekedar merevisi suatu cara berteologi atau wawasan teologi yang sudah terbentang dari sumber teologi pertama yang dibangun menurut kelaki-lakian. Model ini percaya bahwa sisi baik dari teologi yang bersifat maskulin itu sudah berbicara jauh mengenai tema-tema inti dalam teologi Kristen, seperti keadilan, damai, kasih dan kemurahan hati (dan lain sebagainya). Mereka bahkan melakukan diolog bersama dengan para pelaku teologi pertama itu. Penganut model rekonstruksionis akan mengakui teologi yang berkenan dan menyentuh kedalaman feminis. Sekaligus mereka mengeritik dan merubah yang tidak berkenan pengunaan istilah yang mencederai kedalaman feminis.
Karena itu, ada tiga metode yang digunakan oleh teolog feminis rekonstruksionis Kristen dalam membangun teologinya:
1.      Menyelisik pengalaman-pengalaman tentang patriarkat dan androsentrime dengan mendengarkan secara saksama pengalamanku sendiri, dan kaum perempuan yang lain atau kaum laki-laki tertindas. Hal ini dilakukan selanjutnya melalui suatu strategi penyadaran bahwa penindasan itu mesti dilawan. Perlawanan pada akhirnya mesti disambut baik dengan strategi hermenuetik yang benar, yang dapat mengangkat kesalahan-kelasahan tafsir kitab suci untuk diperbaiki. Ini berarti, ada semacam sokongan terhadap upaya menyadarkan kaum tertindas melalui pengalaman yang direspon menurut  tafsir kitab suci. Upaya ini pada akhirnya dalam model ini akan menyembuhkan kebengisan patrirkat yang pernah dan bahkan masih menindas.
2.      Mendialogkan pengalaman-pengalaman tersebut dengan dokumen-dokumen Kristen lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui tradisi hermeneutika feminis. Dialog dimaksud, dilakukan dengan mempertanyakan kembali bahasa kitab suci, simbol-simbol. Dialog ini mengasumsikan bahwa tradisi, kitab suci dan sumber-sumber Kristen tidak dengan begitu saja member perendahan terhadap perempuan. Sebab, jika demikian, perempuan tidak dapat dibebaskan, melainkan akan lebih menekan perempuan sampai ke tanah. Karena hal-hal tadi menyentuh langsung dengan hal vital kekristenan.
3.      Mengembangkan berbagai strategi demi aksi atau praksis transformatif yang memerdekakan.
Metode ketiga ini mengasumsikan bahwa tindakan konkret harus dilakukan. Tindakan itu ialah tindakan pembebasan. Jika dilakukan dalam disiplin dan intensitasnya mutlak dalam cita-cita perubahan masyarakat, maka tidak ada katerisasi, melainkan hanya sebuah tindakan imperatif. Tanpa syarat, dan lakukan itu. Metode ini menyatakan bahwa teologi adalah sebuah proses yang melayani kehidupan jemaat Allah. Dan lebih dari pada itu, bahwa Allah mengasihi seluruh manusia, maka mesti ada praksis transformatif yang kuat. Praksis itu berakar pada refleksi. Akhir dari seluruh rumusan teologi feminis dan metodenya mesti bermuara pada aksi konkret yang mendatangkan perubahan.
8.      Pertimbangan Kritis Terhadap Teologi Feminis
Pertimbangan ini dilakukan dengan memerhatikan kompleksitas aktifitas teologi feminis yang cenderung tidak disiplin dan bahkan dapat dikatakan begitu mengganas dan emotif. Selain, memerhatikan sumbangan berteologi yang dapat berkeadilan juga.

8.1. Pengaruh Positif

            Menurut kami, apabila feminisme bertujuan agar wanita mempunyai hak yang sama dengan pria dan mereka diperlakukan sederajat dalam segala hal, maka kita harus menerimanya dengan catatan bahwa gerakan feminisme tidak ditujukan untuk menginjak-injak kaum laki-laki sebagai alasan ‘curiga-dendam’ atas hak-hak mereka yang telah ditindas. Fisher Humphreys mengatakan, Jika feminisme berarti bahwa para perempuan [perlu] mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dan harus diperlakukan dengan rasa hormat yang sama, maka jawaban terhadap pertanyaan ini adalah, ya.”
            Terhadap Gereja, kita perlu mengakui bahwa dengan adanya kritik historis yang dilakukan oleh para tokoh feminisme ini, gereja menemukan kembali pentingnya arti nilai pelayanan wanita yang memang sering dilupakan dalam sejarah gereja. Memang kalau diamati secara sepintas dalam perjalanan sejarah gereja, wanita biasanya hanya dianggap sebagai pelayan "kelas dua" tanpa adanya sumbangsih yang berarti. Oleh karena itu, kritik kaum feminis ini sangat dibutuhkan oleh gereja untuk mengingat kembali betapa pentingnya nilai sumber daya wanita dalam pelayanan gereja dan aktivitasnya, walaupun metode dan kesimpulan yang dibuat teolog feminis ini sangat spekulatif. Stanley J. Grenz mengakui kenyataan buruk ini dengan mengatakan;
Yang positif dari pendekatan feminis terhadap tradisi Kristen adalah pemulihan dari memori yang hilang dari wanita. Tidak ada orang yang telah melakukan lebih banyak untuk menemukan kembali peran dan kontribusi perempuan dalam tradisi Kristen selain Elizabeth Schussler Fiorenza. Meskipun metode dan kesimpulan mungkin dianggap spekulatif.
            Sifat mementingkan dan memusatkan laki-laki sebagai pemimpin yang otoriter menjadikan mereka sebagai penindas perempuan baik di dalam maupun di luar kehidupan gereja. Kesalahan fatal gereja harus diperbaiki. Untuk itu, Gereja mesti berterima kasih kepada kaum feminis yang telah bersungguh-sungguh mengungkapkan "dosa besar" ini. Keangkuhan laki-laki, otoritas kebapakan dan sifat kebenciannya terhadap perempuan yang telah terpendam beratus-ratus tahun lalu harus segera diakhiri. Kaum feminis juga menolong Gereja agar lebih terbuka terhadap kaum perempuan dan tidak ‘eksklusif’ untuk kaum laki-laki saja.
Teologi feminis telah melakukan pelayanan besar bagi komunitas Kristen dengan menunjukkan kejahatan androsentris patriarki dan misogoni. Para Teolog feminis seringkali membantu gereja untuk menjadi lebih inklusif dan oleh karena itu memberikan pandangan yang lebih benar berkaitan dengan gambar Allah sebagai laki-laki dan perempuan serta universalitas Injil.
            Sampai di sini kita melihat bahwa teologi feminis telah sanggup membukakan satu dimensi dan suatu wawasan baru dalam mengerjakan penafsiran secara horizontal seluruh penafsiran Alkitab. 

            8.2. Pengaruh Negatif

            Kami melihat bahwa setelah mendapatkan kesempatan dan dukungan dari masyarakat dan Gereja, kaum feminis yang bersifat ‘radikal’/‘ekstrim’ sering melangkah terlalu jauh bahkan dengan menggunakan metode spekulatif berani untuk menghakimi Alkitab. Mereka bahkan menilai Alkitab tidak benar karena disusun dengan menjunjung nilai maskulin dan merendahkan nilai feminim. Akhirnya mereka menyimpulkan kedudukan antara Allah dan manusia tak ada bedanya. Donald G. Bloesch, mengutip ucapan Carol Ochs demikian, " Kita, bersama-sama, menjadi bagian dari keseluruhan, setelah dipertimbangkan semuanya, Tuhan tidaklah menjadi ayah, maupun mengasuh, maupun bahkan orang tua, sebab Tuhan bukanlah selain dari, beda dari, atau mempertentangkan ciptaan.
Dari data sejarah, kita melihat pada mulanya teolog feminis memang hanya menuntut haknya tetapi lama-kelamaan beberapa dari mereka menjadi 'radikal'. Tuntutan mereka melampaui dari yang ditetapkan Alkitab bahkan berani menentang ajaran fundamental ortodoks tentang Allah Tritunggal dan Kristus. Ada empat hal atau ciri-ciri mengetahui teolog Feminis itu radikal atau tidak, seperti kesimpulan Fisher Humphreys berikut ini;
Pertama, feminis radikal ketika menyerukan kepada perempuan untuk membenci pria dan ketika itu menyerukan agar pria membenci diri mereka sendiri, kedua, feminis radikal menghina pernikahan, orang tua, dan rumah tangga ... tetap tunggal, tanpa anak, ketiga, feminis radikal menegaskan homoseksualitas, biseksualitas, atau masyarakat bergender, keempat, feminis radikal berusaha menafsirkan semua realitas sosial melalui sisi gender.
            Kita juga bisa menyebut banyak kritik lain terhadap teologi feminis, seperti penolakan mereka terhadap Allah sebagai 'Bapa' dan 'Tuhan' dapat membuka jalan pada kepercayaan politeisme dewa-dewi. Padahal penyebutan Bapa atau Tuhan itu tidak didasarkan kemauan atau konsensus dari teolog pria, melainkan dari Wahyu Ilahi yang dibawa oleh Yesus sendiri. Bahwa dalam kenyataan sebutan-sebutan seperti Tuhan dan Bapa mungkin disalahtafsirkan oleh beberapa teolog pria, tetapi itu bukanlah alasan yang tepat untuk menolak bahasa Wahyu (Allah) itu sendiri.
Sebagai implikasi lanjut dari kritik di atas, kita perlu menegaskan bahwa naskah Alkitab memang seharusnya tidak boleh diubah misalnya hanya untuk mengurangi bau 'patriarkatnya' dan bahwa naskah tersebut tidak boleh disingkirkan karena dianggap bertentangan dengan hak semua wanita dalam segala hal (mis Ef. 5:21-24).
            Yang lebih berbahaya lagi adalah teolog Feminis seperti Mary Daly akhirnya mendukung gerakan "gay", "lesbian" dan masyarakat "non-sexist". Donald G. Bloesch mengutarakan sebagai berikut;
Hal ini tidak mengherankan jika feminis radikal cenderung mendukung gerakan Pembebasan Gay, karena mereka benar-benar memutus seks dari tujuan reproduksi atau generatifnya. Mereka juga mengusulkan "penghapusan total peran seks", dan ini mencakup toleransi atas lesbian serta hubungan homoseksual laki-laki. Untuk Mary Daly, homoseksual pada masyarakat nonsexist akan membebaskan berhubungan bermakna dan otentik satu sama lain.
D.     Mengutarakan Relevansi Bagi Pengembangan Teologi Feminis di NTT
Kelompok kami mengangkat dua hal pokok yang terjadi di NTT yang menurut kami membuat wanita terbelenggu dan perlu disikapi oleh teologi feminis. Dua kenyataan itu adalah kuatnya budaya patriarkat dan menguatnya adanya fenomena perdagangan perempuan. 
Pertama, kuatnya budaya patriarkhat. Masyarakat NTT, jika ditinjau dari sudut sosio-budaya terdiri dari beragam suku, bahasa dan adat istiadat. Setiap suku merupakan ikatan genealogis beradasarkan garis keturunan ayah (patrilineal). Dengan demikian pada masyarakat NTT, umumyana kedudukan dan peran kaum pria lebih tinggi jika dibandingkan dengan kaum wanita. Pada pundak kaum pria diembankan tugas dan tanggung jawab suku,sedangkan kaum wanita dilihat sebagai pribadi yang disiapkan untuk suku lain dalam perkawinan eksogami (tradisi perkawinan yang mengharuskan pencarian jodoh dari luar lingkungan sosialnya). Kenyataan ini memperlihatkan suatu keprihatinan akan peran dan fungsi kaum wanita yang terbelenggu dalam stereotipe lama sebagai the second class.
            Dalam urusan perkawinan adat misalnya,wanita diukur dalam bentuk belis seperti gading di budaya Lamaholot, moko di Alor ataupun barang antik lainnya  dengaan ukuran sekian sesuai dengan tradisi dari masyarakat yang bersangkutan. Pertanyaan yang muncul adalah nilai apakah yang ada di balik belis itu? Mengapa belisnya dalam bentuk barang-barang antik bersejarah? Semua pertanyaan di atas menghantar kita untuk mengungkapkan bahwa betapa tinggi dan luhurnya martabat kaum wanita. Tetapi di pihak lain, pada saat yang sama, karena belis itu diambil dari barang-barang antik yang sulit untuk didapat maka di sana akan terjadi proses tawar-menawar antara keluarga pria dengan kelurga wanita. Hal ini berarti eksistensi dan martabat kaum wanita direduksi ke dalam benda-benda material, seakan-akan kaum wanita identik dengan seduah barang yang diperdagangkan. Untuk meggambarkan hal ini, sering juga dikatakan bahwa “wanita jatuh harga”. Konsekuensi dari kenyataan ini adalah muncul pemahaman baru bagi profil wanita sebagai pelayan keluarga kaum pria yang telah membelinya dengan belis. Kedua, menguatnya fenomena perdagangan perempuan. Hal ini disebabkan oleh beragam alasan, dan salah satu alasan utamanya adalah keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. NTT merupakan salah satu provinsi pengekspor TKW terbesar di Indonesia. Malangnya, kebanyakan dari mereka mengalami perlakuan yang tidak pantas di luar negeri, bahkan ada yang terancam mendapat hukuman mati.
Terhadap dua fenomena besar di atas kelompok kami menganjurkan agar Gereja NTT perlu secara khusus dan sungguh-sungguh memihak kaum wanita. Oleh karena itu, gerakan teologi feminis, terutama yang bersifat emansipatoris (melakukan pembebasan) sungguh-sungguh perlu mengakar di NTT. Secara lebih konkrit, Gereja NTT perlu membuat pastoral kategorial khusus untuk membela/melakukan advokasi terhadap wanita NTT dari pasungan budaya patriarkat dan juga fenomena perdagangan perempuan, serta berbagai fenomena sosial, religius, dan budaya lainnya yang jelas-jelas membelenggu wanita.
Gereja juga perlu mendukung dan memberikan catatan kritis terhadap usaha pemerintah dan LSM-LSM di bidang kewanitaan. Gereja NTT misalnya perlu menjadi mitra strategis dari Kementrian pemberdayaan perempuan, di tingkat provinsi dan kabupaten perlu bermitra dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan untuk mendukung dikeluarkannya wanita dari belenggu keterpasungan yang ada.
Gereja-gereja di NTT perlu secara konsekuen untuk mengembangkan beberapa hal: Pertama, institusi-institusi religious dan gerejawi seyogyanya menjadi teladan dalam menangani ketidakadilan gender. Kedua, Konferensi atau sidang-sidang khusus gereja (GMIT) membentuk atau meningkatkan Jaringan Mitra Perempuan (JMP) di setiap wilayah di Nusa Tenggara dan menjalin kerja sama dengan rekannya dan dengan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi yang sama sebagai mitra. Ketiga, mendorong setiap unit pelayanan memberi perhatian terhadap isu-isu ketidakadilan gender untuk membuat atau meningkatkan gerakan penyadaran gender. Keempat, melalui pendidikan, para pengelola pendidikan dalam kurikulum yang menyentuh isu-isu semacamnya, yaitu membangun pendidikan yang berwawasan gender. Kelima, mendorong partisipasi penuh kaum perempuan dalam semua perangkat pastoral yang terbuka untuk awam dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pastoral. Keenam, dalam melakukan teologi sebagai sebuah pekerjaan pertama dalam aksi, mesti dengan teliti menggunakan metode yang dianggap kontekstual menurut disiplin teologi feminis ketika menyikapi persoalan kontekstual mengenai perempuan.

Daftar Pustaka
-    Andalas, P. Mutiara.,  2009.
Lahir Dari Rahim. Yogyakarta: Kanisius.
-   Barth-Frommel, Marie Claire., 2003.
Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis,  Jakarta: BPK Gunung Mulia.
-   Bevans, Stephen B., 2010.
Teologi Dalam Perspektif Global. Maumere: Penerbit Ledalero.
-   Bloesch, Donald G., 1982.
Is the bible Sexist?, Illinois: Crossway.
-   Burnham, Frederic B., 1989.
"Does the Bible Has a Post Modern Message?", dalam Post Modern Theology: Christian Faith in a Pluralist World, (Ed.), San Fransisco: Harper and Row.
-   Clifford, Anne M., 2002
Memperkenalkan Teologi Feminis, Terj. Yosef M. Florisan, Maumere: Ledalero. 
-   Embu, Emanuel  J. dan Amatus Woi, 2004.
Berpastoral di Tapal Batas . Pertemuan pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa Tenggara, Maumere: Ledalero dan Candradity.
-   Grenz ,Stanley J. & Olson, Roger E., 1992.
20th Century Theology: God and World in a Transitional Age. Illinois: IVP.
-   Groothuis, Douglas., 1986.
Unmaking the New Age, Illinois: IVP.
-   Heuken, A.,1994.
Ensiklopedi Gereja IV, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
-   Hommes, Anne., 1992.
Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, Jakarta-Bandung: Gunung Mulia dan Kanisius.
-   Humphreys, Fisher., 1995.
Feminism and the Christian Faith, New Orleans: The Theological Educator.
-   Johnson, Elizabeth A., 2003.
Kristologi Di Mata Kaum Feminis: Gelombang Pembaruan dalam Kristologi. Yogyakarta: Kanisius.
-   Natar, Asnath M.., 2004,
Perempuan Indonesia-Berteologi Feminis dalam Konteks. Yogyakarta: Pusat Studi Feminis Fakultas Teologi UKDW.
-   Ratu-Pada, Maria. & Campbell-Nelson, Karen., 2000.
Kumpulan Bacaan Teologia dan Gender. (UKAW, Fakultas Teologi).
-   Ritzer, George & Douglas J. Goodman.,
2004, Teori Sosiologi Modern. (ed.6.).Jakarta: Kencana.
-   Ruether, Rosemary Radford., 1983.
Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, Boston: Beacon.
-   Segundo, Juan. L., 1976.
Liberation of Theology.Maryknoll, M.Y: Orbis Books.
-   Talbert-Wettler, Betty., 1995.
Secular Feminist Religious Metaphor and Christianity, San Diego: EVSJ.
-   Teichman, Jeny., 1998. Etika Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.