Rabu, 13 November 2013

Teologi Kontekstual

MAKNA ALLAH DALAM KARYA TENUN IKAT
Oleh: Pdt. Dr. E. I. Nubantimo

I. Pendahuluan: Tenun ikat karya multi fungsi
            Salah satu karunia terindah dari Allah kepada perempuan-perempuan Nusa Tenggara Timur (selanjutnya NTT) adalah ketrampilan menenun. Tenunan yamg dikembangkan oleh perempuan-perempuan di kepulauan Sunda Kecil, khususnya di bidang tenun ikat merupakan seni kerajinan memukau.[1] Ia disebut tenun ikat karena untuk membuat corak ragam gambar yang memukau itu perempuan-perempuan di daerah itu mengikat kumparan benang lungsin untuk dicelupkan dalam zat warna.
            Hasilnya rekayasa hiasan dengan cara mengingat itu sangat mempesona, membangkitkan daya imaginatif serta mengekspresikan nilai-nilai atau pesan-pesan spiritual yang kaya makna dan referensi. Kain tenunan itu memiliki banyak manfaat. Bernard S. Myers benar waktu mengatakan bahwa menenun adalah ketrampilan yang bermula merupakan industri rumah tangga.[2] Meskipun begitu kain tenun seorang perempuan NTT tidak sekedar berfungsi untuk melindungi badan anggota keluarga dari panas dan dingin. Kain tenun memiliki fungsi yang melampaui kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Dalam buku berjudul “Tenun Ikat dari Timur”, Jes A. Therik mencatat delapan fungsi kain tenun atau tekstil tradisional. Kedelapan fungsi itu adalah:[3]

  1. Alat pelindung badan dari panas dan dingin serta pengaruh cuaca.
  2. Estetika, keindahan.
  3. Etika, melindungi bagian badan tertentu agar tidak merasa malu.
  4. Segi sosial, prestise, susunan tingkat masyarakat (raja, bangsawan, orang biasa dan lain-lain).
  5. Segi ekonomi, sebagai alat tukar.
  6. Fungsi budaya, dari aspek antropologis merupakan alat penghargaan  dan pemberian perkawinan dan kematian.
  7. Fungsi hukum, adat/ pidana adat, denda adat untuk mengendalikan keseimbangan sosial yang terganggu.
  8. Mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut kepercayaan corak/desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan sebagainya.

Berikut ini beberapa catatan tentang fungsi kain tenun seperti yang saya amati dalam perilaku orang-orang tradisional di NTT, khususnya suku Atoni di Timor.

Pengalaman pertama. Setiap kali berkunjung ke jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (selanjutnya GMIT) di pedalaman Timor dan Alor saya selalu mendapat sambutan yang hangat. Salah satu wujud sambutan itu adalah pengalungan selimut yang didahului oleh sambutan secara adat dalam bahasa berpantun (natoni). Saya heran juga dengan sambutan seperti itu. Dulu waktu masih pendeta jemaat dan staf Majelis Sinode GMIT saya sudah sering ikut rombongan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Bendahara Majelis Sinode berkunjung ke tempat itu. Tetapi waktu itu saya tidak pernah disambut secara istimewa dengan pengalungan selimut. Tapi sekarang. Waktu saya datang sebagai pemimpin gereja saya justru diperlakukan khusus.
Pengalaman ini membuat saya mengerti bahwa pemberian kain tenun berfungsi sebagai ungkapan hormat dan penerimaan kepada seseorang yang datang ke satu tempat tertentu dengan membawa misi khusus, misi kemanusiaan. Tentu saja setiap hari ada banyak orang baru (luar) yang datang ke tempat atau jemaat itu. Tetapi sambutan dengan pengalungan selimut tidak mereka terima. Hanya orang-orang yang datang membawa misi khusus yang diperlakukan khusus. Menyematkan selimut di tubuh orang itu adalah tanda bahwa masyarakat atau jemaat menyatukan dia ke dalam komunitas hidup mereka, sekaligus ungkapan kesediaan mereka untuk menerima dan melaksanakan pesan yang ia bawa.
            Pengalaman kedua berhubungan dengan upacara perkawinan. Sepupu perempuan saya hendak melangsungkan pernikahan.  Dia tinggal dan bekerja sebagai guru di desa Tetaf, kecamatan Amanuban Barat. Dulu, sewaktu masih sekolah dia tinggal bersama kami. Itu berlangsung sejak SMP sampai tamat perguruan tinggi. Keluarga mengutus seseorang dari Tetaf untuk menyampaikan berita pernikahan sekaligus undangan untuk menghadiri resepsi. Karena sibuk dengan tugas-tugas di Kupang, saya tidak bersempat menghadiri pesta itu. Adik laki-laki saya bersama istrinya yang kami utus.
            Waktu pulang dari acara itu adik membawa satu lembar selimut dengan uang sebesar Rp. 20.000. Selimut dan uang itu untuk saya. Adik bercerita bahwa bukan hanya saya saja yang memperoleh bingkisan seperti itu. Malam itu mempelai laki-laki bersama keluarganya memberi bingkisan yang sama kepada semua saudara dan kerabat dekat dari calon istrinya. Keluarga suaminya mempersiapkan barang-barang itu sebagai ungkapan kasih dan hormat kepada saudara dan kerabat dekat calon istrinya. Hal yang sama juga dibuat oleh sepupu saya kepada saudara dan kerabat dekat calon suaminya. Ada tukar-menukar bingkisan berisi selimut tenunan dalam jumlah yang sangat banyak. Menurut cerita opa, selimut yang diberikan mempelai laki-laki kepada saudara dan kerabat calon istrinya haruslah selimut yang bermotif khas milik marganya dan haruslah ditenun oleh perempuan-perempuan dari marga itu. Hal yang sama juga harus dibuat oleh mempelai perempuan kepada keluarga dan kerabat dekat calon suaminya.
            Jes A. Therik memahami praktek tukar menukar pemberian kain tenunan sebagai alat untuk menjaga harga diri keluarga dan suku masing-masing.[4] Tafsiran seperti ini ada benarnya. Tetapi ia bukan satu-satunya arti yang dapat kita pahami. Dari pengalaman yang satu ini saya memperoleh kesan bahwa kain tenun perempuan-perempuan NTT memiliki fungsi perekat ikatan kekeluargaan dan kekerabatan.[5] Sepupu saya akan menikah. Dalam tatanan adat, ia akan diboyong oleh suaminya ke dalam persekutuan marga dan suku suaminya. Ada anggapan bahwa hubungan kekeluargaan kami dengan sepupu sudah berakhir.
            Tetapi sebenarnya tidak. Selimut yang dia berikan kepada kami dengan motif yang khas milik marganya memberitahukan kepada keluarga dan kerabat mempelai perempuan bahwa hubungan kekerabatan tetap dijaga. Bahkan sekarang kekerabatan itu diperluas lagi. Selimut itu boleh kami simpan sebagai bukti bahwa ikatan kekeluargaan antara kami dan sepupu serta keluarga suaminya mengalami perluasan. Pesan yang sama juga terkadung dalam parktek pemberian kain tenun dari mempelai perempuan kepada keluarga dan kerabat suaminya.[6] Tukar menukar kain tenun bermotif khas milik marga dalam upacara perkawinan sama dengan menganggap si penerima selimut sebagai keluarga dan kerabat sendiri. Si penerima selimut bukan lagi outsiders melainkan tergolong pada insiders.
Pengalaman ketiga. Kain tenun juga mempunyai fungsi dalam hubungan dengan peristiwa kematian. Jes A. Therik menulis sebagai berikut: “Pernyataan simpati dan turut berduka cita bagi keluarga yang meninggal diungkapkan dengan pemberian tenunan. Dibanding dengan kartu ucapan dukacita dan karangan bunga dalam masyarakat modern dewasa ini, pemberian kain tenun lebih menyentuh hati nurani bagi penerimannya karena pemberian ini mengandung arti simbolis sebagai pernyataan penghiburan dan penghapusan air mata yang berduka.”[7]
Saya kira pernyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Meskipun begitu saya ingin menyodorkan praktek suku Atoni yang berhubungan dengan kain tenun dan kematian. Dalam salah satu karangannya, T.J. Van Oostrom Soede menulis sebagai berikut: “Orang Timor menguburkan mayat saudaranya bersama dengan selimut miliknya. Si mati tidak hanya dimakamkan dengan satu lembar kain tenun tetapi bersama semua kain, selimut, sarung dan barang-barang kesayangan milik si mati. Pada orang-orang kaya dan pemuka masyarakat tentu saja makin banyak kain. Makin kaya dan terkemukan makin banyak kain dan selimut yang dimakamkan bersama dengan dia. Sekalipun dia memiliki puluhan kain yang berharga dan masih baru, kain-kain itu harus ikut dimasukan dalam kuburan. Waktu seorang saudara dari raja Amarasi meninggal dunia, dia dimakamkan bersama dengan delapan puluh lembar kain tenun.”[8]
Si mati dimakamkan bersama kain selimut miliknya dan juga pemberian keluarga. Kenyataan ini tidak hanya berlaku di kalangan suku atoni.  Di Sumba sebagaimana yang dilaporkan Paul Michael Taylor, Cs, praktek serupa juga dikenal.[9] Ini menunjukan bahwa orang NTT percaya bahwa ada hidup sesudah mati. Si mati memerlukan barang-barang miliknya di tempat yang baru yang akan didatanginya setelah ia meninggalkan dunia ini.
Dari pengalaman ini kita lihat bahwa kain tenun perempuan-perempuan NTT tidak hanya memiliki fungsi dan nilai dalam dunia kini dan di sini, tetapi kain tenun juga punya nilai untuk hidup di dunia akhirat, bagi orang yang sudah meninggal dunia.[10] Apa tepatnya fungsi kain di dunia akhirat? Ini perlu studi dan penelitian khusus. Tulisan ini tidak memiliki kompotensi untuk menggarap pokok tersbut,
Apa yang saya hendak kemukakan dalam tulisan ini adalah mengajak saudara-saudara mencermati makna kain tenunan bagi iman kita kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain melalui tulisan ini saya ingin menyodorkan kepada pembaca bahwa ada banyak pesan dalam kain tenun perempuan-perempuan NTT yang dapat kita pakai untuk menghayati iman kepada Kristus sekaligus mengkomunikasikan iman itu secara lebih bermakna dan komunikatif.

II. Sistematika penulisan

Untuk maksud ini tulisan ini akan saya bagi dalam empat bagian. Pada bagian pertama kita akan mendalami secara rinci dan detail proses pembuatan kain tenun tradisional. Selanjutnya, pada bagian kedua perhatikan akan kita fokuskan pada corak ragam atau rekayasa hiasan (motif) dalam sebuah karya tenun ikat. Pada bagian ketiga saya akan mengajak saudara-saudara memaknai pesan-pesan etis, moral dan spiritual dari keseluruhan bahan dalam dua bagian terdahulu bagi percakapan yang lebih bermakna dan komunikatif mengenai penghayatan iman dan kehidupan bergereja dalam konteks NTT. Kita akan coba menemukan sebuah metafora baru bagi kehidupan bergereja yang diangkat dari pengalaman dan pesan-pesan etis, moral dan spiritual dalam karya tenun ikat. Bagian keempat, yaitu penutup, kita pakai untuk merenungkan sumbangsih positif yang dapat kita peroleh dari metafora baru yang kita temukan dari pengalaman menenun perempuan-perempuan NTT.

Bagian Pertama:
Proses Mengerjakan Tenun Ikat

2.1 Membuat benang dari kapas
          Proses mempersiapkan selembar kain tenun dimulai dengan menyiapkan benang. Perempuan suku atoni di pulau Timor hanya mengenal satu bahan dasar bagi pembuatan kain tenun, yaitu kapas.[11]
          Di desa-desa pekerjaan mempersiapkan benang, mengatur lungsin, mengikat motif (gambar hias) mewarna sampai dengan menenun dikerjakan seluruhnya oleh perempuan. Perempuan-perempuan suku atoni adalah seniman-seniman alam. Ada banyak perempuan atoni yang mengkhususkan diri pada keahlian membuat benang, atau mengikat motif atau mencelup. Menenun merupakan ketrampilan yang dimiliki oleh hampir setiap perempuan remaja sampai dewasa. Mereka mewarisi ketrampilan itu dengan cara belajar, mengamati bahkan berpraktek di bawah bimbingan ibu atau kerabat perempuan. Ketrampilan menenun adalah wajib dikuasai oleh perempuan-perempuan atoni. Mereka baru dianggap dewasa oleh masyarakat dan memperoleh restu keluarga untuk menikah dan membentuk rumah tangga jika mereka sudah mahir menenun.[12]
          Tapi untuk sampai pada tahap ini seorang perempuan harus memiliki benang. Proses pembuatan benang adalah sebagai berikut: kapas yang ditanam di antara jagung dan ibu dipetik. Setelah dijemur beberapa hari kapas dilepaskan dari bijinya. Pekerjaan ini disebut nabnin sesuai dengan nama alat bantuk yang dipakai, bninis. Selanjutnya kumparan-kumparan kapas itu diperhalus menjadi sebuah gulungan. Pekerjaan ini dilakukan dengan alat berbentuk busur. Perempuan-perempuan atoni menamakan alat itu sifo, sedangkan pekerjaan itu na siof abas.
          Jika tahap pertama sudah selesai, mulailah tahap membuat benang, na’ sun abas. Perempuan atoni tidak mengenal alat pembuat benang berbentuk roda seperti yang biasa dipakai oleh suku-suku di Indonesia bagian barat dan di Flores Barat. Alat yang mereka pakai untuk mengubah kapas menjadi benang bernama ike-suti. Untuk memperoleh benang dalam jumlah yang cukup bagi pembuatan sebuah selimut atau sarung besar dibutuhkan waktu kira-kira dua bulan. Di desa-desa kadang-kadang perempuan-perempuan membuat benang dengan bantuan ike-suti saat dalam perjalanan ke pasar atau kebun. Tentu saja sambil membawa barang-barang yang dijujung di kepala. Gambaran ini memperlihatkan profil perempuan atoni sebagai pekerja-pekerja yang ulet. Sehubungan dengan ini saya ingat sebuah pantun dari Pantai Gading (Afrika) yang dengan tepat melukiskan kenyaan ini: “Ibu berkata bahwa ia berbaring di tempat tidur, tetapi kakinya selalu tergantung. Artinya, ibu tak kenal istrahat. Ia selalu bekerja untuk hidup keluarga, suami dan anak-anaknya.[13]

2.2 Teknik merekayasa motif
          Segera setelah tersedia cukup benang pekerjaan menenun sudah dapat dimulai. Untuk mengenal lebih jauh tahap ini kita perlu lebih dahulu mengenai peralatan-peralatan tenun yang diperlukan. Mula-mula perempuan-perempuan atoni membentangkan benang secara berjejer di atas dua buah balok atau bambu. Panjang rentangan benang antara 1,5 – 2 meter dengan lebar 50 – 60 cm. Panjang bentangan itu kemudian dilipat dua untuk keperluan membuat motif ikat. Ini disebabkan karena motif dalam satu selimut biasanya dibuat simetris antara ujung atas dan bawah serta bagian kiri dan kanan. Ada sekitar 1000 – 1500 baris benang yang dibentangkan di atas alat bernama loki’.
          Teknik merekayasa motif dalam tenun ikat dimulai dengan menggambarkan keseluruhan struktur penempatan gambar dalam ingatan, kemudian diterapkan dalam wujud nyata, yakni dalam proses mengikat benang dalam kumparan-kumparan sebanyak jumlah yang dibutuhkan untuk satu buah selimut atau sarung kecil atau besar. Jadi motif atau hiasan tersimpan di kepala dan dalam hati pembuatnya. Perempuan NTT membuktikan diri di sini sebagai yang memiliki daya ingat sekaligus kemampuan imaginatif dan kreatif yang dapat diandalkan.
          Motif yang ada dalam kalbu itu sekarang siap untuk diukir di atas benang. Pada waktu dulu penenun mengikat benang dengan tali yang diperoleh dari serat daun gebang (kufa tali heknat). Belakangan ini sebagian besar perempuan atoni sudah menggunakan tali raphia. Ini lebih mudah karena tali ini memiliki banyak warna sehingga penenun bisa membedakan motif utama dari variasi atau motif pendukung dengan menggunakan warna tali yang berbeda.

2.3 Mencelup
          Tahap mengikat disusul dengan mencelup benang. Tahap ini berlangsung satu atau dua bulan bergantung dari kombinasi serta kualitas warna. Dulu, zat pewarna juga diramu sendiri oleh penenun atau oleh perempuan-perempuan yang mengkhususkan diri untuk keahlian ini. Zat pewarna diperoleh dari bahan-bahan yang tersedia di dalam alam, seperti dari kunyit, akar mengkudu, daun pepaya dan tumbuh-tumbuhan lokal lainnya. Keahlian perempuan NTT dalam meramu dan menghasilkan warna juga patut diberi jempol. Dalam bukunya yang sudah berkali-kali kita kutip Jes. A. Therik menguraikan dengan rinci bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memperoleh warna sesuai dengan kebutuhan. Itu sebabnya saya merekomendir pembaca yang ingin mengetahuinya untuk membaca buku tersebut.
          Setelah proses pencelupan selesai dan warna yang diperoleh sesuai dengan selera penenun, ikatan yang dibuat pada benang-benang itu dilepaskan. Benang-benang itu sekarang sudah siap untuk ditenun menjadi kain bermotif.

2.4 Menenun
          Benang yang sudah diwarnai dibentangkan pada dua buah balok atau lebih tepat benang itu sekarang diuraikan di atas perkakas tenun. Tiap baris baris terdiri dari dua helai benang. Perempuan atoni menamakan tahapan ini nanon abas (menyusun benang di atas perkakas).
          Adapun perkakas tenun itu adalah sebagai berikut. Ada dua balok horisontal di dua ujung dengan jarak antara 1,5 – 2 meter. Balok di ujung yang satu biasanya dari bambu. Perempuan atoni menyebut balok ini nekan. Sedangkan ujung yang lain terdiri dari dua balok persegi empat bernama atis. Benang hasil celupan diuraikan di kedua balok ini dengan lebar antara 50 - 60 cm. Di bagian nekan benang yang diuraikan itu diberi simpul hidup. Artinya benang hanya dilingkarkan begitu saja. Sedangkan di bagian atis simpulnya mati. Jika pekerjaan menenun sudah berjalan kain yang sudah selesai digulung di bagian atis.
          Untuk menjaga ketegangan benang di atas alat tenun itu maka nekan diikat pada dua buah tiang. Nama tiang itu adalah api’. sedangkan atis direkatkan pada pinggang penenun dengan bantuan kulit sapi atau karung. Perempuan atoni menyebut ikat pinggang ini niun.
          Selain dua balok ini (nekan dan atis), ada juga beberapa balok kecil yang diselipkan di antara benang-benang yang direntangkan. Balok-balok kecil itu berjumlah dua sampai lima batang bergantung jenis tenunan yang akan dibuat (futus, lotis atau buna). Balok-balok ini berupa lidi. Namanya sial. Jadi ada sial satu, dua, dst. Fungsi sial adalah untuk membantu penenun untuk menaikkan atau menurunkan benang saat mengajam sebuah motif. Selain itu dua balok lagi. Yang satu berbentuk bulat. Ukurannya sedikit lebih besar dari sial. Perempuan atoni menamakan balok ini puat.  Di balok ini benang-benang bisa dinaikan dan diturunkan dalam posisi berselang seling sehingga bisa dibuat anyaman benang menjadi kain. Balok yang lain bernama ut fungsinya untuk membantu si penenun memantau pergeseran yang terjadi selama menenun sehingga dan mencegah kemungkinan rusaknya motif yang direncanakan.
          Selama proses menenun ada dua buah kayu yang selalu ditarik masuk dan keluar di antara sela-sela benang. Kayu pertama disebut nabi atau sau’ban. Dia sebenarnya bukan kayu, melainkan lidi yang dililit dengan benang. Kalau benang yang dibentangkan antara nekan dan atis kita sebut benang vertikal, maka benang yang dililitkan pada sau’ban adalah benang horisontal yang terus menerus dimasukan di antara benang-benang vertikal.
          Tiap kali benang horisontal diselipkan, penenun merapatkan benang itu ke simpul mati yang ada di atis dengan cara memukul beberapa kali. Untuk itu diperlukan senu, sebuah balok pipih berbentuk pedang. Inilah kayu kedua Jika benang horisontal itu sudah rapat, penenun menaikan puat agar benang yang di bawah terangkat ke atas, sedangkan benang yang di atas turun ke bawah. Lalu dengan bantuan senu ia mendorong simpul itu untuk merapat ke atis. Setelah itu benang horisontal dimasukan lain ke cela tenunan dengan menggunakan puat, lalu dengan menggunakan senu penenun merapatkan simpul ke atis. Begitu proses seterusnya sampai selesai. Lamanya proses menenun sampai selesai kira-kira 10 – 15 hari. Ini bergantung dari besarnya kain, kerumitan motif yang akan diukir serta lamanya waktu menenun dalam sehari.
          Ada beberapa metode mengerjakan kain tenun bermotif: futus (mengikat benang), sotis (menyisip benang), dan buna (mengait dan menyungkit benang). Motif ikat diperoleh dengan cara membuat hiasan dasar pada kain tenun dengan mengikat rencana gambar untuk beberapa warna.  Dengan cara ini motif yang digambar benar-benar menyatu dengan benang dasar. Ini berbeda dengan tenunan sotis, yakni menggambarkan motif timbul di atas benang dasar. Cara memperoleh motif sotis ialah  dengan menyisipkan benang tambahan di atas dan di bawah benang dasar sehingga gambar yang dibentuk itu timbul ke permukaan. Motif buna hampir sama dengan sotis. Perbedaannya terletak pada tingkat kerumitan sekaligus banyaknya kombinasi warna pada motif yang direkayasa.[14]
          Menarik untuk dicatat bahwa perempuan NTT hanya membuat satu motif saja pada satu lembar kain tenun. Tiap kain ditenun dengan metode tetap. Jika futus ya futus saja. Tidak pernah ada perempuan yang mengerjakan satu kain dengan cara futus, sotis dan buna sekedar untuk memperlihatkan kebolehannya. Ini hal penting yang punya makna sendiri bagi percakapan tentang gereja yang akan dibahas dalam bagi berikut.

Bagian Kedua:
Pesan spiritual dalam motif tenun ikat

          Di atas sudah kita catat bahwa teknik merekayasa motif dalam tenun ikat dimulai dengan menggambarkan keseluruhan struktur gambar dalam ingatan, kemudian diterapkan dalam wujud nyata. Perlu kita catat bahwa kemampuan menggambarkan motif dalam ingatan bukan soal pengalaman (experience) melainkan penyataan (revelation). Ada cerita dari Sumba bahwa sebelum seorang perempuan mulai mengerjakan motif tenun ikat, ia terlebih dahulu perlu minta izin dari leluhur penemu pengetahuan menenun, yakni Tara Lalu Wewu. Pada saat permohonan ini disampaikan maka inspirasi mengenai corak ragam hias yang akan ditenun segera tergambar dalam benaknya.[15]
          Dari cerita ini kita melihat bahwa corak ragam hias (motif) yang akan diukir seorang perempuan di atas benang-benang mengandung nilai teologis, etis, spiritual dan moral yang dia terima sebagai wahyu dari dunia seberang sana (the outer world). Atas dasar ini kita dapat berkata bahwa motif-motif yang diukir pada sebuah kain tenun merupakan ekspresi dari hubungan antara manusia dengan roh-roh pujaan mereka.
          Biasanya, setiap marga mempunyai motif atau ragam hias tersendiri. Dari motif yang ada pada selimut yang dipakai orang tahu identitas pamakainya, seperti dari suku dan kampung mana dan apa statusnya dalam masyarakat. Motif itu berhubungan dengan buah pikiran, cita-cita, kepercayaan, simbol dan tokoh penting dalam komunitas marga atau kampung yang diyakini sebagai pembawa berkat dan pemberi kehidupan. Jadi dalam setiap kain tenun, perempuan-perempuan atoni sesungguhnya sedang menuangkan keyakinan iman dan pandangan hidup dalam simbol-simbol penuh makna. Dengan mengamati setiap karya tenun kita sebenarnya bisa mendalami filsafat hidup suku atau marga pemiliknya. Filsafat itu tergambar dalam wujud-wujud nyata, figuratif maupun abstrak dan skematis.
          Kita dapat berkesimpulan bahwa dalam selembar kain tenun terukir iman dan kepercayaan masyarakat. Ada pesan-pesan spiritual tentang hidup dan mati, berkat, anugerah, persaudaraan, kerukunan, damai sejahtera, serta keyakinan akan Tuhan dalam konstruksi motif-motif. Sudah sepantasnya kita katakan bahwa diri, identitas, integritas, sejarah, iman, kasih dan pengharapan perempuan NTT tidak diterdapat dalam buku-buku, tetapi tertuang di dalam tenunan mereka. Para penenun di Timor karena itu adalah teolog-teolog alam.[16]
          Tentu saja  motif atau figur pokok tadi tidak pernah digambarkan sebagai tema yang berdiri sendiri. Figur itu selalu dipercantik dengan variasi beberapa bentuk gambar, simbol atau garis pendukung untuk memberi bobot makna kepadanya. Gambar, simbol atau unsur pendukung itu tampil dalam berbagai bentuk variasi seperti garis lurus, garis bergelombang, zig-zag, titik-titik kecil, lingkaran, kombinasi warna. Semua itu ditempatkan dalam irama teratur, secara simetris dan berulang-ulang untuk memberi daya estetis, imaginatif sekaligus menegaskan keseimbangan dari polarisasi daya-daya yang terdapat dalam makro kosmos.[17]
          Untuk dapat mengerti dan memahami pesan spiritual dari ragam hias yang terpatri dalam sebuah kain tenun, kita perlu meneliti berbagai mitos yang beredar di kalangan suku atau marga pemilik motif itu. Motif buaya yang muncul secara mencolok dalam tenun ikat banyak marga di kalangan suku atoni berhubungan erat dengan mitos-mitos yang beredar mengenai peranan buaya bagi adanya kehidupan di Timor. Buaya bukan hanya diyakini sebagai binatang keramat pemberi kesejukan dan kesegaran, serta yang mengaruniakan kepada suku atoni sapi an kerbau. Lebih jauh, Timor sendiri dianggap sebagai pulau buaya (the sleeping crocodile).
          Menurut ceritera rakyat dulu kala ada seekor anak buaya yang tersesat. Ia tidak menemukan jalan untuk kembali ke laut. Seorang anak laki-laki menolong buaya itu. Ia mengendong buaya itu untuk dibawa ke laut. Pada saat itu, air laut  tiba-tiba naik. Si anak terancam mati tenggelam. Sebagai ungkapan terima kasih, buaya tadi mengajak si anak naik di punggungnya. Anak itu dibawa berenang mengelilinggi dunia. Ketika buaya tadi menjadi makin tua dan ia merasa akan segera mati. Buaya tadi berpesan kepada anak yang sudah menjadi dewasa bahwa ia akan berbaring di permukaan laut. Tubuhnya akan berubah menjadi daratan, menjadi sebuah pulau. Si anak boleh tinggal di atas pulau itu. Tubuh buaya yang sudah berubah menjadi daratan itu akan menumbuhkan banyak pohon buah-buahan yang dapat dimakan. Bahkan di dalam tubuh si buaya ada banyak bahan makanan yang boleh dinikmati oleh penduduk di pulau itu. Inilah sebabnya mengapa pulau Timor, tempat tinggal suku atoni bentuknya seperti sekor buaya yang sedang berbaring.[18]
          Selimut multi warna suku di Sumba Timur bernama hinggi kombu juga mengekspresikan banyak hal mengenai keyakinan religius komunitas produsennya. Motif menonjol dari hinggi kombu adalah figurasi seorang laki-laki, barangkali seorang panglima perang masyarakat tradisional yang berdiri di sisi pohon yang di setiap rantingnya bergantung kepala manusia. Dalam periode pra kolonialisasi setiap kali selesai perang, pasukan yang menang perang merayakan kemenangan dengan mendirikan sebuah pohon yang ranting-rantingnya dihiasi dengan kepala para lawan yang berhasil dibunuh. Lokasi perayaan ini di depan rumah pemimpin suku, yang berfungsi sebagai tempat sakral bagi seluruh desa. Motif hinggi kombu tetap dibuat sampai sekarang untuk mengingatkan generasi sekarang akan tugas mereka bekerja bagi kesejahteraan desa dan menghalau sekuat mungkin tiap bahaya atau ancaman yang berpotensi mengganggu kehidupan bersama.[19]
            Ada beberapa kesimpulkan yang dapat kita catat mengenai pesan spiritual dalam motif tenun ikat. Pertama, motif-motif itu bukan hasil rekayasa insani. Ia adalah hasil dari sebuah penglihatan yang dalam, perenungan yang sungguh-sungguh akan makna dari kenyataan-kenyataan hidup yang dialami oleh masyarakat atau komunitas perancang motif-motif tadi. G. Th. Therik benar saat ia mengatakan bahwa corak ragam hias yang akan digambar di atas kain tenun adalah inspirasi yang diperoleh dari roh-roh pelindung dan pujaan komunitas itu. Ini juga benar dalam hubungan dengan perintah untuk menenun. Menenun, bagi suku-suku di NTT, bukan ketrampilan yang diperoleh atas inisiatif sendiri. Ia adalah pemberian dari dunia dewa-dewa. Saya sudah mengatakan hal ini dalam bab mengenai ike-suti dan suni-auni. Singkat kata, menenun dan teknik merangkai motif bukan hasil inisiatif manusia, tetapi sebuah panggilan.
          Kedua, pesan spiritual yang dipatrikan dalam kain tenun bersifat multidimensional. Di situ kita menemukan pesan-pesan sukacita, rasa hormat, persaudaraan, kerukunan, saling menerima, tolong menolong, damai sejahtera dan kekekalan hidup. Sumber dari pesan-pesan ini sudah pasti berasal dari dia yang memberi inspirasi kepada perempuan-perempuan penenun.
          Ketiga, keseimbangan, keharmonisan dan parallelisme antara kenyataan-kenyataan dalam alam: kehidupan-kematian, atas-bawah, luar-dalam, garis lurus-garis melingkar, vertikal-horisontal, hitam-putih, laki-laki-perempuan merupakan tema-tema pendukung yang disatukan di sekitar figur yang ditokohkan dalam setiap tenunan.[20] Sebuah pantun suku atoni menegaskan karakter keseimbangan ini dengan sangat tegas: “Apabila warna putih tidak cukup, perbesarlah dia dengan warna hitam. Manakala warna hitam tidak memadai, bubuhkan lagi padanya warna putih.” Jelasnya, figur yang ditokohkan bukanlah motif yang meniadakan melainkan yang merangkul figur-figur lainnya. Tidak ada tempat bagi separasi atau diskriminasi. Hukum yang berlaku dalam proses menenun bukan pemisahan melainkan penyatuan. Semua yang berbeda ditata menjadi satu paduan yang indah, serasi dan konstruktif.

Bagian Ketiga:
Menuju Eklesiologi yang Komunikatif dan Bermakna

          Pengalaman disambut oleh jemaat-jemaat GMIT di pedesaan dengan pengalungan selimut waktu kunjungan kerja sebagai pimpinan gereja membuat hati saya gembira dan bahagia. Tetapi tiap kali pulang rumah dan menyaksikan koleksi selimut saya bertambah membuat pikiran saya terganggu. Kenyataan ini juga menantang saya untuk menemukan bentuk-bentuk narasi tentang kehidupan bergereja dengan menggunakan metafora atau perumpamaan yang akrab bagi pengalaman pendengar yang kebanyakan terdiri dari para pengguna kain tenun. Mesti ada sesuatu dari pengalaman dan ketrampilan mengerjakan kain tenun sebagai jalan masuk untuk mengajak warga GMIT memahami apa dan bagaimana seharusnya mereka hidup sebagai warga gereja.
          Perenungan yang dalam akan apa dan bagaimana gereja serta pengamatan yang saksama mengenai pekerjaan menenun dan pesan-pesan spiritual dalam selembar kain tenun, membawa saya pada keberanian untuk berbicara tentang gereja dengan menggunakan metafora yang diangkat dari pengalaman perempuan-perempuan NTT mengerjakan kain tenun ikat. Saya lalu terdorong untuk menggambarkan kehidupan bergereja di Timor ibarat mengerjakan selembar kain tenun. Pada waktu saya menulis artikel ini, narasi dengan tema “bergereja ibarat mengerjakan selembar kain tenun” sudah empat kali saya ucapkan dalam kesempatan tatap muka dengan jemaat. Pertama kali saya ucapkan di hadapan para peserta sidang klasis Pantar Barat di jemaat Ebenhaezer Kawali (6 Nopember 2003). Kali kedua, ketiga dan keempat saya ucapkan di sidang klasis Amanuban Tengah Utara di Baki (4 Maret 2004) dan sidang klasis Amanuban Timur Utara di Mnela Anin (30 Maret 2004), dan sidang klasis Alor Tengah Utara di Padakika (12 April 2004). Tiap kali tema itu saya ulang, ada hal baru yang saya peroleh. Tema itu menjadi makin kaya.
          Komentar para pendengar narasi itu sangat membesarkan hati. Ada yang bahkan meminta saya untuk menyimpan narasi itu dalam sebuah dokumen tertulis. Inilah latarbelakang lahirnya tulisan yang sedang anda baca. Bagaimana sebenarnya isi dari narasi itu. Ikuti tuturan berikut:

2.5. Bergereja sebagai pekerjaan menenun persekutuan
          Waktu para bapak gereja (patriarch) bertemu dalam konsili Nikea dan Konstantinopel mereka  berusaha merumuskan tanda-tanda gereja (notae ecclesiam). Tanpa pertama yang mereka sepakati adalah keesaan (kesatuan). Credo unam ecclesiam. Gereja itu satu. Kesatuan gereja mencuat di tengah-tengah realitas masyarakat yang terbagi dan terpecah dalam pelbagai kelompok, suku, bahasa, sejarah dan latar-belakang.[21]
          Manusia, baik sebagai kolektif maupun individu hidup terpisah-pisah dan terasing satu sama lain. Kita mengelompok dalam kesatuan darah, marga, etnis, bahasa, sejarah. Dari tengah realitas ini Allah berinisiatif menghimpun, mengumpulkan, menyatukan dan mempersekutukan mereka dalam satu komunitas yang bernama gereja. Allah buat itu dengan cara memanggil manusia keluar dari keterasingan satu sama lain, untuk hidup dalam keterikatan atau relasi yang akrab. Inilah persekutuan orang percaya (congregatio fidelium) yang kita namakan gereja. Dan kalau kita lihat dalam Perjanjian Baru, kata yang dipakai untuk gereja selalu dalam bentuk jamak (ekklesiai). Kelompok orang-orang percaya yang terbagi-bagi dan terpecah-pecah itu dipanggil untuk mewujudkan kesatuan dan hidup dalam persekutuan.
          Kenyataan ini persis sama dengan kesatuan dari benang-benang dan kombinasi warna dalam satu lembar kain tenun. Dari tempat yang terpisah-pisah, terasing dan gelap, kapas-kapas dihimpun, dibersihkan (tabnini), dibuat menjadi halus (tasifo), untuk dijadikan benang (tasun). Selanjutnya, benang-benang itu ditata atau disusun (tanon) di atas sebuah perkakas (loki) untuk diikat-satukan, diberi warna dan dirajut dengan morif yang penuh makna. Hasilnya adalah selembar kain tenun yang indah dan selalu dikenakan di tempat atau upacara bermartabat. Ada banyak benang yang akan tetap sebagai benang yang rapuh jika dia tinggal dalam kesendirian dan keterasingan dari benang lain. Benang seperti itu tidak banyak berguna bagi masyarakat dan juga bagi sang pencipta. Tapi jika benang-benang itu ditata rapih, diikat dan disatukan melalui proses menenun, benang-benang itu menjadi kuat. Ia memiliki fungsi dan nilai baru yang membanggakan sesama maupun pencipta.
          Dari sebongkah kapas yang kasar ia dibentuk menjadi selimut yang indah dan menawan yang dikhususkan oleh si penenun untuk menjadi cinderamata, bukti kasih sayang, dan alat perekat persaudaraan terhadap sesama dan  mereka yang dihormati dan disanjung. Dari hanya segumpal serat yang pasti hancur ditimpa hujan, ia berubah menjadi seperangkat motif yang fungsinya adalah untuk menyaksikan identitas si penenun, sekaligus menjadi tanda pengenal yang menyertai jiwa seseorang yang sudah meninggal dunia dalam perjalanan ke tempat perhentian yang kekal. Lebih jauh lagi. Motif-motif dari benang itu menjadi jaminan si mati beroleh lisensi untuk masuk dalam negeri perhentian para leluhur.
          Inilah juga yang menjadi kemuliaan dari orang-orang yang bersekutu dalam gereja. Manusia dan orang-orang percaya adalah seumpama kapas dan benang-benang. Manusia itu terancam binasa jika ia hidup menyendiri dan terpisah dari sesamanya, berada di tempat yang jauh dari rumah dan menetap dalam kegelapan di hutan. Tetapi oleh inisiatif Allah manusia diangkat, dibersihkan, dibuat menjadi halus, disusun dalam barisan yang indah lalu ditenun menjadi satu persekutuan. Iman, kasih dan pengharapan memang adalah karunia individual kepada tiap-tiap orang percaya. Tetapi kita semua tahu bahwa pertumbuhan iman, kasih dan pengharapan itu akan bertumbuh subur dan berdaya guna kalau individu-individu itu ada dalam relasi dengan saudara-saudara seiman.

2.6 Allah sebagai sang penenun
          Keberadaan gereja sebagai sebuah persekutuan yang dibangun dari kesatuan banyak individu orang percaya, seperti kata Berkouwer, bukan fenomena alamiah, natural atau kebetulan. Ia juga bukan merupakan hasil prestasi atau inisiatif seseorang. Orang percaya bersekutu, hidup dalam pertalian yang rapat dan akrab karena sebuah panggilan. Orang-orang itu “dipanggil, dikumpulkan dan ditenun (verworven) dengan darah yang mengucur dari salib.”[22] Jűrgen Moltmann benar waktu dia berkata: “kata pertama dari gereja bukanlah ‘gereja’ tetapi kemuliaan Bapa, Anak dan di dalam Roh Pembebasan.”[23] Ya. Kesatuan gereja tidak dapat dipisahkan dari kehendak Allah.
          Lagi-lagi keyakinan teologis ini dapat kita jejaki juga dalam metafora gereja sebagai sebuah pekerjaan menenun selembar kain.  Ketrampilan menenun, seperti sudah kita catat di atas, bukan hasil prestasi atau inisiatif manusia. Prakarsa datang dari the outer world. Inisiatif untuk menghimpun kapas, mengikat motif, menyulam dan menenun jadi kain, tidak datang dari para perempuan NTT. Mereka dipanggil dan dimampukan untuk melakukan hal itu oleh Dia yang disembah. Mutatis mutandis, apa yang Jűrgen Moltmann katakan di atas dapat juga kita kenakan pada pekerjaan menenun. “Kata pertama dari pekerjaan menenun bukan dari perempuan-perempuan NTT tetapi dari Allah yang menciptakan perempuan-perempuan itu.”
          Penegasan ini bukan sebuah isapan jempol. Alkitab sendiri berkata bahwa Allah adalah seorang penenun. Dia menenun manusia. Itu saya baca dalam Mazmur 139: 13: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.”
          Allah adalah yang alfa dalam menenun. Gereja adalah kain tenunan yang dikerjakan Allah. Ya, Gereja adalah kain tenun milik Allah. Dialah yang mengambil inisiatif mengangkat, membersihkan, memintal, menempatkan individu-individu yang ia tebus dalam satu kesatuan yang rapih tersusun kemudian diikat menjadi satu produk dengan corak ragam yang indah untuk tujuan yang dikehendaki Allah. Bila perempuan-perempuan NTT membutuhkan perkakas-perkakas untuk mengerjakan kapas menjadi benang, dst, Allah juga memiliki banyak metode untuk mengubah hidup kita menjadi berkenan kepadaNya. Tim studi tentang misi gereja dari World Council of Churches (WCC) mengatakan: “Khotbah, baptisan, perjamuan Kudus, doa, ibadah bukan instrumen eklesiologis untuk tujuan keamanan pribadi, tetapi instrumen yang dipakai oleh Allah untuk memimpin umatNya berpaling kepada dunia.”[24]
          Allah adalah penenun yang agung. Ia membisikan kepada para perempuan NTT bagaimana menenun ketika ia menenun mereka dalam kandungan ibu. Ia juga yang menyimpan motif-motif kaya makna dan pesan spiritual dalam hati dan benak para perempuan NTT pada waktu ia mereka masih ada sebagai bakal anak. Mengatakan ini saya ingat sebuah legenda Yahudi.
          Menurut pengajaran orang Yahudi, sewaktu seorang bayi dalam kadungan ibunya, sebatang lilin dinyalakan di samping bayi itu. Tuhan Allah memerintahkan seorang malaikat untuk mengajar seluruh isi Torah kepada si bayi. Menjelang saat anak itu hendak dilahirkan, malaikat menyentuh bibir si bayi sehingga si bayi melupakan semua yang ia pelajari. Ini sebabnya mengapa di bibir atas setiap orang ada semacam lekukan. Itu adalah bekas sentuhan jari sang malaikat. Di dalam kandungan Allah mengajarkan kepada si bayi Torah (pengajaran) tentang hidup. Belajar melakukan kebaikan yang terjadi di luar rahim, kata cerita itu, tidak lain dari proses rekoleksi (mengingat kembali) apa yang sudah Tuhan ajarkan selama dalam rahim.[25]
          Kalau kisah ini kita terapkan pada pokok yang kita bahasa, maka jelas bahwa sang penenun agung membisikan kepada perempuan NTT bagaimana menenun dan motif-motif yang harus mereka rajut saat mereka ditenun Allah dalam rahim ibunda tercinta. Pada waktu perempuan-perempuan lahir, dewasa dan mulai menenun, yang mereka lakukan tidak lain dari proses rekoleksi atas apa yang sudah mereka pelajari dari Allah. Pada waktu menenun, perempuan-perempuan NTT sesungguhnya sedang berpartisipasi dalam pekerjaan menenun yang dilakukan Allah.

2.7  Maksud Allah dengan kain tenun miliknya
          Allah adalah yang alfa dalam menenun. Ia juga yang membisikkan cara menenun dan meletakkan kemampuan menenun dalam aneka corak ragam hias yang memukau dan kaya makna kepada perempuan-perempuan NTT sejak mereka dalam kandungan ibu. Inilah ringkasan dari paragraph yang baru saja kita tinggalkan. Saatnya sekarang kita bertanya: apa maksud Allah dengan kain tenunan yang ia kerjakan? Untuk apa Tuhan Allah berlelah-lelah mengikat satukan orang-orang percaya dalam satu persekutuan yang rapih tersusun dalam gereja?
          Alkitab menggunakan seribu satu ungkapan untuk menjelaskan pokok ini ini. Dalam kitab Matius kita kenal ungkapan “garam dan terang dunia” (Mat. 5: 13 dst). Di tempat lain kita menjumpai metafora: “Umat yang baru” yang dikenakan kepada gereja. Tiap metafora bermaksud menonjolkan salah satu dimensi atau fungsi dari keberadaan gereja dan orang percaya dalam dunia. Jelasnya, Tuhan Allah menghimpun, menyatukan dan membentuk gereja untuk maksud tertentu. Dan tiap metafora yang dikenakan kepada gereja dimaksud untuk mengkomunikasikan dimensi tertentu dari maksud Allah yang satu dan tidak berubah dari keberadaan gereja.
          Pertanyaan muncul: apa itu maksud yang satu dan tidak berubah dari Allah yang hendak ia sampaikan kepada dunia melalui umat yang Ia panggil, satukan dan kuduskan?
          Menurut Perjanjian Lama Allah sejak semula sudah memperkenakan diri dan kehendakNya. Hal itu ia lakukan kepada Adam, Enos, Nuh, Abraham, Isak dan Yakub. Tetapi sejauh itu Allah tetap ada sebagai yang tidak dikenal (Deus absconditus: the unknown God). Penyebabnya adalah karena perkenalan diri yang dilakukan Allah itu dilaksanakan secara sporadis dan hanya kepada individu-individu saja (Kel. 6: 1,2).  Dari sudut pandang manusia, cara ini ternyata tidak efektif. Iman adalah soal individu, tetapi pertumbuhan iman dikondisikan oleh persekutuan di mana seseorang berada. Itu sebabnya agar dapat dikenal dengan baik Allah bertindak untuk membentuk satu persekutuan. Umat itu dibentuk secara khusus dan dijadikan congragatio fidelium, persekutuan yang kudus yang menjadi obyek dan lokus sekaligus instrument bagi Allah untuk memperkenalkan diri dan kehendaknya. Hal ini saya baca dalam dua bagian Alkitab. Pertama dalam Kejadian 6:6. Di situ dijelaskan maksud Allah menghimpun dan menetapkan Israel sebagai bangsa milikNya. “Aku akan mengangkat kamu menjadi umatKu dan Aku akan menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, Tuhan, Allah…”
          Jadi Allah memilih dari antara bangsa-bangsa satu persekutuan, menjadikan mereka la compaqnie de fideles, dengan maksud agar umat itu mengenal siapa Allah serta karya dan pekerjaannya bagi dunia dan manusia. Umat itu dibentuk untuk mengenal Allah dan perbuatan-perbuatannya. Nama dan perbuatan Allah hanya diberitahukan kepada mereka. Ini terkesan sangat eksklusif. Kita karena itu harus melanjutkan survei kita dengan bagian lain dalam Alkitab. Perjanjian Baru menegaskan bahwa pemilihan dan pembentukan congragatio fidelium oleh Allah ini tidak bersifat eksklusif melainkan inklusif. Allah membentuk persekutuan itu dengan mata dan hati yang tertuju kepada dunia. Mari kita periksa penegasan surat Petrus. “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib. Kamu yang dahulu bukan umat Alah, tetapi yang sekarang telah menjadi umatNya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan” (I Pet. 2:9-10).
          Kalau bagian Alkitab yang pertama berbicara tentang persekutuan sebagai obyek pengenalan Allah, bagian yang kedua menegaskan fungsi persekutuan itu sebagai instrumen melalui mana Allah mau memperkenalkan diri kepada dunia. Dari dua bahan ini kita dapat simpulkan bahwa Allah menetapkan umat/persekutuan yang kudus agar umat itu menjadi semacam surat Allah kepada dunia. Gereja ada untuk memperkenalkan Allah dan karyaNya kepada dunia.[26] Paulus menggunakan metafora “surat kristus” untuk mendefinisikan tujuan keberadaan umat atau jemaat Allah (II Kor. 3:3).
          Congregatio fidelium yang ditetapkan Allah berfungsi sebagai surat. Kita semua tahu fungsi dari sebuah surat. Ia berguna untuk mengkomunikasikan pikiran, perasaan dan keputusan dari sang penulis kepada pembaca. Dari isi surat kita dapat mengenal dan mengetahui identitas dan pikiran serta isi hati penulisnya.[27]
          Gereja sebagai surat Kristus. Tentu saja sebuah metafora yang bermakna, terutama dalam masyarakat yang melek huruf. Di NTT di mana sebagian besar warga masih menganut tradisi lisan (bertutur) dan mayoritas penduduknya masih buta aksara metafora ini baik tetapi kurang dikenal dan tidak komunikatif. Kita tentu harus mencari metafora lain yang dapat menampung fungsi-fungsi yang terkandung dalam metafora surat kalau kita ingin berbicara tentang gereja kepada orang percaya di NTT secara bermakna dan komunikatif. Untuk itu metafora “kain tenun Allah” saya anggap dapat kita pakai untuk memperkaya makna kehidupan bergereja yang terkandung dalam metafora “surat Kristus.”
          Kita sudah catat bahwa selembar kain tenun memberi kesaksian tentang siapa penenunnya, dari marga dan daerah mana sang penenun berasal, serta apa-apa saja keyakinan dan pandangan hidup dari si pemiliknya. Hal-hal itu ditampilkan dalam motif-motif (ikat, sotis dan buna) yang dikerjakan dengan hati-hati dan teliti oleh si pemiliknya. Hal ini jatuh sama dengan bahkan memperkuat pesan-pesan yang hendak disampaikan melalui kata, kalimat serta ungkapan-ungkapan yang diukir di atas surat itu.
          Itu sebabnya saya berkeyakinan bahwa kepada orang percaya di NTT metafora gereja sebagai kain tenun milik Allah lebih komunikatif dan penuh dengan referensi makna dalam benak warga jemaat. Di samping itu metafora ini tidak bersifat eksklusif. Mengingat menenun adalah panggilan budaya yang dikenal oleh setiap suku di NTT. Sama halnya dengan metafora rumah Allah yang dipakai GMIT untuk mengungkapkan identitasnya dalam konteks NTT. Sayangnya, ada keluhan dari warga GMIT di Rote, Sabu dan Alor bahwa gambaran tentang Yesus sebagai tiang induk dari gereja dianggap asing dan hanya menyapa kelompok suku Atoni saja. Sejauh mana keluhan itu benar, perlu dibuat penelitian yang mendalam.
          Kembali kepada pokok semula, metafora gereja sebagai kain tenun milik Allah membangkitkan imaginasi tentang ketelitian, ketekunan, dan kesabaran Allah mengerjakan kain miliknya itu. Dua ribu tahun lebih Allah duduk untuk memintal benang, mengikat motif, merajut dan menenun kehidupan bersama dalam gereja milikNya. Sebuah pekerjaan yang butuh waktu. Ini disebabkan karena motif yang hendak dibentuk tidak hanya mencerminkan isi hati dan identitas Allah sang pemilik. Pada saat yang sama motif itu harus terukir pada tiap benang. Tidak boleh ada satu benangpun yang terabaikan. Allah ditampilkan di sini sebagai Tuhan yang aktif dan berkarya.  Selanjutnya, metafora ini memperlihatkan besarnya cinta kasih Allah kepada gereja, serta fungsi sosial gereja. Akhirnya dengan menggunakan metafora gereja sebagai kain tenun milik Allah, orang percaya di NTT diajak untuk merenungkan makna gereja bukan hanya bagi hidup kekinian tetapi juga keakanan, kepada bentuk hidup di balik kubur.

2.8 Tiga Karakter dari sebuah Motif        
          Persoalan muncul: motif macam apakah yang sedang dibentuk Allah di atas kain tenun miliknya, yaitu gereja? Untuk menjawab pertanyaan ini, sekali lagi saya menarik perhatian pembaca pada sifat-sifat atau karakter dari motif dalam kain tenun perempuan-perempuan NTT.
          Pertama, motif pada selembar kain tenun perempuan NTT memperkenalkan kepada dunia luas siapa penenunnya, asal-usul marga dan daerah si penenun yang tentu saja berkaitan erat dengan mitos asal-usul satu marga serta pandangan mereka tentang hidup dan nilai-nilai yang lestari yang menjadi dasar dan pemberi makna bagi hidup serta relasi mereka baik internal maupun eksternal. Ini dapat kita sebuat sebagai karakter historis dari sebuah motif. Hal penting yang wajib dicatat. Tidak satu pun benang yang diabaikan dalam pembuatan motif. Motif itu tidak dirajut hanya di atas sebuah benang, tetapi di tiap benang. Jika satu benang putus, si penenun dapat menyambung benang itu. Pada benang yang baru itu pun dirajut motif yang sedang dibentuk. Selanjutnya dalam membentuk sebuah motif unsur-unsur yang bertolak belakang, bahkan bertentangan (garis lurus, lingkaran, titik-titik, horizontal dan vertikal) diatur, ditata dan diberi tempat sehingga menjadi satu paduan, konstruksi yang saling melengkapi. Di samping motif utama, perempuan-perempuan NTT selalu membentuk motif pendukung di atas kain tenun yang mereka kerjakan. Dalam karakter ini kita mencatat beberapa sifat dari sebuah motif: dinamis dan inklusif atau integratif.
          Kedua, motif  pada selembar kain tenun perempuan NTT juga memiliki karakter sakramental. Ada nilai atau pesan spiritual yang terkandung dalam corak ragam atau motif yang dibentuk baik secara nyata, figuratif maupun abstrak dan skematis. Sebuah motif yang nampak bercerita tentang keyakinan, konsep-konsep makna dan nilai-nilai religius, sosial dan historis yang dianut oleh komunitas pemilik motif itu.
          Ketiga, dalam motif kain tenun ada karakter eskatologis. Maksudnya, motif kain tenun dijadikan oleh pemiliknya sebagai tanda pengenal untuk dapat diterima dan diizinkan masuk ke dunia para leluhur pada saat rohnya melakukan perjalanan dari dunia orang hidup ke dunia orang mati. Inilah alasan mengapa seorang yang meninggal dunia selalu dimakamkan bersama dengan semua kain tenun yang adalah miliknya.
          Melihat pada tiga karakter yang dimiliki sebuah motif pada kain tenun perempuan NTT,  pada sisi lain jika kita setuju untuk mendefinisikan kehidupan bergereja sebagai sebuah pekerjaan membuat kain tenun, maka pertanyaan yang muncul adalah: motif macam apakah yang sedang diukir oleh Allah pada kain tenun miliknya itu?



2.9 Kristologi: Motif pada kain tenun milik Allah
          Dalam iman Kristen ajaran tentang Yesus Kristus disebut-sebut titik sentral yang menyatukan (overarching motif), sekaligus memberi makna bagi seluruh wacana dan pokok percakapan Kristen tentang Allah dan segala sesuatu yang diciptakan Allah. Kristologi adalah ungkapan yang dipakai dalam teologi Kristen untuk semua bentuk percakapan Kristen tentang diri dan karya Yesus Kristus. Karl Barth menyebut kristologi sebagai kunci hermeneutik, atau prisma atau tata bahasa dalam kita berbicara tentang apa saja, termasuk tentang gereja. Kristologi adalah asumsi dasar dari eklesiologi. Semua tema dalam teologi Kristen hanya dapat kita pahami dengan benar apabila kita menjadikan ajaran tentang Yesus Kristus sebagai teropong.
          Kita katakan demikian karena alasan berikut.  Dalam Yesus Kristus, kata Emil Brunner, kita dibawa ke dalam pengenalan terhadap diri Allah sendiri di dalam kekekalan (Deus is se, imanen trinity). Pengenalan ini dengan sendirinya membuat kita juga mengenal Allah di dalam karyaNya (Deus pro nobis: economic trinity) seperti yang nyata dalam waktu.[28] Ini dikarenakan, Allah dalam waktu berkoresponden dengan Allah dalam diriNya. Diri dan karya Yesus Kristus memperlihatkan kepada kita siapa dan apa yang Allah kerjakan. Di dalam diri Yesus Kristus Allah membuka diri lebar-lebar dan secara utuh kepada manusia untuk dikenal. Pauluslah yang mengatakan: “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia” (Kol. 1:19).
          Dengan demikian, untuk mengenal siapa dan apa yang dikerjakan Allah kita tidak dapat mengambil jalan lain kecuali melalui Yesus Kristus (Yoh. 14:6).  Barth berkata: “Yesus Kristus adalah penyingkapan diri Allah.” Sedangkan Emil Brunner menegaskan: “Kalau kita bertanya, siapakah Allah Tritunggal itu? Jawabannya adalah: Yesus Kristus.[29]
          Yesus Kristus menunjukkan kepada kita siapa sesungguhnya Allah Tritunggal. Lewat penyataan diri di dalam Yesus Kristus, Allah yang semula adalah Tuhan yang tersembunyi, deus absconditus telah menjadi Tuhan yang dikenal, deus revelatus. Allah tidak sekedar menjadi Tuhan di atas kita (deus absconditus), melainkan ada sebagai Tuhan di antara kita (deus extra nos). Bahkan lebih jauh lagi, Ia menjadi Tuhan di dalam kita (deus in nobis).
          Jika demikian, tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa corak ragam yang dikerjakan Allah pada gereja yang adalah kain tenun miliknya adalah corak ragam Yesus Kristus. Kristologi adalah motif yang dikerjakan oleh Allah pada kain tenun. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulus dalam Kolose 1: 15. Di situ ia katakan: “Ia (Yesus Kristus) adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Allah membentuk motif ini pada kain tenun milikNya untuk memperkenalkan kepada dunia siapa diriNya serta apa yang menjadi kehendak Allah sejak kekal.

2.10 Tiga korespondensi kristologi
          Nyatalah sekarang bahwa kristologi merupakan motif yang melaluinya kita mengenal siapa Allah dan apa rencananya yang tidak berubah itu. Ini jatuh sama dengan karakter pertama dari kain tenun  perempuan-perempuan NTT seperti yang sudah kita catat. Menegaskan ini bukan berarti saya hendak mengatakan bahwa Allah bekerja menurut pola para perempuan di NTT. Tidak. Yang terjadi adalah kebalikannya. Perempuan-perempuan NTT lah yang meniru Allah dalam mengukir motif-motif di atas kain tenun milik mereka. Waktu dalam kandungan ibu mereka menerima pengajaran Allah tentang seluk beluk menenun. Apa yang mereka lakukan ketika mereka lahir adalah mengingat kembali pengajaran yang mereka peroleh.
          Jika demikian, seperti apakah Allah yang memperkenalkan diri kepada melalui Yesus Kristus? Alkitab mengatakan bahwa Allah yang menghampiri kita dalam Yesus adalah Tuhan yang berkasih karunia. Emil Brunner menggunakan istilah “Tuhan yang berpaling kepada manusia.”[30] Allah tidak menolak dan membenci manusia, sekalipun manusia membenci dan menolak Allah. Ia adalah Tuhan yang merangkul dan mengasihi manusia. rangkulanNya mendatangkan hidup, sumber damai sejahtera dan keadilan. Ini disebabkan karena dalam diriNya sendiri Allah adalah Tuhan yang terbuka kepada sesuatu yang lain di dalam diriNya.
          Selanjutnya, dalam Yesus Kristus kita kenal Allah sebagai Tuhan yang satu, tetapi dalam diriNya ada kejamakan. Ia adalah Allah Tritunggal: Bapa Anak dan Roh Kudus. Allah di dalam Yesus Kristus bukan Tuhan yang membenci dan menolak pluralitas, melainkan ia adalah Tuhan yang menghendaki adanya keanekaragaman. Kalau manusia cenderung menjadikan pluralitas sebagai pokok konflik dan permusuhan, Allah justru memadukan kejamakan yang ada. Pluralitas itu diikat-satukan menjadi satu konstruksi yang kompak utuh dan harmonis.
          Erat berkaitan dengan pokok di atas kita patut mencatat sifat dinamis dan inklusif atau integratif. Sifat-sifat ini digambarkan Paulus dalam surat Efesus 2:13-19. di situ ia menulis: “Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu yang dahulu “jauh” sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus. Sifat dinamis dan inklusif atau integratif yang ada dalam diri dan pelayanan Yesus adalah gambaran dari sifat dinamis dan inklusif atau integratif yang ada dalam Allah. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Yesus: “… Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:45). Selanjutnya sifat dinamis dan inklusif atau integratif dari kain tenun para perempuan NTT adalah pantulan dari sifat dinamis dan inklusif atau integratif  yang ada dalam diri dan karya Yesus. Itu sebabnya kain tenun perempuan-perempuan NTT penuh dengan pesan-pesan spiritual yang berkorespondensi dengan pesan-pesan spiritual dalam hidup dan ajaran Yesus Kristus.
          Sifat dinamis dan inklusif atau integratif dari motif kristologi pada kain tenun milik Allah sudah dikenal oleh para bapak gereja di abad pertama. Itu sebabnya mereka tidak segan-segan memberi kwalifikasi “am” kepada gereja (catholical ecclesiam) untuk menggambarkan sifat universal dan keterbukaan gereja untuk semua orang tanpa membedakan seks, suku, bahasa, kebangsaan, idiologi dan waktu hidup.
          Mengenai karakter kedua, yakni makna sakramental dari motif-motif kain tenun perempuan-perempuan NTT, kita juga dapat katakan bahwa hal itu berkorespondensi dengan motif kristologi. Dalam korespondensi ini kristologi berfungsi sebagai pola dasar sedangkan motif-motif yang dikembangkan para perempuan NTT merupakan pola tiruan atau rekaan. Kita dapat katakan bahwa dalam menenun para perempuan NTT sedang melakukan apa yang dalam dogma Kristen klasik disebut imitatio Christi. Apa dasarnya?
          Yesus Kristus, sebagaimana isi kesaksian Alkitab, adalah nama yang di dalamnya tersimpul semua misteri dan makna dari seluruh kenyataan, baik yang kelihatan maupun tidak kelihatan (Kol. 1:15-18). Ia adalah satu pribadi. Tetapi di dalam pribadi yang satu itu mewakili seluruh ciptaan. Ia adalah yang sulung dari semua yang ada. Segala sesuatu yang ada setelah Dia diciptakan oleh dan dalam namaNya. Dalam surat Filipi Paulus menyebut nama Yesus Kristus sebagai nama di atas segala nama (Fil. 2:9). Dalam arti bahwa nama-nama yang lain ada karena Dia dan nama-nama itu hanya memiliki makna jika mereka dicangkokan pada namaNya. “Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa.” Jelas di sini bahwa Yesus Kristus ada bukan untuk diriNya sendiri. Ia memberi kesaksian tentang sang Bapa.
          Nyatalah sudah bahwa kristologi bukanlah motif yang ada untuk diri sendiri. Ia adalah motif yang membawa pikiran, hati dan iman kita untuk menyelami misteri kasih dan kemurahan Allah kepada manusia dan dunia baik untuk masa kini (karakter historis) maupun untuk masa depan (karakter eskatologis). Kalau para perempuan NTT selalu menghias motif pokok dengan motif-motif pendukung untuk memperindah keseluruhan tenunan, Allah juga melakukan hal yang sama. Yesus Kristus adalah figur pokok dan di sekitar serta dari Dia terdapat berbagai figur lain. Karl Barth mengambarkan relasi antara Yesus Kristus sebagai motif sentral dengan motif-motif pendukung dalam satu konstruksi tiga dimensi simetris yang sangat memukau.[31] Yesus ada sebagai titik api dari prisma berdimensi tiga. Dari situ perhatian kita ditarik untuk mengerti waktu hidup manusia: masa lalu, masa kini dan masa depan. Bukan hanya makna sejarah saja yang disingkapkan bagi kita oleh Yesus Kristus. Kita bahkan diizinkan juga untuk mengerti masa sebelum sejarah ada dan sesudah sejarah berhenti ada. Dari titik yang sama kita kenal tiga karya Allah dalam sejarah: penciptaan, pendamaian dan penebusan. Apa yang Allah lakukan ini ternyata bukan pekerjaan yang kebetulan. Hal itu sudah diputuskan oleh Allah sejak kekal. Dengan melihat pada Kristus kita juga mengerti karya penebusan yang berdimensi tiga: karya Kristus sebagai raja, nabi dan iman. Ketiganya melahirkan gereja yang juga memiliki tiga dimensi: disatukan, dibangun dan diutus. Dari sini kita juga menjadi sadar akan karya rangkap tiga dari Allah dalam gereja: pembenaran, pengudusan dan penugasan. Akibatnya kita kenal tiga watak dosa: kesombongan, kelambanan dan kepalsuan sebagai bentuk hidup yang sedang berlalu. Pada saat yang sama kita juga kenal tiga watak dari kehidupan yang sejati: iman, kasih dan pengharapan sebagai bentuk hidup yang sedang datang. [32]
          Tentang karakter eskatologis, meskipun sudah kita singgung di atas, tapi baiklah kita catat satu poin secara khusus. Dari sudut pandang kristologi, kehidupan di masa depan dapat kita pahami dalam ketegangan yang saling melengkapi. Kehidupan yang baru itu sudah datang secara sempurna tetapi belum final. Antara kehidupan masa kini dan masa yang akan datang ada kontinutas sekaligus diskontinutas. Apa yang sekarang kita alami bersama dan di dalam Kristus akan kita alami juga di dalam hidup yang baru di balik kematian. Karena itu tanda atau gambar Kristus yang kita terima saat ini berguna bukan hanya untuk hidup masa kini, tetapi juga untuk hidup di masa depan. Paulus menegaskan hal ini dengan sangat jelas: “Dengan demikian, kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh Baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom. 6: 4). Serentak dengan ini patut kita tambahkan bahwa kemuliaan yang kelak kita alami di dalam dan bersama Kristus di balik kematian tidak dapat dibandingkan dengan penderitaan zaman sekarang ini. Lagi-lagi Paulus menunjukan itu bagi kita, katanya: “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.”
          Gambar Kristus yang Allah tenun dalam hidup kita selaku anggota gereja adalah jaminan bahwa nanti, pada waktu Allah mengakhiri karya keselamatanNya dalam sejarah, kita akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. Gambar itu diukir Allah dengan kiasan baptisan (I Pet. 3:21). Ia merupakan tanda pengenal, uang muka (arrabon), untuk pengangkatan kita sebagai anak, serta diundang masuk dalam tempat perhentian yang kekal, rumah Bapa (Rom. 8: 23)..
          Hal ini juga digambarkan kembali oleh perempuan-perempuan NTT dalam motif dan corak ragam yang mereka rekayasa pada kain tenun mereka. Seperti sudah kita catat, motif-motif itu berguna sebagai tanda pengenal untuk diizinkan masuk ke dunia para arwah, dikumpulkan bersama para leluhur yang sudah meninggal dunia. Di sini kita temukan sekali lagi, prinsip korespondensi antara fungsi motif tenun ikat dan iman kepada Kristus.
          Kita lihat bahwa kristologi ternyata bukan motif yang tertutup dan eksklusif.[33] Ia adalah motif yang oleh Den Dulk digambarkan sebagai sebuah gelombang yang terus bergerak dan bersifat merangkul.[34] Ia menyatukan motif-motif lain sehingga lahirlah sebuah konstruksi yang utuh, kompak dan multidimensional. Allah sudah membisikan hal-hal ini kepada para penenun di NTT ketika ia membentuk mereka dalam kandungan ibu. Perempuan-perempuan NTT kembali menuangkan pengetahuan yang mereka peroleh itu pada tiap helai benang yang mereka tenun jadi satu. Perempuan-perempuan NTT berpartisipasi dalam karya Allah saat mereka menenun sebuah selimut bermotif.

Bagian keempat:
Manfaat metafora Gereja sebagai kain tenun bagi masyarakat di NTT

          Ada beberapa manfaat positif yang dapat kita ambil dari pemahaman tentang gereja dengan menggunakan metafora kain tenun. Manfaat itu kita bagi atas beberapa pokok: ekologis, eklesiologis (doktrinal), dan eskatologis. Untuk jelasnya kita bicarakan satu persatu.

2.11 Manfaat ekologis.
          Mengerjakan sebuah kain tenun tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan untuk memelihara alam. Bahan-bahan baku untuk menenun, baik itu benang maupun zat warna, semuanya berasal dari lingkungan hidup di mana pekerjaan itu dilaksanakan. Pemeliharaan budaya tenun ada hubungan dengan pemeliharaan pohon-pohon dan lingkungan alam. Dalam membuka kebun baru, para petani tidak akan memusnahkan pepohonan yang diperlukan untuk proses menenun. Sebaliknya, sambil menanam jagung, ubi dan tanaman pangan lain, mereka juga membudidayakan tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi pekerjaan menenun.
          Dengan menggunakan pekerjaan menenun sebagai metafora untuk menjelaskan kehidupan bergereja, akan terbuka pintu bagi kita untuk berdiskusi tentang perlunya pelestarian alam dan berekonomi dengan prinsip ramah terhadap ekologi. Dengan kata lain, dalam metafora gereja sebagai kain tenun Allah, terkandung pesan ekologis yang sangat kuat.

2.12 Manfaat eklesiologis
a. Wajah feminin gereja
          Metafora gereja sebagai “kain tenun milik Allah” mengajak kita untuk menampilkan pola hidup eklesiologis yang lebih berwajah feminin. Hal ini disebabkan karena pekerjaan menenun adalah ketrampilan yang khusus dimiliki oleh perempuan-perempuan NTT. Pada saat kita bicara tentang Allah sebagai seorang penenun, yang muncul dalam pikiran kita tentulah Allah sebagai perempuan. Selanjutnya, kita tahu dari Alkitab, bahwa dalam mengusahakan keselamatan dunia, Allah tidak pernah mau bekerja sendiri. Ia selalu melibatkan sebanyak mungkin orang dan memanfaatkan sebanyak mungkin karunia. Kalau konsep ini kita terapkan dalam masyarakat NTT yang secara adat mengenal adanya pembagian kerja secara seksual, maka tentulah orang-orang yang diangkat Allah menjadi kawan-kawan kerjaNya adalah perempuan-perempuan. Dalam masyarakat adat NTT adalah tidak wajar seorang perempuan mengangkat seorang laki-laki sebagai rekan kerja.
          Pekerjaan menenun adalah karunia khusus bagi perempuan. Kalau kita menggunakan kain tenun sebagai metafora untuk gereja, maka dengan sendirinya para pekerja dalam gereja adalah perempuan-perempuan. Ungkapan “perempuan” yang kita pakai di sini bukan pertama-tama pengertian harafiah tetapi simbolis. Gereja dibangun dan diurus oleh perempuan-perempuan yang dijadikan oleh Allah sebagai kawan-kawan kerja. Apakah sesungguhnya arti kata perempuan?
          “Perempuan” berasal dari kata “empu” artinya “yang berkuasa.”[35] Di kalangan suku atoni perempuan disapa bife  yang berarti “dia yang memberi.”[36] Dalam mitos-mitos dan cerita rakyat yang beredar di kalangan suku Atoni disebutkan bahwa perempuan memberi hidupnya secara sukarela untuk mempertahankan kehidupan manusia. Itu umpamanya nampak dalam mitos asal usul padi dan jangung. Menurut yang empunya cerita dua jenis makanan pokok suku Atoni ini berasal dari seorang perempuan yang bersedia dibunuh dan tubuhnya dipotong-potong untuk kemudian ditaburkan di ladang. Dari potongan tubuh itu tumbuh pelbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan, termasuk padi dan jagung.[37]
            Dari tuturan ini terkesan kuat bahwa cara perempuan memperoleh, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membela dan menyelamatkan kehidupan dalam satu masyarakat. Kesimpulan ini sejiwa dengan peranan perempuan-perempuan dalam kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat seperti yang saya baca dalam tuturan kitab suci orang Kristen (Alkitab), terutama di sekitar peristiwa keluaran (exodus) bangsa Israel dari Mesir. Perkenankan saya menyebut Sifra dan Pua. Keduanya adalah bidan melahirkan berkebangsaan Mesir. Raja mereka, Firaun, mengeluarkan dekrit: setiap ibu Yahudi yang melahirkan anak laki-laki hendaklah dicekik sampai mati lalu mayatnya dibuang ke sungai Nil. Sifra dan Pua mendapat komando dari baginda raja untuk mengamankan dekrit itu. Firaun memerintahkan kematian setiap anak lelaki Yahudi. Dua perempuan ini tidak tega. Meskipun berkebangsaan Mesir, mereka merasa diri bukan agen kematian. Mereka menolak taat kepada titah sang raja. Mereka menggunakan kuasa dan otoritas yang dikaruniakan dari atas pada mereka untuk menyelamatkan kehidupan bayi laki-laki Yahudi. Resikonya sangat besar karena melawan dekrit penguasa negeri itu. Tetapi dua perempuan ini tidak takut.
            Ada kontras yang luar biasa antara cara Firaun memperoleh, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan. Firaun, laki-laki itu, mempertahankan kekuasaan dengan cara melenyapkan orang-orang yang bakal tampil sebagai saingan, persis sama dengan seorang laki-laki lain dalam PB, Herodes. Firaun mempertahankan kekuasaan dengan jalan menyingkirkan atau mem-persona-non-grata-kan orang lain. Sedangkan perempuan-perempuan tadi justru bertindak sebaliknya. Mereka berusaha mempertahankan kehidupan, menyelamatkan orang-orang dari kebinasaan. Perempuan adalah orang yang memberi diri  dan apa yang mereka miliki bagi kehidupan yang damai.[38]
          Allah adalah seorang penenun. Gereja adalah karya tenunan milikNya. Orang-orang yang ia panggil menjadi kawan kerja adalah perempuan-perempuan. Gereja karena itu adalah karya perempuan-perempuan. Lagi pula, dalam Alkitab gereja bahkan disebut sebagai mempelai perempuan (Wah. 19:21). Apa artinya bagi kita? Artinya, dalam kehidupan bergereja para pekerja perlu sadar bahwa mereka adalah perempuan-perempuan. Memang para pekerja itu ada (kebanyakan) yang berjenis kelamin laki-laki. Tetapi mereka disebut mempelai perempuan. Artinya, mereka wajib membangun gereja dan membina persekutuan menurut spiritualitas yang dimiliki perempuan.
          Perpecahan, konflik dan berbagai kemelut yang terjadi dalam gereja sering kali muncul karena para pekerja dalam gereja lebih bermentalitas algojo, bertindak seperti meo (panglima perang), dan berakting sebagai sang penakluk dalam gereja. Untuk ini saya mencatat secara khusus banyak ekses yang timbul dalam kalangan kelompok doa di wilayah GMIT. Praktek-praktek pelayanan berkarakter algojo yang mereka terapkan sudah menimbulkan banyak keresahan. Apakah gaya algojo dan berperilaku meo memiliki tempat dalam gereja?          Metafora gereja sebagai “kain tenunan milik Allah” mendorong kita untuk meninggalkan mentalitas meo dan pelayanan bergaya algojo, yang gemar melakukan terror, suka menciptakann horror, dan mulai membudayakan spiritualitas bife, sang pembela kehidupan, perancang persekutuan dan agen damai sejahtera dalam jemaat dan dalam dunia milik Allah. Ya. Karena gereja adalah mempelai perempuan. Bahkan lebih dari itu Allah sang penenunnya adalah pribadi yang berkasih-karunia.

b. Gereja sebagai persekutuan ex-centric
          Metafora gereja sebagai “kain tenun Allah” menolong kita untuk lebih memahami gereja dalam fungsinya untuk dunia. Gereja ada untuk melayani Allah. Tetapi karena Allah adalah “Tuhan yang berpaling kepada manusia,” gereja yang benar-benar ada untuk Allah haruslah menjadi gereja yang ada untuk sesama, untuk orang lain, the church for others.[39] “Gereja ada untuk Allah dan untuk dunia, bukan untuk diri sendiri.” Begitulah isi pengakuan iman GMIT.[40] Tuhan Allah menetapkan gereja dalam rangka keselamatan dunia. Damai sejahtera yang diberikan kepada gereja, bukan untuk dirinya sendiri. Motif kristologi yang Allah rajut dalam kain tenun miliknya dimaksud untuk memberikan sukacita dan penghiburan serta pokok keselamatan dunia. Motif itu bukan hanya untuk dinikmati sendiri oleh gereja. Yesus Kristus harus diwartakan dan diproklamasikan gereja kepada dunia, supaya dunia yang hidup dalam keputus-asaan dan kematian boleh melihat kepada Dia dan menjadikan Dia harapan mereka.
          Di NTT seperti sudah kita catat, perempuan-perempuan menenun bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan privat. Kain tenun juga berfungsi sebagai perekat ikatan kekerabatan dan ungkapan kasih dari pemiliknya kepada sesamanya. Tukar-menukar cinderamata yang paling biasa menurut adat masyarakat NTT adalah dengan kain tenun. Jes A. Therik mengatakan bahwa bila orang kebanyakan selalu mengatakan cinta dengan bunga, di pulau Timor, Flores, Sumba dan sekitarnya penduduknya selalu mengatakan cinta dengan tenunan.[41] Jelasnya kain tenun dikerjakan dengan maksud melayani masyarakat dan sesama.
          Dengan metafora gereja sebagai kain tenun milik Allah jemaat-jemaat dapat dituntun untuk lebih memahami fungsi sebagai pewarta damai sejahtera dalam masyarakat. Dalam laporan hasil konferensi evangelisasi dari gereja-gereja di Eropa dan Amerika yang diselenggarakan oleh World Council of Churches tanggal 22-26 Agustus 1966 di Boldern, Männendorf ditegaskan bahwa dalam masyarakat masa kini gereja perlu memikirkan kembali (reconsider) relesinya dengan dunia. Sikap memusuhi dunia, seperti yang dianut dalam pandangan antitese, tidak lagi dapat dipertahankan. Sikap antitese terhadap dunia harus diganti dengan sikap totalitas. [42] Ada dua rekomendasi yang mereka ajukan.
          Pertama, perlu dipertimbangkan kembali urutan klasik tentang interaksi antara Allah dan dunia. Menurut urutan (orde) itu gereja ada sebagai perantara antara Allah dan dunia. Jelasnya kita kenal urutan berikut: Allah – gereja – dunia. Di sini ditekankan bahwa hubungan Allah dengan gereja adalah primer, sedangkan dengan dunia sifatnya sekunder. Artinya, Allah membutuhkan gereja untuk dapat datang ke dalam dunia, dan sebaliknya.[43]
          Para peserta konferensi percaya bahwa orde in perlu ditambahkan dengan orde alternatif kita tidak dapat sekedar bicara tentang Allah – gereja – dunia, tapi juga perlu berpikir tentang Allah – dunia – gereja. Hubungan Allah dan dunia juga bersifat primer. Ini juga kata Alkitab. Yang jadi sasaran kasih Allah adalah dunia.[44] Gereja ada sebagai instrumen agar kasih itu dapat dirasakan. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal… (Yoh. 3:16). Allah mengutus AnakNya bukan untuk menghukum atau mengutuk dunia, tetapi untuk menyelamatkannya. Menurut Paulus, di dalam Kristus Allah mendamaikan dunia dengan diriNya (II Kor. 5:19). Gereja tidak disebut-sebut. Hubungan Allah dengan gereja bersifat sekunder, sedangkan dengan dunia bersifat primer.[45]
          Orde alternatif ini juga keprihatinan GMIT seperti tertuang dalam pokok-pokok pikiran tentang Pengakuan dan Pengajaran GMIT tahun 2003-2007. Di bawah pokok tentang Gereja (eklesiologi GMIT) tertulis: “Karena Tuhan Allah menghendaki keselamatan dunia, maka ia menciptakan Gereja. Gereja ada karena Allah mengasihi dunia, bukan sebaliknya. Gereja karena itu tidak boleh dan bisa berkata: “Untung saja ada gereja kalau tidak dunia sudah binasa.” Yang seharusnya gereja katakana ialah: “Untung saja ada dunia, kalau tidak gereja tidak mungkin ada. Kalau begitu maka gereja sangat berhutang budi kepada dunia. Ia karena itu harus menyatakan terima kasih dan hormatnya pada dunia dengan cara bekerja bagi kebaikan dan keselamatan dunia. Gereja ada dalam dunia tidak lebih dari “panitia” khusus yang dibentuk Allah dalam rangka mendatangkan keselamatan bagi dunia.[46]
          Orde ini juga nyata kalau kita bicara tentang gereja sebagai “kain tenun Allah”. Allah membentuk motif kristologi pada kain tenun miliknya untuk memberitahukan besarnya kasih yang ada padaNya kepada dunia. Allah membentuk kain tenun milikNya untuk diberikan kepada dunia menjadi bukti kasih kepada dunia.
          Kedua, peserta konferensi mendesak agar pemahaman klasik tentang gereja sebagai “waiting chuches” (gereja yang tinggal di tempat dan menanti manusia datang kepada Allah) perlu diganti dengan “going churches”, gereja yang harus pergi kepada orang-orang di tempat yang jauh, menjumpai manusia yang ada dalam kesibukan. Para peserta konferensi menyebut pemahaman baru ini dengan istilah “ex-centric position of the church.”[47] Waktu membaca rekomendasi ini saya teringat kiriman kain tenun dari calon suami sepupu perempuan saya. Dengan selimut itu ia mengirim pesan kasih kepada saya. Sekalipun saya terlalu sibuk sehingga tidak silaturahmi keluarga, dia tidak melupakan saya.
          Kalau gereja, termasuk yang ada di NTT, menyadari diri sebagai “persekutuan yang pergi” kepada orang-orang yang asyik dalam kesibukan masing-masing, atau yang terperangkap dalam kegelapan dan dosa, pergi bukan sebagai meo untuk membawa terror dan menyebar horror, tetapi menjumpai mereka sebagai bife yang memberi kehidupan, terang dan kesejukan, cerita kehidupan bersama di NTT akan memiliki wajah yang lain dari keadaan yang terjadi saat ini.
          Tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa inilah juga cita-cita yang hendak diraih GMIT dengan menjadikan “jemaat misioner” (persekutuan yang diutus) sebagai visi dan misi pelayanannya di tengah masyarakat NTT.

2.13 Manfaat eskatologis
          Metafora gereja sebagai “kain tenun” Allah dengan motif Kristologi memiliki makna yang berharga dalam hubungan dengan ajaran Kristen tentang kehidupan di langit yang baru dan bumi yang baru.  Salah satu hal yang berhubungan dengan itu adalah soal baptisan. Kita semua tahu baptisan merupakan pokok yang hangat diperdebatkan di kalangan warga gereja termasuk di GMIT. Sudah merupakan rahasia umum tentang adanya baptisan ulang di kalangan warga gereja. Karena berpendapat bahwa baptisan percik tidak menyelamatkan meskipun dilakukan dalam nama Kristus, beberapa orang memberi diri untuk dibaptis lagi dengan cara menyelam. Di situ ia sekali lagi menerima cap Kristus. Untuk selamat orang percaya harus menerima cap Kristus dengan cara selam, bukan percik. Layak tidaknya seseorang diterima Allah dalam keselamatan bergantung pada bentuk baptisan yang dia terima. Dan untuk itu Allah lebih menyukai baptisan selam.
          Kita berhadapan dengan pertanyaan manakah bentuk baptisan yang sah dan benar dan yang menentukan orang sampai ke langit yang baru dan bumi yang baru? Untuk menjawab pertanyaan ini saya membawa perhatian pembaca kepada cara perempuan NTT menyelesaikan motif di atas sebuah kain tenun. Kita sudah sudah menyebut ada tiga metode menyelesaikan sebuah motif: futus (mengikat benang), sotis (menyisip benang), dan buna (mengait dan menyungkit benang). Motif yang dikerjakan satu dan sama, yakni yang berhubungan dengan tokoh mitologis yang dihormati dalam kepercayaan masyarakat itu.[48]
          Ada tiga metode penyelesaian motif: futus, sotis dan buna. Tapi seperti sudah kita catat, satu lembar kain dikerjakan dengan satu metode saja. Tabu bagi perempuan NTT mengerjakan sebuah motif dengan tiga metode sekaligus pada selembar kain. Jika sejak awal dikerjakan dengan cara futus  ini yang dikerjakan untuk seterusnya. Teknik ini sangat penting kita perhatikan dalam hubungan dengan soal baptisan. Kalau kita mengerti baptisan sebagai pekerjaan mengukir motif (tanda dan meterai) Kristus dalam hidup seseorang, sudah tentu percik, siram atau selam adalah metode saja. Ini dapat kita sejajarkan dengan teknik mengerjalan motif dengan cara futus, sotis dan buna. Orang yang gemar memberi diri dibaptis berulang-ulang itu ibarat ia membuat sebuah kain tenun dengan dua atau tiga metode yang berbeda. Ini sebuah kejanggalan. Bukan hanya itu, motif pada kain itu menjadi hancur. Tanpa pengenal kemargaannya rusak.
          Waktu seseorang meninggal dunia ia dimakamkan dengan kain tenun miliknya. Orang tidak mempersoalkan apakah itu yang futus, atau sotis, maupun buna. Yang penting bukan teknik mengerjakan motif pada kain tenunannya tetapi motif itu sendiri sebagai tanda pengenal kemargaan. Motif itulah yang menjadi tanda pengenal untuk diperlihatkan kepada penjaga pintu gerbang dunia para leluhur. Jika motif yang dia tunjukan dikenal, ia diizinkan masuk. Sekali lagi corak ragam gambar atau motif itu yang penting, bukan metode pembuatannya.
          Hal yang sama berlaku juga dalam hal keselamatan. Yang utama bagi keselamatan ialah bersekutu dalam Kristus, atau menjadi satu dengan Kristus. Baptisan adalah jalan menuju kesatuan dengan Kristus.[49] Dalam gereja dikenal tiga cara metode baptisan percik, siram dan selam. Yang diperlukan untuk masuk dalam keselamatan bukan metode seseorang menerima baptisan, melainkan iman kepada Allah Tritunggal di dalam Yesus Kristus yang menjadi isi dari baptisan.[50] Pada waktu kedatangan Kristus yang kedua, Allah akan menyelamatkan mereka yang telah dimeteraikan sebagai milik Kristus. Allah akan melihat motif Kristologi yang ditenun dalam hidup mereka. Apakah motif itu dikerjakan dengan cara percik, siram atau selam itu bukan soal.
          Hal ini penting untuk kita ketahui. Banyak warga GMIT memberi diri untuk dibaptis ulang dengan cara selam karena tidak puas dengan baptisan percik yang ia terima waktu masih kanak-kanak. Jika ini terjadi, itu seumpama membuat motif yang sama dengan cara ­sotis atau buna di atas motif yang sudah dibuat sebelumnya dengan cara futus. Apa hasilnya? Bisa kita bayangkan. Motif itu pasti rusak. Ia tidak lagi dapat dikenal. Ketika pemiliknya memperlihatkan motif itu kepada penjaga pintu gerbang sorga dalam perjalanannya ke rumah Bapa pada saat ia meninggal dunia, sang penjaga tidak mengenal motif itu. Besar kemungkinan ia tidak diperkenankan masuk, perhentian yang kekal yang ia mimpikan tidak menjadi bagiannya. Rohnya akan berkeliaran tidak karuan. Amatlah mengerikan menerima nasib yang demikian.


[1] Paul Michael Taylor & Lorraine V. Aragon, Beyond the Java Sea. Art of Indonesia’s Outer Islands, (Washington D.C: Harry N. Abrams INC, 1991), hlm. 201.
[2] Bernard S. Myers, Understadng the Art, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1958), hlm. 220.
[3] Jes A. Therik, Tenun Ikat dari Timur, (Jakarta: Pudtaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 18.
[4] Jes. A. Therik, Tenun Ikat…, hlm. 24.
[5] Parsudi Suparlan, “Kebudayaan Timor,” Dalam: Koentjaraningrat (Ed.), Manusia dan Kebudajaan di Indonesia, (Djakarta: Penerbit Djambatan, 1971), hlm. 213.
[6] Bandingkan Ranjini Rebera, A Search for Symbols. An Asian Experiment, (Manila: Christian Conference of Asia Women’s Concerns 1990), hlm. 2.
[7] Jes. A. Therik, Tenun Ikat…, hlm. 24.
[8] T.J. Van Oostrom Soede, Timoreesche Kains en Dooden, dalam: De Timor Bode No. 46. Februari 1920, hlm. 47.
[9] Paul Michael Taylor & Lorraine V. Aragon,  op. cit., hlm. 206.
[10] Untuk pokok ini saya persilahkan pembaca mencermati bab tentang Makna Allah dalam ike-suti dan suni-auni di bagian lain dari buku ini.
[11] H.G. Schulte Nordholt, The Political System of the Atoni of Timor, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), hlm. 42.
[12] Bdg. Juga Ir. Ansgerius Takalapeta, Membangun dari Desa Memimpin dengan Hati. Sebuah Otobiografi 1954-2003, (Jakarta: Yayasan Nuba Raja Lagadoni, 2004), hlm. 3.
[13] Vandaar: Het Tijdschrift voor missionair en diaconaal werk in binnen – en buitenland, September 2002, hlm.218
[14] Jes A. Therik, Tenun Ikat…, hlm. 31.
[15] G. Th. Therik, “Pesan Spiritual Dalam Tenunan” dalam: Berita GMIT No. 6. (Kupang: Majelis Sinode, 1990), hlm. 4.
[16] Eben Nuban Timo, “Menenun Sebagai Sebuah Karya Teologi,” dalam: Pos Kupang, 2002
[17] Paul Michael Taylor & Lorraine V. Aragon, op. cit., hlm. 202
[18] Bert en Jannie Kramer, “De Geboorte van een staat”, dalam: Vandaar: Het Tijdschrift voor missionair en diaconaal werk in binnen – en buitenland, September 2002, hlm.22.
[19] Marie Jeanne Adams, System and Meaning in East Sumba Textiel Design: A Study in Traditional Indonesian Art, 1969, hal. 88.
[20] Paul Michael Taylor & Lorraine V. Aragon, op. cit., hlm. 203.
[21] G.C. Berkouwer, Dogmatische Studiēn. De Kerk I: Eenheid en Katholocoteit, (Kampen: J.H. Kok, 1970), hlm. 50.
[22] G.C. Berkouwer, op. cit., hlm. 33.
[23] Jűrgen Moltmann, The Church in the Power of the Spirit. A Contribution to Messianic Ecclesiology, (London: SCM Press, Ltd, 1977), hlm. 19.
[24] World Council of Churches, The Church for Others. Two Reports on the Missionary Structure of the Congregation, (Geneva: World Council of Churches, 1967), hlm 16.
[25] Arnold van Gennep, The Rites of Passage, (London: routledge & Kegan Paul, 1960), hlm. 113.
[26] World Council of Churches, The Church for Others… hlm. 22.
[27] F.W. Grosheide, Korte Verklaring der Heilige Schrift Met Nieuwe Vertaling: II Korinthe, (Kampen: J.H. Kok, 1955), hlm. 45.
[28] Emil Brunner, God en Mensch, (Amsterdam: W. Ten Have, 1940), hlm. 158.
[29] Emil Brunner, God…, hlm. 159.
[30] Emil Brunner, God…, hlm. 158.
[31] J. van Genderen, “De leer van de verzoening bij Karl Barth,” dalam: A.G. Knevel (Red.), Visie op Karl Barth, (Kampen: J.H. Kok, 1987), hlm. 58.
[32] Eben Nuban Timo, The Eschatological Dimension in Karl Barth’s Thinking and Speaking about the Future, (Kampen: Drukkerij van den Berg, 2001), hlm 174.
[33] Eben Nuban Timo, The Eschatological…, hlm. 176.
[34] Maarten den Dulk, Als twee die spreken. Een manier om de heiligingsleer van Karl Barth te lezen, (‘s-Gravenhage, 1987), hlm. 171.
[35] K.A. Kapahan Kaunang, Perempuan. Pemahaman Teologis Tentang Perempuan Dalam Konteks Budaya Minahasa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. xiv.
[36] (Krayer van Aalst, “Brieven uit Kapan V, 4 Februari 1918,” dalam: De Timor Bode, 1918, hlm. 3.
[37] Eben Nuban Timo, Pemberita Firman Pencinta Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm 25.
[38] Eben Nuban Timo, “Politik Perempuan”. Dalam: Pos Kupang Sabtu 20 Maret 2004.
[39] Eben Nuban Timo, I Believe in the Holy Spirit. An Attempt to understand the Meaning of the Third Article of Christian Creed Especially Nicene-Constantinopel Creed as it is Understood by Karl Barth and its Significance for Christians in Indonesia, (Kampen: The theological University of the Reformed Churches in the Netherlands, 1997.), Magister Thesis, hlm. 48.
[40] Majelis Jemaat “Kaisarea BTN Kolhua Kupang,  Himpunan Ketetapan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor Tahun 2003.
[41] Jes. A. Therik, Tenun Ikat…, hlm. 24.
[42] Eben Nuban Timo, I Believe in the Holy Spirit…, hlm. 48..
[43] World Council of Churches, The Church for…, hlm. 16.
[44] Majelis Sinode GMIT, Haluan dan Kebijaksanaan Umum Pelayanan 2003-2007 Gereja Masehi Injili di Timor, (Kupang: Ms GMIT,. 2003), hlm. 4.
[45] World Council of Churches, The Church for…, hlm. 17.
[46] Majelis Jemaat “Kaisarea BTN Kolhua Kupang,  Himpunan…
[47] World Council of Churches, The Church for…, hlm. 17.
[48] Jes A. Therik, Tenun Ikat…, hlm. 26.
[49] Eben Nuban Timo, Baptisan Roh Menurut Alkitab, (Kupang: Yayasan Afnekan GMIT, 2003), hlm. 16.
[50] Lihat Eben Nuban Timo, Kami Membaptis Anak-Anak Dengan Memercik, (Kupang: Yayasan Afnekan, 2003).