MAKNA
ALLAH DALAM KARYA TENUN IKAT
Oleh: Pdt. Dr. E. I. Nubantimo
I. Pendahuluan: Tenun
ikat karya multi fungsi
Salah satu karunia terindah dari
Allah kepada perempuan-perempuan Nusa Tenggara Timur (selanjutnya NTT) adalah
ketrampilan menenun. Tenunan yamg dikembangkan oleh perempuan-perempuan di
kepulauan Sunda Kecil, khususnya di bidang tenun ikat merupakan seni kerajinan
memukau.[1]
Ia disebut tenun ikat karena untuk membuat corak ragam gambar yang memukau itu
perempuan-perempuan di daerah itu mengikat kumparan benang lungsin untuk
dicelupkan dalam zat warna.
Hasilnya rekayasa hiasan dengan cara
mengingat itu sangat mempesona, membangkitkan daya imaginatif serta
mengekspresikan nilai-nilai atau pesan-pesan spiritual yang kaya makna dan
referensi. Kain tenunan itu memiliki banyak manfaat. Bernard S. Myers benar
waktu mengatakan bahwa menenun adalah ketrampilan yang bermula merupakan industri
rumah tangga.[2] Meskipun
begitu kain tenun seorang perempuan NTT tidak sekedar berfungsi untuk
melindungi badan anggota keluarga dari panas dan dingin. Kain tenun memiliki
fungsi yang melampaui kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Dalam buku berjudul
“Tenun Ikat dari Timur”, Jes A. Therik mencatat delapan fungsi kain tenun atau
tekstil tradisional. Kedelapan fungsi itu adalah:[3]
- Alat pelindung badan dari panas dan
dingin serta pengaruh cuaca.
- Estetika, keindahan.
- Etika, melindungi bagian badan tertentu
agar tidak merasa malu.
- Segi sosial, prestise, susunan tingkat
masyarakat (raja, bangsawan, orang biasa dan lain-lain).
- Segi ekonomi, sebagai alat tukar.
- Fungsi budaya, dari aspek antropologis
merupakan alat penghargaan dan
pemberian perkawinan dan kematian.
- Fungsi hukum, adat/ pidana adat, denda
adat untuk mengendalikan keseimbangan sosial yang terganggu.
- Mitos, lambang suku yang diagungkan
karena menurut kepercayaan corak/desain tertentu akan melindungi mereka
dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan sebagainya.
Berikut
ini beberapa catatan tentang fungsi kain tenun seperti yang saya amati dalam
perilaku orang-orang tradisional di NTT, khususnya suku Atoni di Timor.
Pengalaman
pertama. Setiap kali berkunjung ke jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor
(selanjutnya GMIT) di pedalaman Timor dan Alor
saya selalu mendapat sambutan yang hangat. Salah satu wujud sambutan itu adalah
pengalungan selimut yang didahului oleh sambutan secara adat dalam bahasa
berpantun (natoni). Saya heran juga
dengan sambutan seperti itu. Dulu waktu masih pendeta jemaat dan staf Majelis
Sinode GMIT saya sudah sering ikut rombongan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan
Bendahara Majelis Sinode berkunjung ke tempat itu. Tetapi waktu itu saya tidak
pernah disambut secara istimewa dengan pengalungan selimut. Tapi sekarang. Waktu
saya datang sebagai pemimpin gereja saya justru diperlakukan khusus.
Pengalaman
ini membuat saya mengerti bahwa pemberian kain tenun berfungsi sebagai ungkapan
hormat dan penerimaan kepada seseorang yang datang ke satu tempat tertentu
dengan membawa misi khusus, misi kemanusiaan. Tentu saja setiap hari ada banyak
orang baru (luar) yang datang ke tempat atau jemaat itu. Tetapi sambutan dengan
pengalungan selimut tidak mereka terima. Hanya orang-orang yang datang membawa
misi khusus yang diperlakukan khusus. Menyematkan selimut di tubuh orang itu
adalah tanda bahwa masyarakat atau jemaat menyatukan dia ke dalam komunitas
hidup mereka, sekaligus ungkapan kesediaan mereka untuk menerima dan
melaksanakan pesan yang ia bawa.
Pengalaman kedua berhubungan dengan
upacara perkawinan. Sepupu perempuan saya hendak melangsungkan pernikahan. Dia tinggal dan bekerja sebagai guru di desa
Tetaf, kecamatan Amanuban Barat. Dulu, sewaktu masih sekolah dia tinggal
bersama kami. Itu berlangsung sejak SMP sampai tamat perguruan tinggi. Keluarga
mengutus seseorang dari Tetaf untuk menyampaikan berita pernikahan sekaligus
undangan untuk menghadiri resepsi. Karena sibuk dengan tugas-tugas di Kupang,
saya tidak bersempat menghadiri pesta itu. Adik laki-laki saya bersama istrinya
yang kami utus.
Waktu pulang dari acara itu adik
membawa satu lembar selimut dengan uang sebesar Rp. 20.000. Selimut dan uang
itu untuk saya. Adik bercerita bahwa bukan hanya saya saja yang memperoleh
bingkisan seperti itu. Malam itu mempelai laki-laki bersama keluarganya memberi
bingkisan yang sama kepada semua saudara dan kerabat dekat dari calon istrinya.
Keluarga suaminya mempersiapkan barang-barang itu sebagai ungkapan kasih dan
hormat kepada saudara dan kerabat dekat calon istrinya. Hal yang sama juga
dibuat oleh sepupu saya kepada saudara dan kerabat dekat calon suaminya. Ada tukar-menukar
bingkisan berisi selimut tenunan dalam jumlah yang sangat banyak. Menurut
cerita opa, selimut yang diberikan mempelai laki-laki kepada saudara dan
kerabat calon istrinya haruslah selimut yang bermotif khas milik marganya dan
haruslah ditenun oleh perempuan-perempuan dari marga itu. Hal yang sama juga
harus dibuat oleh mempelai perempuan kepada keluarga dan kerabat dekat calon suaminya.
Jes A. Therik memahami praktek tukar
menukar pemberian kain tenunan sebagai alat untuk menjaga harga diri keluarga
dan suku masing-masing.[4]
Tafsiran seperti ini ada benarnya. Tetapi ia bukan satu-satunya arti yang dapat
kita pahami. Dari pengalaman yang satu ini saya memperoleh kesan bahwa kain
tenun perempuan-perempuan NTT memiliki fungsi perekat ikatan kekeluargaan dan
kekerabatan.[5] Sepupu
saya akan menikah. Dalam tatanan adat, ia akan diboyong oleh suaminya ke dalam
persekutuan marga dan suku suaminya. Ada
anggapan bahwa hubungan kekeluargaan kami dengan sepupu sudah berakhir.
Tetapi sebenarnya tidak. Selimut
yang dia berikan kepada kami dengan motif yang khas milik marganya
memberitahukan kepada keluarga dan kerabat mempelai perempuan bahwa hubungan
kekerabatan tetap dijaga. Bahkan sekarang kekerabatan itu diperluas lagi.
Selimut itu boleh kami simpan sebagai bukti bahwa ikatan kekeluargaan antara
kami dan sepupu serta keluarga suaminya mengalami perluasan. Pesan yang sama
juga terkadung dalam parktek pemberian kain tenun dari mempelai perempuan
kepada keluarga dan kerabat suaminya.[6]
Tukar menukar kain tenun bermotif khas milik marga dalam upacara perkawinan
sama dengan menganggap si penerima selimut sebagai keluarga dan kerabat
sendiri. Si penerima selimut bukan lagi outsiders
melainkan tergolong pada insiders.
Pengalaman
ketiga. Kain tenun juga mempunyai fungsi dalam hubungan dengan peristiwa
kematian. Jes A. Therik menulis sebagai berikut: “Pernyataan simpati dan turut
berduka cita bagi keluarga yang meninggal diungkapkan dengan pemberian tenunan.
Dibanding dengan kartu ucapan dukacita dan karangan bunga dalam masyarakat
modern dewasa ini, pemberian kain tenun lebih menyentuh hati nurani bagi
penerimannya karena pemberian ini mengandung arti simbolis sebagai pernyataan
penghiburan dan penghapusan air mata yang berduka.”[7]
Saya kira
pernyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Meskipun begitu saya ingin
menyodorkan praktek suku Atoni yang
berhubungan dengan kain tenun dan kematian. Dalam salah satu karangannya, T.J.
Van Oostrom Soede menulis sebagai berikut: “Orang Timor menguburkan mayat
saudaranya bersama dengan selimut miliknya. Si mati tidak hanya dimakamkan
dengan satu lembar kain tenun tetapi bersama semua kain, selimut, sarung dan
barang-barang kesayangan milik si mati. Pada orang-orang kaya dan pemuka
masyarakat tentu saja makin banyak kain. Makin kaya dan terkemukan makin banyak
kain dan selimut yang dimakamkan bersama dengan dia. Sekalipun dia memiliki
puluhan kain yang berharga dan masih baru, kain-kain itu harus ikut dimasukan
dalam kuburan. Waktu seorang saudara dari raja Amarasi meninggal dunia, dia
dimakamkan bersama dengan delapan puluh lembar kain tenun.”[8]
Si mati
dimakamkan bersama kain selimut miliknya dan juga pemberian keluarga. Kenyataan
ini tidak hanya berlaku di kalangan suku atoni.
Di Sumba sebagaimana yang dilaporkan
Paul Michael Taylor, Cs, praktek serupa juga dikenal.[9]
Ini menunjukan bahwa orang NTT percaya bahwa ada hidup sesudah mati. Si mati
memerlukan barang-barang miliknya di tempat yang baru yang akan didatanginya
setelah ia meninggalkan dunia ini.
Dari
pengalaman ini kita lihat bahwa kain tenun perempuan-perempuan NTT tidak hanya
memiliki fungsi dan nilai dalam dunia kini dan di sini, tetapi kain tenun juga
punya nilai untuk hidup di dunia akhirat, bagi orang yang sudah meninggal
dunia.[10]
Apa tepatnya fungsi kain di dunia akhirat? Ini perlu studi dan penelitian
khusus. Tulisan ini tidak memiliki kompotensi untuk menggarap pokok tersbut,
Apa yang
saya hendak kemukakan dalam tulisan ini adalah mengajak saudara-saudara
mencermati makna kain tenunan bagi iman kita kepada Allah di dalam Yesus
Kristus. Dengan kata lain melalui tulisan ini saya ingin menyodorkan kepada
pembaca bahwa ada banyak pesan dalam kain tenun perempuan-perempuan NTT yang
dapat kita pakai untuk menghayati iman kepada Kristus sekaligus
mengkomunikasikan iman itu secara lebih bermakna dan komunikatif.
II.
Sistematika penulisan
Untuk
maksud ini tulisan ini akan saya bagi dalam empat bagian. Pada bagian pertama kita akan mendalami
secara rinci dan detail proses pembuatan kain tenun tradisional. Selanjutnya,
pada bagian kedua perhatikan akan
kita fokuskan pada corak ragam atau rekayasa hiasan (motif) dalam sebuah karya
tenun ikat. Pada bagian ketiga saya
akan mengajak saudara-saudara memaknai pesan-pesan etis, moral dan spiritual
dari keseluruhan bahan dalam dua bagian terdahulu bagi percakapan yang lebih
bermakna dan komunikatif mengenai penghayatan iman dan kehidupan bergereja
dalam konteks NTT. Kita akan coba menemukan sebuah metafora baru bagi kehidupan
bergereja yang diangkat dari pengalaman dan pesan-pesan etis, moral dan
spiritual dalam karya tenun ikat. Bagian
keempat, yaitu penutup, kita pakai untuk merenungkan sumbangsih positif
yang dapat kita peroleh dari metafora baru yang kita temukan dari pengalaman
menenun perempuan-perempuan NTT.
Bagian Pertama:
Proses Mengerjakan Tenun Ikat
2.1 Membuat
benang dari kapas
Proses mempersiapkan selembar kain
tenun dimulai dengan menyiapkan benang. Perempuan suku atoni di pulau Timor hanya
mengenal satu bahan dasar bagi pembuatan kain tenun, yaitu kapas.[11]
Di desa-desa pekerjaan mempersiapkan
benang, mengatur lungsin, mengikat motif (gambar hias) mewarna sampai dengan
menenun dikerjakan seluruhnya oleh perempuan. Perempuan-perempuan suku atoni adalah seniman-seniman alam. Ada banyak perempuan atoni yang mengkhususkan diri pada
keahlian membuat benang, atau mengikat motif atau mencelup. Menenun merupakan
ketrampilan yang dimiliki oleh hampir setiap perempuan remaja sampai dewasa.
Mereka mewarisi ketrampilan itu dengan cara belajar, mengamati bahkan
berpraktek di bawah bimbingan ibu atau kerabat perempuan. Ketrampilan menenun
adalah wajib dikuasai oleh perempuan-perempuan atoni. Mereka baru dianggap dewasa oleh masyarakat dan memperoleh
restu keluarga untuk menikah dan membentuk rumah tangga jika mereka sudah mahir
menenun.[12]
Tapi untuk sampai pada tahap ini
seorang perempuan harus memiliki benang. Proses pembuatan benang adalah sebagai
berikut: kapas yang ditanam di antara jagung dan ibu dipetik. Setelah dijemur
beberapa hari kapas dilepaskan dari bijinya. Pekerjaan ini disebut nabnin sesuai dengan nama alat bantuk
yang dipakai, bninis. Selanjutnya
kumparan-kumparan kapas itu diperhalus menjadi sebuah gulungan. Pekerjaan ini
dilakukan dengan alat berbentuk busur. Perempuan-perempuan atoni menamakan alat itu sifo,
sedangkan pekerjaan itu na siof abas.
Jika tahap pertama sudah selesai,
mulailah tahap membuat benang, na’ sun
abas. Perempuan atoni tidak
mengenal alat pembuat benang berbentuk roda seperti yang biasa dipakai oleh
suku-suku di Indonesia bagian barat dan di Flores Barat. Alat yang mereka pakai
untuk mengubah kapas menjadi benang bernama ike-suti.
Untuk memperoleh benang dalam jumlah yang cukup bagi pembuatan sebuah selimut
atau sarung besar dibutuhkan waktu kira-kira dua bulan. Di desa-desa
kadang-kadang perempuan-perempuan membuat benang dengan bantuan ike-suti saat dalam perjalanan ke pasar
atau kebun. Tentu saja sambil membawa barang-barang yang dijujung di kepala.
Gambaran ini memperlihatkan profil perempuan atoni sebagai pekerja-pekerja yang ulet. Sehubungan dengan ini saya
ingat sebuah pantun dari Pantai Gading (Afrika) yang dengan tepat melukiskan
kenyaan ini: “Ibu berkata bahwa ia berbaring di tempat tidur, tetapi
kakinya selalu tergantung. Artinya, ibu tak kenal istrahat. Ia selalu bekerja
untuk hidup keluarga, suami dan anak-anaknya.[13]
2.2 Teknik merekayasa motif
Segera setelah tersedia
cukup benang pekerjaan menenun sudah dapat dimulai. Untuk mengenal lebih jauh
tahap ini kita perlu lebih dahulu mengenai peralatan-peralatan tenun yang
diperlukan. Mula-mula perempuan-perempuan atoni
membentangkan benang secara berjejer di atas dua buah balok atau bambu. Panjang
rentangan benang antara 1,5 – 2 meter dengan lebar 50 – 60 cm. Panjang
bentangan itu kemudian dilipat dua untuk keperluan membuat motif ikat. Ini
disebabkan karena motif dalam satu selimut biasanya dibuat simetris antara
ujung atas dan bawah serta bagian kiri dan kanan. Ada sekitar 1000 – 1500 baris
benang yang dibentangkan di atas alat bernama loki’.
Teknik merekayasa motif
dalam tenun ikat dimulai dengan menggambarkan keseluruhan struktur penempatan
gambar dalam ingatan, kemudian diterapkan dalam wujud nyata, yakni dalam proses
mengikat benang dalam kumparan-kumparan sebanyak jumlah yang dibutuhkan untuk
satu buah selimut atau sarung kecil atau besar. Jadi motif atau hiasan
tersimpan di kepala dan dalam hati pembuatnya. Perempuan NTT membuktikan diri
di sini sebagai yang memiliki daya ingat sekaligus kemampuan imaginatif dan kreatif
yang dapat diandalkan.
Motif yang ada dalam kalbu
itu sekarang siap untuk diukir di atas benang. Pada waktu dulu penenun mengikat
benang dengan tali yang diperoleh dari serat daun gebang (kufa tali heknat). Belakangan ini sebagian besar perempuan atoni sudah menggunakan tali raphia. Ini
lebih mudah karena tali ini memiliki banyak warna sehingga penenun bisa
membedakan motif utama dari variasi atau motif pendukung dengan menggunakan
warna tali yang berbeda.
2.3 Mencelup
Tahap mengikat disusul
dengan mencelup benang. Tahap ini berlangsung satu atau dua bulan bergantung
dari kombinasi serta kualitas warna. Dulu, zat pewarna juga diramu sendiri oleh
penenun atau oleh perempuan-perempuan yang mengkhususkan diri untuk keahlian
ini. Zat pewarna diperoleh dari bahan-bahan yang tersedia di dalam alam,
seperti dari kunyit, akar mengkudu, daun pepaya dan tumbuh-tumbuhan lokal
lainnya. Keahlian perempuan NTT dalam meramu dan menghasilkan warna juga patut
diberi jempol. Dalam bukunya yang sudah berkali-kali kita kutip Jes. A. Therik
menguraikan dengan rinci bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memperoleh warna
sesuai dengan kebutuhan. Itu sebabnya saya merekomendir pembaca yang ingin
mengetahuinya untuk membaca buku tersebut.
Setelah proses pencelupan
selesai dan warna yang diperoleh sesuai dengan selera penenun, ikatan yang
dibuat pada benang-benang itu dilepaskan. Benang-benang itu sekarang sudah siap
untuk ditenun menjadi kain bermotif.
2.4 Menenun
Benang yang sudah diwarnai
dibentangkan pada dua buah balok atau lebih tepat benang itu sekarang diuraikan
di atas perkakas tenun. Tiap baris baris terdiri dari dua helai benang. Perempuan
atoni menamakan tahapan ini nanon abas
(menyusun benang di atas perkakas).
Adapun perkakas tenun itu
adalah sebagai berikut. Ada dua balok horisontal di dua ujung dengan jarak
antara 1,5 – 2 meter. Balok di ujung yang satu biasanya dari bambu. Perempuan atoni menyebut balok ini nekan. Sedangkan ujung yang lain terdiri
dari dua balok persegi empat bernama atis.
Benang hasil celupan diuraikan di kedua balok ini dengan lebar antara 50 - 60
cm. Di bagian nekan benang yang
diuraikan itu diberi simpul hidup. Artinya benang hanya dilingkarkan begitu
saja. Sedangkan di bagian atis
simpulnya mati. Jika pekerjaan menenun sudah berjalan kain yang sudah selesai
digulung di bagian atis.
Untuk menjaga ketegangan
benang di atas alat tenun itu maka nekan
diikat pada dua buah tiang. Nama tiang itu adalah api’. sedangkan atis
direkatkan pada pinggang penenun dengan bantuan kulit sapi atau karung.
Perempuan atoni menyebut ikat
pinggang ini niun.
Selain dua balok ini (nekan dan atis), ada juga beberapa balok kecil yang diselipkan di antara
benang-benang yang direntangkan. Balok-balok kecil itu berjumlah dua sampai
lima batang bergantung jenis tenunan yang akan dibuat (futus, lotis atau buna).
Balok-balok ini berupa lidi. Namanya sial.
Jadi ada sial satu, dua, dst. Fungsi sial adalah untuk membantu penenun untuk
menaikkan atau menurunkan benang saat mengajam sebuah motif. Selain itu dua
balok lagi. Yang satu berbentuk bulat. Ukurannya sedikit lebih besar dari sial. Perempuan atoni menamakan balok ini puat.
Di balok ini benang-benang bisa
dinaikan dan diturunkan dalam posisi berselang seling sehingga bisa dibuat
anyaman benang menjadi kain. Balok yang lain bernama ut fungsinya untuk membantu si penenun memantau pergeseran yang
terjadi selama menenun sehingga dan mencegah kemungkinan rusaknya motif yang
direncanakan.
Selama proses menenun ada
dua buah kayu yang selalu ditarik masuk dan keluar di antara sela-sela benang.
Kayu pertama disebut nabi atau sau’ban. Dia sebenarnya bukan kayu,
melainkan lidi yang dililit dengan benang. Kalau benang yang dibentangkan
antara nekan dan atis kita sebut benang vertikal, maka benang yang dililitkan pada sau’ban adalah benang horisontal yang
terus menerus dimasukan di antara benang-benang vertikal.
Tiap kali benang horisontal
diselipkan, penenun merapatkan benang itu ke simpul mati yang ada di atis dengan cara memukul beberapa kali.
Untuk itu diperlukan senu, sebuah
balok pipih berbentuk pedang. Inilah kayu kedua Jika benang horisontal itu
sudah rapat, penenun menaikan puat
agar benang yang di bawah terangkat ke atas, sedangkan benang yang di atas
turun ke bawah. Lalu dengan bantuan senu
ia mendorong simpul itu untuk merapat ke atis.
Setelah itu benang horisontal dimasukan lain ke cela tenunan dengan menggunakan
puat, lalu dengan menggunakan senu penenun merapatkan simpul ke atis. Begitu proses seterusnya sampai
selesai. Lamanya proses menenun sampai selesai kira-kira 10 – 15 hari. Ini
bergantung dari besarnya kain, kerumitan motif yang akan diukir serta lamanya
waktu menenun dalam sehari.
Ada beberapa metode
mengerjakan kain tenun bermotif: futus
(mengikat benang), sotis (menyisip
benang), dan buna (mengait dan
menyungkit benang). Motif ikat diperoleh dengan cara membuat hiasan dasar pada
kain tenun dengan mengikat rencana gambar untuk beberapa warna. Dengan cara ini motif yang digambar
benar-benar menyatu dengan benang dasar. Ini berbeda dengan tenunan sotis, yakni menggambarkan motif timbul
di atas benang dasar. Cara memperoleh
motif sotis ialah dengan menyisipkan benang tambahan di atas dan
di bawah benang dasar sehingga gambar yang dibentuk itu timbul ke permukaan.
Motif buna hampir sama dengan sotis. Perbedaannya terletak pada
tingkat kerumitan sekaligus banyaknya kombinasi warna pada motif yang
direkayasa.[14]
Menarik untuk dicatat bahwa
perempuan NTT hanya membuat satu motif saja pada satu lembar kain tenun. Tiap
kain ditenun dengan metode tetap. Jika futus
ya futus saja. Tidak pernah ada perempuan yang mengerjakan satu kain dengan cara
futus, sotis dan buna sekedar
untuk memperlihatkan kebolehannya. Ini hal penting yang punya makna sendiri
bagi percakapan tentang gereja yang akan dibahas dalam bagi berikut.
Bagian Kedua:
Pesan spiritual dalam motif tenun ikat
Di atas sudah kita catat bahwa teknik merekayasa motif dalam tenun ikat dimulai dengan menggambarkan
keseluruhan struktur gambar dalam ingatan, kemudian diterapkan dalam wujud
nyata. Perlu kita catat bahwa kemampuan menggambarkan motif dalam ingatan bukan
soal pengalaman (experience)
melainkan penyataan (revelation). Ada
cerita dari Sumba bahwa sebelum seorang perempuan mulai mengerjakan motif tenun
ikat, ia terlebih dahulu perlu minta izin dari leluhur penemu pengetahuan
menenun, yakni Tara Lalu Wewu. Pada
saat permohonan ini disampaikan maka inspirasi mengenai corak ragam hias yang
akan ditenun segera tergambar dalam benaknya.[15]
Dari cerita ini kita melihat
bahwa corak ragam hias (motif) yang akan diukir seorang perempuan di atas
benang-benang mengandung nilai teologis, etis, spiritual dan moral yang dia
terima sebagai wahyu dari dunia seberang sana (the outer world). Atas dasar ini kita dapat berkata bahwa
motif-motif yang diukir pada sebuah kain tenun merupakan ekspresi dari hubungan
antara manusia dengan roh-roh pujaan mereka.
Biasanya, setiap marga
mempunyai motif atau ragam hias tersendiri. Dari motif yang ada pada selimut
yang dipakai orang tahu identitas pamakainya, seperti dari suku dan kampung
mana dan apa statusnya dalam masyarakat. Motif itu berhubungan dengan buah
pikiran, cita-cita, kepercayaan, simbol dan tokoh penting dalam komunitas marga
atau kampung yang diyakini sebagai pembawa berkat dan pemberi kehidupan. Jadi dalam
setiap kain tenun, perempuan-perempuan atoni
sesungguhnya sedang menuangkan keyakinan iman dan pandangan hidup dalam
simbol-simbol penuh makna. Dengan mengamati setiap karya tenun kita sebenarnya
bisa mendalami filsafat hidup suku atau marga pemiliknya. Filsafat itu
tergambar dalam wujud-wujud nyata, figuratif maupun abstrak dan skematis.
Kita dapat berkesimpulan
bahwa dalam selembar kain tenun terukir iman dan kepercayaan masyarakat. Ada pesan-pesan spiritual
tentang hidup dan mati, berkat, anugerah, persaudaraan, kerukunan, damai
sejahtera, serta keyakinan akan Tuhan dalam konstruksi motif-motif. Sudah
sepantasnya kita katakan bahwa diri, identitas, integritas, sejarah, iman,
kasih dan pengharapan perempuan NTT tidak diterdapat dalam buku-buku, tetapi tertuang
di dalam tenunan mereka. Para penenun di Timor karena itu adalah teolog-teolog alam.[16]
Tentu saja motif atau figur pokok tadi tidak pernah
digambarkan sebagai tema yang berdiri sendiri. Figur itu selalu dipercantik
dengan variasi beberapa bentuk gambar, simbol atau garis pendukung untuk
memberi bobot makna kepadanya. Gambar, simbol atau unsur pendukung itu tampil
dalam berbagai bentuk variasi seperti garis lurus, garis bergelombang, zig-zag,
titik-titik kecil, lingkaran, kombinasi warna. Semua itu ditempatkan dalam
irama teratur, secara simetris dan berulang-ulang untuk memberi daya estetis,
imaginatif sekaligus menegaskan keseimbangan dari polarisasi daya-daya yang
terdapat dalam makro kosmos.[17]
Untuk dapat mengerti dan memahami
pesan spiritual dari ragam hias yang terpatri dalam sebuah kain tenun, kita
perlu meneliti berbagai mitos yang beredar di kalangan suku atau marga pemilik
motif itu. Motif buaya yang muncul secara mencolok dalam tenun ikat banyak
marga di kalangan suku atoni
berhubungan erat dengan mitos-mitos yang beredar mengenai peranan buaya bagi
adanya kehidupan di Timor. Buaya bukan hanya
diyakini sebagai binatang keramat pemberi kesejukan dan kesegaran, serta yang
mengaruniakan kepada suku atoni sapi
an kerbau. Lebih jauh, Timor sendiri dianggap
sebagai pulau buaya (the sleeping
crocodile).
Menurut ceritera rakyat dulu kala ada
seekor anak buaya yang tersesat. Ia tidak menemukan jalan untuk kembali ke
laut. Seorang anak laki-laki menolong buaya itu. Ia mengendong buaya itu untuk
dibawa ke laut. Pada saat itu, air laut
tiba-tiba naik. Si anak terancam mati tenggelam. Sebagai ungkapan terima
kasih, buaya tadi mengajak si anak naik di punggungnya. Anak itu dibawa
berenang mengelilinggi dunia. Ketika buaya tadi menjadi makin tua dan ia merasa
akan segera mati. Buaya tadi berpesan kepada anak yang sudah menjadi dewasa
bahwa ia akan berbaring di permukaan laut. Tubuhnya akan berubah menjadi
daratan, menjadi sebuah pulau. Si anak boleh tinggal di atas pulau itu. Tubuh
buaya yang sudah berubah menjadi daratan itu akan menumbuhkan banyak pohon
buah-buahan yang dapat dimakan. Bahkan di dalam tubuh si buaya ada banyak bahan
makanan yang boleh dinikmati oleh penduduk di pulau itu. Inilah sebabnya
mengapa pulau Timor, tempat tinggal suku atoni bentuknya seperti sekor buaya yang
sedang berbaring.[18]
Selimut multi warna suku di Sumba
Timur bernama hinggi kombu juga
mengekspresikan banyak hal mengenai keyakinan religius komunitas produsennya.
Motif menonjol dari hinggi kombu
adalah figurasi seorang laki-laki, barangkali seorang panglima perang
masyarakat tradisional yang berdiri di sisi pohon yang di setiap rantingnya
bergantung kepala manusia. Dalam periode pra kolonialisasi setiap kali selesai
perang, pasukan yang menang perang merayakan kemenangan dengan mendirikan
sebuah pohon yang ranting-rantingnya dihiasi dengan kepala para lawan yang
berhasil dibunuh. Lokasi perayaan ini di depan rumah pemimpin suku, yang
berfungsi sebagai tempat sakral bagi seluruh desa. Motif hinggi kombu tetap dibuat sampai sekarang untuk mengingatkan
generasi sekarang akan tugas mereka bekerja bagi kesejahteraan desa dan
menghalau sekuat mungkin tiap bahaya atau ancaman yang berpotensi mengganggu
kehidupan bersama.[19]
Ada beberapa kesimpulkan yang dapat kita
catat mengenai pesan spiritual dalam motif tenun ikat. Pertama, motif-motif itu bukan hasil rekayasa insani. Ia adalah
hasil dari sebuah penglihatan yang dalam, perenungan yang sungguh-sungguh akan
makna dari kenyataan-kenyataan hidup yang dialami oleh masyarakat atau komunitas
perancang motif-motif tadi. G. Th. Therik benar saat ia mengatakan bahwa corak
ragam hias yang akan digambar di atas kain tenun adalah inspirasi yang
diperoleh dari roh-roh pelindung dan pujaan komunitas itu. Ini juga benar dalam
hubungan dengan perintah untuk menenun. Menenun, bagi suku-suku di NTT, bukan
ketrampilan yang diperoleh atas inisiatif sendiri. Ia adalah pemberian dari
dunia dewa-dewa. Saya sudah mengatakan hal ini dalam bab mengenai ike-suti dan suni-auni. Singkat kata, menenun dan teknik merangkai motif bukan
hasil inisiatif manusia, tetapi sebuah panggilan.
Kedua, pesan spiritual yang dipatrikan
dalam kain tenun bersifat multidimensional. Di situ kita menemukan pesan-pesan
sukacita, rasa hormat, persaudaraan, kerukunan, saling menerima, tolong
menolong, damai sejahtera dan kekekalan hidup. Sumber dari pesan-pesan ini
sudah pasti berasal dari dia yang memberi inspirasi kepada perempuan-perempuan
penenun.
Ketiga, keseimbangan, keharmonisan dan
parallelisme antara kenyataan-kenyataan dalam alam: kehidupan-kematian,
atas-bawah, luar-dalam, garis lurus-garis melingkar, vertikal-horisontal,
hitam-putih, laki-laki-perempuan merupakan tema-tema pendukung yang disatukan
di sekitar figur yang ditokohkan dalam setiap tenunan.[20]
Sebuah pantun suku atoni menegaskan
karakter keseimbangan ini dengan sangat tegas: “Apabila warna putih tidak
cukup, perbesarlah dia dengan warna hitam. Manakala warna hitam tidak memadai,
bubuhkan lagi padanya warna putih.” Jelasnya, figur yang ditokohkan bukanlah
motif yang meniadakan melainkan yang merangkul figur-figur lainnya. Tidak ada
tempat bagi separasi atau diskriminasi. Hukum yang berlaku dalam proses menenun
bukan pemisahan melainkan penyatuan. Semua yang berbeda ditata menjadi satu
paduan yang indah, serasi dan konstruktif.
Bagian Ketiga:
Menuju Eklesiologi yang Komunikatif dan
Bermakna
Pengalaman disambut oleh jemaat-jemaat
GMIT di pedesaan dengan pengalungan selimut waktu kunjungan kerja sebagai
pimpinan gereja membuat hati saya gembira dan bahagia. Tetapi tiap kali pulang
rumah dan menyaksikan koleksi selimut saya bertambah membuat pikiran saya
terganggu. Kenyataan ini juga menantang saya untuk menemukan bentuk-bentuk
narasi tentang kehidupan bergereja dengan menggunakan metafora atau perumpamaan
yang akrab bagi pengalaman pendengar yang kebanyakan terdiri dari para pengguna
kain tenun. Mesti ada sesuatu dari pengalaman dan ketrampilan mengerjakan kain
tenun sebagai jalan masuk untuk mengajak warga GMIT memahami apa dan bagaimana
seharusnya mereka hidup sebagai warga gereja.
Perenungan yang dalam akan apa dan
bagaimana gereja serta pengamatan yang saksama mengenai pekerjaan menenun dan
pesan-pesan spiritual dalam selembar kain tenun, membawa saya pada keberanian
untuk berbicara tentang gereja dengan menggunakan metafora yang diangkat dari
pengalaman perempuan-perempuan NTT mengerjakan kain tenun ikat. Saya lalu
terdorong untuk menggambarkan kehidupan bergereja di Timor
ibarat mengerjakan selembar kain tenun. Pada waktu saya menulis artikel ini,
narasi dengan tema “bergereja ibarat mengerjakan selembar kain tenun” sudah empat
kali saya ucapkan dalam kesempatan tatap muka dengan jemaat. Pertama kali saya
ucapkan di hadapan para peserta sidang klasis Pantar Barat di jemaat Ebenhaezer
Kawali (6 Nopember 2003). Kali kedua, ketiga dan keempat saya ucapkan di sidang
klasis Amanuban Tengah Utara di Baki (4 Maret 2004) dan sidang klasis Amanuban
Timur Utara di Mnela Anin (30 Maret 2004), dan sidang klasis Alor Tengah Utara
di Padakika (12 April 2004).
Tiap kali tema itu saya ulang, ada hal baru yang saya peroleh. Tema itu menjadi
makin kaya.
Komentar para pendengar narasi itu
sangat membesarkan hati. Ada
yang bahkan meminta saya untuk menyimpan narasi itu dalam sebuah dokumen
tertulis. Inilah latarbelakang lahirnya tulisan yang sedang anda baca.
Bagaimana sebenarnya isi dari narasi itu. Ikuti tuturan berikut:
2.5. Bergereja sebagai pekerjaan menenun persekutuan
Waktu para bapak gereja (patriarch) bertemu dalam konsili Nikea
dan Konstantinopel mereka berusaha
merumuskan tanda-tanda gereja (notae
ecclesiam). Tanpa pertama yang mereka sepakati adalah keesaan (kesatuan). Credo unam ecclesiam. Gereja itu satu.
Kesatuan gereja mencuat di tengah-tengah realitas masyarakat yang terbagi dan
terpecah dalam pelbagai kelompok, suku, bahasa, sejarah dan latar-belakang.[21]
Manusia, baik sebagai kolektif maupun
individu hidup terpisah-pisah dan terasing satu sama lain. Kita mengelompok
dalam kesatuan darah, marga, etnis, bahasa, sejarah. Dari tengah realitas ini
Allah berinisiatif menghimpun, mengumpulkan, menyatukan dan mempersekutukan
mereka dalam satu komunitas yang bernama gereja. Allah buat itu dengan cara
memanggil manusia keluar dari keterasingan satu sama lain, untuk hidup dalam
keterikatan atau relasi yang akrab. Inilah persekutuan orang percaya (congregatio fidelium) yang kita namakan
gereja. Dan kalau kita lihat dalam Perjanjian Baru, kata yang dipakai untuk
gereja selalu dalam bentuk jamak (ekklesiai).
Kelompok orang-orang percaya yang terbagi-bagi dan terpecah-pecah itu dipanggil
untuk mewujudkan kesatuan dan hidup dalam persekutuan.
Kenyataan ini persis sama dengan
kesatuan dari benang-benang dan kombinasi warna dalam satu lembar kain tenun.
Dari tempat yang terpisah-pisah, terasing dan gelap, kapas-kapas dihimpun,
dibersihkan (tabnini), dibuat menjadi
halus (tasifo), untuk dijadikan
benang (tasun). Selanjutnya,
benang-benang itu ditata atau disusun (tanon)
di atas sebuah perkakas (loki) untuk
diikat-satukan, diberi warna dan dirajut dengan morif yang penuh makna.
Hasilnya adalah selembar kain tenun yang indah dan selalu dikenakan di tempat
atau upacara bermartabat. Ada
banyak benang yang akan tetap sebagai benang yang rapuh jika dia tinggal dalam
kesendirian dan keterasingan dari benang lain. Benang seperti itu tidak banyak
berguna bagi masyarakat dan juga bagi sang pencipta. Tapi jika benang-benang
itu ditata rapih, diikat dan disatukan melalui proses menenun, benang-benang
itu menjadi kuat. Ia memiliki fungsi dan nilai baru yang membanggakan sesama
maupun pencipta.
Dari sebongkah kapas yang kasar ia
dibentuk menjadi selimut yang indah dan menawan yang dikhususkan oleh si
penenun untuk menjadi cinderamata, bukti kasih sayang, dan alat perekat
persaudaraan terhadap sesama dan mereka
yang dihormati dan disanjung. Dari hanya segumpal serat yang pasti hancur
ditimpa hujan, ia berubah menjadi seperangkat motif yang fungsinya adalah untuk
menyaksikan identitas si penenun, sekaligus menjadi tanda pengenal yang
menyertai jiwa seseorang yang sudah meninggal dunia dalam perjalanan ke tempat
perhentian yang kekal. Lebih jauh lagi. Motif-motif dari benang itu menjadi
jaminan si mati beroleh lisensi untuk masuk dalam negeri perhentian para
leluhur.
Inilah juga yang menjadi kemuliaan
dari orang-orang yang bersekutu dalam gereja. Manusia dan orang-orang percaya
adalah seumpama kapas dan benang-benang. Manusia itu terancam binasa jika ia
hidup menyendiri dan terpisah dari sesamanya, berada di tempat yang jauh dari
rumah dan menetap dalam kegelapan di hutan. Tetapi oleh inisiatif Allah manusia
diangkat, dibersihkan, dibuat menjadi halus, disusun dalam barisan yang indah
lalu ditenun menjadi satu persekutuan. Iman, kasih dan pengharapan memang
adalah karunia individual kepada tiap-tiap orang percaya. Tetapi kita semua
tahu bahwa pertumbuhan iman, kasih dan pengharapan itu akan bertumbuh subur dan
berdaya guna kalau individu-individu itu ada dalam relasi dengan
saudara-saudara seiman.
2.6 Allah sebagai sang penenun
Keberadaan gereja sebagai sebuah
persekutuan yang dibangun dari kesatuan banyak individu orang percaya, seperti
kata Berkouwer, bukan fenomena alamiah, natural atau kebetulan. Ia juga bukan
merupakan hasil prestasi atau inisiatif seseorang. Orang percaya bersekutu,
hidup dalam pertalian yang rapat dan akrab karena sebuah panggilan. Orang-orang
itu “dipanggil, dikumpulkan dan ditenun (verworven)
dengan darah yang mengucur dari salib.”[22]
Jűrgen Moltmann benar waktu dia berkata: “kata pertama dari gereja bukanlah
‘gereja’ tetapi kemuliaan Bapa, Anak dan di dalam Roh Pembebasan.”[23]
Ya. Kesatuan gereja tidak dapat dipisahkan dari kehendak Allah.
Lagi-lagi keyakinan teologis ini dapat
kita jejaki juga dalam metafora gereja sebagai sebuah pekerjaan menenun
selembar kain. Ketrampilan menenun,
seperti sudah kita catat di atas, bukan hasil prestasi atau inisiatif manusia.
Prakarsa datang dari the outer world.
Inisiatif untuk menghimpun kapas, mengikat motif, menyulam dan menenun jadi
kain, tidak datang dari para perempuan NTT. Mereka dipanggil dan dimampukan
untuk melakukan hal itu oleh Dia yang disembah. Mutatis mutandis, apa yang Jűrgen Moltmann katakan di atas dapat
juga kita kenakan pada pekerjaan menenun. “Kata pertama dari pekerjaan menenun
bukan dari perempuan-perempuan NTT tetapi dari Allah yang menciptakan
perempuan-perempuan itu.”
Penegasan ini bukan sebuah isapan
jempol. Alkitab sendiri berkata bahwa Allah adalah seorang penenun. Dia menenun
manusia. Itu saya baca dalam Mazmur 139: 13: “Sebab Engkaulah yang membentuk
buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.”
Allah adalah yang alfa dalam menenun.
Gereja adalah kain tenunan yang dikerjakan Allah. Ya, Gereja adalah kain tenun
milik Allah. Dialah yang mengambil inisiatif mengangkat, membersihkan,
memintal, menempatkan individu-individu yang ia tebus dalam satu kesatuan yang
rapih tersusun kemudian diikat menjadi satu produk dengan corak ragam yang
indah untuk tujuan yang dikehendaki Allah. Bila perempuan-perempuan NTT
membutuhkan perkakas-perkakas untuk mengerjakan kapas menjadi benang, dst,
Allah juga memiliki banyak metode untuk mengubah hidup kita menjadi berkenan
kepadaNya. Tim studi tentang misi gereja dari World Council of Churches (WCC)
mengatakan: “Khotbah, baptisan, perjamuan Kudus, doa, ibadah bukan instrumen
eklesiologis untuk tujuan keamanan pribadi, tetapi instrumen yang dipakai oleh
Allah untuk memimpin umatNya berpaling kepada dunia.”[24]
Allah adalah penenun yang agung. Ia
membisikan kepada para perempuan NTT bagaimana menenun ketika ia menenun mereka
dalam kandungan ibu. Ia juga yang menyimpan motif-motif kaya makna dan pesan
spiritual dalam hati dan benak para perempuan NTT pada waktu ia mereka masih
ada sebagai bakal anak. Mengatakan ini saya ingat sebuah legenda Yahudi.
Menurut pengajaran orang Yahudi,
sewaktu seorang bayi dalam kadungan ibunya, sebatang lilin dinyalakan di
samping bayi itu. Tuhan Allah memerintahkan seorang malaikat untuk mengajar
seluruh isi Torah kepada si bayi. Menjelang saat anak itu hendak dilahirkan,
malaikat menyentuh bibir si bayi sehingga si bayi melupakan semua yang ia
pelajari. Ini sebabnya mengapa di bibir atas setiap orang ada semacam lekukan.
Itu adalah bekas sentuhan jari sang malaikat. Di dalam kandungan Allah
mengajarkan kepada si bayi Torah (pengajaran) tentang hidup. Belajar melakukan
kebaikan yang terjadi di luar rahim, kata cerita itu, tidak lain dari proses
rekoleksi (mengingat kembali) apa yang sudah Tuhan ajarkan selama dalam rahim.[25]
Kalau kisah ini kita terapkan pada
pokok yang kita bahasa, maka jelas bahwa sang penenun agung membisikan kepada
perempuan NTT bagaimana menenun dan motif-motif yang harus mereka rajut saat
mereka ditenun Allah dalam rahim ibunda tercinta. Pada waktu
perempuan-perempuan lahir, dewasa dan mulai menenun, yang mereka lakukan tidak
lain dari proses rekoleksi atas apa yang sudah mereka pelajari dari Allah. Pada
waktu menenun, perempuan-perempuan NTT sesungguhnya sedang berpartisipasi dalam
pekerjaan menenun yang dilakukan Allah.
2.7
Maksud Allah dengan kain tenun miliknya
Allah adalah yang alfa dalam menenun.
Ia juga yang membisikkan cara menenun dan meletakkan kemampuan menenun dalam
aneka corak ragam hias yang memukau dan kaya makna kepada perempuan-perempuan
NTT sejak mereka dalam kandungan ibu. Inilah ringkasan dari paragraph yang baru
saja kita tinggalkan. Saatnya sekarang kita bertanya: apa maksud Allah dengan
kain tenunan yang ia kerjakan? Untuk apa Tuhan Allah berlelah-lelah mengikat
satukan orang-orang percaya dalam satu persekutuan yang rapih tersusun dalam
gereja?
Alkitab menggunakan seribu satu
ungkapan untuk menjelaskan pokok ini ini. Dalam kitab Matius kita kenal
ungkapan “garam dan terang dunia” (Mat. 5:
13 dst). Di tempat lain kita menjumpai metafora: “Umat yang baru”
yang dikenakan kepada gereja. Tiap metafora bermaksud menonjolkan salah satu
dimensi atau fungsi dari keberadaan gereja dan orang percaya dalam dunia.
Jelasnya, Tuhan Allah menghimpun, menyatukan dan membentuk gereja untuk maksud
tertentu. Dan tiap metafora yang dikenakan kepada gereja dimaksud untuk
mengkomunikasikan dimensi tertentu dari maksud Allah yang satu dan tidak
berubah dari keberadaan gereja.
Pertanyaan muncul: apa itu maksud yang
satu dan tidak berubah dari Allah yang hendak ia sampaikan kepada dunia melalui
umat yang Ia panggil, satukan dan kuduskan?
Menurut Perjanjian Lama Allah sejak
semula sudah memperkenakan diri dan kehendakNya. Hal itu ia lakukan kepada
Adam, Enos, Nuh, Abraham, Isak dan Yakub. Tetapi sejauh itu Allah tetap ada
sebagai yang tidak dikenal (Deus
absconditus: the unknown God). Penyebabnya adalah karena perkenalan diri
yang dilakukan Allah itu dilaksanakan secara sporadis dan hanya kepada
individu-individu saja (Kel. 6: 1,2).
Dari sudut pandang manusia, cara ini ternyata tidak efektif. Iman adalah
soal individu, tetapi pertumbuhan iman dikondisikan oleh persekutuan di mana
seseorang berada. Itu sebabnya agar dapat dikenal dengan baik Allah bertindak
untuk membentuk satu persekutuan. Umat itu dibentuk secara khusus dan dijadikan
congragatio fidelium, persekutuan
yang kudus yang menjadi obyek dan lokus sekaligus instrument bagi Allah untuk
memperkenalkan diri dan kehendaknya. Hal ini saya baca dalam dua bagian
Alkitab. Pertama dalam Kejadian 6:6. Di situ dijelaskan maksud Allah menghimpun
dan menetapkan Israel
sebagai bangsa milikNya. “Aku akan mengangkat kamu menjadi umatKu dan Aku akan
menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, Tuhan, Allah…”
Jadi Allah memilih dari antara
bangsa-bangsa satu persekutuan, menjadikan mereka la compaqnie de fideles, dengan maksud agar umat itu mengenal siapa
Allah serta karya dan pekerjaannya bagi dunia dan manusia. Umat itu dibentuk
untuk mengenal Allah dan perbuatan-perbuatannya. Nama dan perbuatan Allah hanya
diberitahukan kepada mereka. Ini terkesan sangat eksklusif. Kita karena itu
harus melanjutkan survei kita dengan bagian lain dalam Alkitab. Perjanjian Baru
menegaskan bahwa pemilihan dan pembentukan congragatio
fidelium oleh Allah ini tidak bersifat eksklusif melainkan inklusif. Allah
membentuk persekutuan itu dengan mata dan hati yang tertuju kepada dunia. Mari
kita periksa penegasan surat
Petrus. “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang
kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya
kamu memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Dia, yang telah memanggil kamu
keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib. Kamu yang dahulu bukan umat
Alah, tetapi yang sekarang telah menjadi umatNya, yang dahulu tidak dikasihani
tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan” (I Pet. 2:9-10).
Kalau bagian Alkitab yang pertama
berbicara tentang persekutuan sebagai obyek pengenalan Allah, bagian yang kedua
menegaskan fungsi persekutuan itu sebagai instrumen melalui mana Allah mau
memperkenalkan diri kepada dunia. Dari dua bahan ini kita dapat simpulkan bahwa
Allah menetapkan umat/persekutuan yang kudus agar umat itu menjadi semacam surat Allah kepada dunia.
Gereja ada untuk memperkenalkan Allah dan karyaNya kepada dunia.[26]
Paulus menggunakan metafora “surat
kristus” untuk mendefinisikan tujuan keberadaan umat atau jemaat Allah (II Kor.
3:3).
Congregatio
fidelium yang ditetapkan Allah berfungsi sebagai surat. Kita semua tahu fungsi dari sebuah surat. Ia berguna untuk
mengkomunikasikan pikiran, perasaan dan keputusan dari sang penulis kepada
pembaca. Dari isi surat
kita dapat mengenal dan mengetahui identitas dan pikiran serta isi hati
penulisnya.[27]
Gereja sebagai surat Kristus. Tentu saja sebuah metafora
yang bermakna, terutama dalam masyarakat yang melek huruf. Di NTT di mana
sebagian besar warga masih menganut tradisi lisan (bertutur) dan mayoritas
penduduknya masih buta aksara metafora ini baik tetapi kurang dikenal dan tidak
komunikatif. Kita tentu harus mencari metafora lain yang dapat menampung
fungsi-fungsi yang terkandung dalam metafora surat kalau kita ingin berbicara tentang
gereja kepada orang percaya di NTT secara bermakna dan komunikatif. Untuk itu
metafora “kain tenun Allah” saya anggap dapat kita pakai untuk memperkaya makna
kehidupan bergereja yang terkandung dalam metafora “surat Kristus.”
Kita sudah catat bahwa selembar kain
tenun memberi kesaksian tentang siapa penenunnya, dari marga dan daerah mana
sang penenun berasal, serta apa-apa saja keyakinan dan pandangan hidup dari si
pemiliknya. Hal-hal itu ditampilkan dalam motif-motif (ikat, sotis dan buna)
yang dikerjakan dengan hati-hati dan teliti oleh si pemiliknya. Hal ini jatuh
sama dengan bahkan memperkuat pesan-pesan yang hendak disampaikan melalui kata,
kalimat serta ungkapan-ungkapan yang diukir di atas surat itu.
Itu sebabnya saya berkeyakinan bahwa
kepada orang percaya di NTT metafora gereja sebagai kain tenun milik Allah lebih komunikatif dan penuh dengan referensi
makna dalam benak warga jemaat. Di samping itu metafora ini tidak bersifat
eksklusif. Mengingat menenun adalah panggilan budaya yang dikenal oleh setiap
suku di NTT. Sama halnya dengan metafora rumah
Allah yang dipakai GMIT untuk mengungkapkan identitasnya dalam konteks NTT.
Sayangnya, ada keluhan dari warga GMIT di Rote, Sabu dan Alor bahwa gambaran tentang
Yesus sebagai tiang induk dari gereja
dianggap asing dan hanya menyapa kelompok suku Atoni saja. Sejauh mana keluhan itu benar, perlu dibuat penelitian
yang mendalam.
Kembali kepada pokok semula, metafora
gereja sebagai kain tenun milik Allah
membangkitkan imaginasi tentang ketelitian, ketekunan, dan kesabaran Allah
mengerjakan kain miliknya itu. Dua ribu tahun lebih Allah duduk untuk memintal
benang, mengikat motif, merajut dan menenun kehidupan bersama dalam gereja
milikNya. Sebuah pekerjaan yang butuh waktu. Ini disebabkan karena motif yang
hendak dibentuk tidak hanya mencerminkan isi hati dan identitas Allah sang
pemilik. Pada saat yang sama motif itu harus terukir pada tiap benang. Tidak
boleh ada satu benangpun yang terabaikan. Allah ditampilkan di sini sebagai
Tuhan yang aktif dan berkarya.
Selanjutnya, metafora ini memperlihatkan besarnya cinta kasih Allah
kepada gereja, serta fungsi sosial gereja. Akhirnya dengan menggunakan metafora
gereja sebagai kain tenun milik Allah,
orang percaya di NTT diajak untuk merenungkan makna gereja bukan hanya bagi
hidup kekinian tetapi juga keakanan, kepada bentuk hidup di balik kubur.
2.8 Tiga Karakter dari sebuah Motif
Persoalan muncul: motif macam apakah
yang sedang dibentuk Allah di atas kain tenun miliknya, yaitu gereja? Untuk
menjawab pertanyaan ini, sekali lagi saya menarik perhatian pembaca pada sifat-sifat
atau karakter dari motif dalam kain tenun perempuan-perempuan NTT.
Pertama, motif pada selembar kain
tenun perempuan NTT memperkenalkan kepada dunia luas siapa penenunnya,
asal-usul marga dan daerah si penenun yang tentu saja berkaitan erat dengan
mitos asal-usul satu marga serta pandangan mereka tentang hidup dan nilai-nilai
yang lestari yang menjadi dasar dan pemberi makna bagi hidup serta relasi
mereka baik internal maupun eksternal. Ini dapat kita sebuat sebagai karakter
historis dari sebuah motif. Hal penting yang wajib dicatat. Tidak satu pun
benang yang diabaikan dalam pembuatan motif. Motif itu tidak dirajut hanya di
atas sebuah benang, tetapi di tiap benang. Jika satu benang putus, si penenun
dapat menyambung benang itu. Pada benang yang baru itu pun dirajut motif yang
sedang dibentuk. Selanjutnya dalam membentuk sebuah motif unsur-unsur yang
bertolak belakang, bahkan bertentangan (garis lurus, lingkaran, titik-titik,
horizontal dan vertikal) diatur, ditata dan diberi tempat sehingga menjadi satu
paduan, konstruksi yang saling melengkapi. Di samping motif utama,
perempuan-perempuan NTT selalu membentuk motif pendukung di atas kain tenun yang
mereka kerjakan. Dalam karakter ini kita mencatat beberapa sifat dari sebuah
motif: dinamis dan inklusif atau integratif.
Kedua, motif pada selembar kain tenun perempuan NTT juga
memiliki karakter sakramental. Ada
nilai atau pesan spiritual yang terkandung dalam corak ragam atau motif yang
dibentuk baik secara nyata, figuratif maupun abstrak dan
skematis. Sebuah motif yang nampak bercerita tentang keyakinan, konsep-konsep
makna
dan nilai-nilai religius, sosial dan historis yang dianut oleh komunitas pemilik
motif itu.
Ketiga, dalam motif kain tenun ada
karakter eskatologis. Maksudnya, motif kain tenun dijadikan oleh pemiliknya
sebagai tanda pengenal untuk dapat diterima dan diizinkan masuk ke dunia para
leluhur pada saat rohnya melakukan perjalanan dari dunia orang hidup ke dunia
orang mati. Inilah alasan mengapa seorang yang meninggal dunia selalu
dimakamkan bersama dengan semua kain tenun yang adalah miliknya.
Melihat pada tiga karakter yang
dimiliki sebuah motif pada kain tenun perempuan NTT, pada sisi lain jika kita setuju untuk
mendefinisikan kehidupan bergereja sebagai sebuah pekerjaan membuat kain tenun,
maka pertanyaan yang muncul adalah: motif macam apakah yang sedang diukir oleh
Allah pada kain tenun miliknya itu?
2.9 Kristologi: Motif pada kain tenun milik
Allah
Dalam iman Kristen ajaran tentang
Yesus Kristus disebut-sebut titik sentral yang menyatukan (overarching motif), sekaligus memberi makna bagi seluruh wacana
dan pokok percakapan Kristen tentang Allah dan segala sesuatu yang diciptakan
Allah. Kristologi adalah ungkapan yang dipakai dalam teologi Kristen untuk
semua bentuk percakapan Kristen tentang diri dan karya Yesus Kristus. Karl
Barth menyebut kristologi sebagai kunci hermeneutik, atau prisma atau tata
bahasa dalam kita berbicara tentang apa saja, termasuk tentang gereja.
Kristologi adalah asumsi dasar dari eklesiologi. Semua tema dalam teologi
Kristen hanya dapat kita pahami dengan benar apabila kita menjadikan ajaran
tentang Yesus Kristus sebagai teropong.
Kita katakan demikian karena alasan
berikut. Dalam Yesus Kristus, kata Emil
Brunner, kita dibawa ke dalam pengenalan terhadap diri Allah sendiri di dalam
kekekalan (Deus is se, imanen trinity).
Pengenalan ini dengan sendirinya membuat kita juga mengenal Allah di dalam
karyaNya (Deus pro nobis: economic
trinity) seperti yang nyata dalam waktu.[28]
Ini dikarenakan, Allah dalam waktu berkoresponden dengan Allah dalam diriNya.
Diri dan karya Yesus Kristus memperlihatkan kepada kita siapa dan apa yang
Allah kerjakan. Di dalam diri Yesus Kristus Allah membuka diri lebar-lebar dan
secara utuh kepada manusia untuk dikenal. Pauluslah yang mengatakan: “Karena
seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia” (Kol. 1:19).
Dengan demikian, untuk mengenal siapa
dan apa yang dikerjakan Allah kita tidak dapat mengambil jalan lain kecuali
melalui Yesus Kristus (Yoh. 14:6). Barth
berkata: “Yesus Kristus adalah penyingkapan diri Allah.” Sedangkan Emil Brunner
menegaskan: “Kalau kita bertanya, siapakah Allah Tritunggal itu? Jawabannya
adalah: Yesus Kristus.[29]
Yesus Kristus menunjukkan kepada kita
siapa sesungguhnya Allah Tritunggal. Lewat penyataan diri di dalam Yesus
Kristus, Allah yang semula adalah Tuhan yang tersembunyi, deus absconditus telah menjadi Tuhan yang dikenal, deus revelatus. Allah tidak sekedar
menjadi Tuhan di atas kita (deus
absconditus), melainkan ada sebagai Tuhan di antara kita (deus extra nos). Bahkan lebih jauh
lagi, Ia menjadi Tuhan di dalam kita (deus
in nobis).
Jika demikian, tidaklah berlebihan
kalau kita katakan bahwa corak ragam yang dikerjakan Allah pada gereja yang
adalah kain tenun miliknya adalah corak ragam Yesus Kristus. Kristologi adalah
motif yang dikerjakan oleh Allah pada kain tenun. Hal ini sejalan dengan
pendapat Paulus dalam Kolose 1: 15. Di situ ia katakan: “Ia (Yesus Kristus)
adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala
yang diciptakan.” Allah membentuk motif ini pada kain tenun milikNya untuk
memperkenalkan kepada dunia siapa diriNya serta apa yang menjadi kehendak Allah
sejak kekal.
2.10 Tiga korespondensi kristologi
Nyatalah sekarang bahwa kristologi
merupakan motif yang melaluinya kita mengenal siapa Allah dan apa rencananya
yang tidak berubah itu. Ini jatuh sama dengan karakter pertama dari kain
tenun perempuan-perempuan NTT seperti
yang sudah kita catat. Menegaskan ini bukan berarti saya hendak mengatakan
bahwa Allah bekerja menurut pola para perempuan di NTT. Tidak. Yang terjadi
adalah kebalikannya. Perempuan-perempuan NTT lah yang meniru Allah dalam
mengukir motif-motif di atas kain tenun milik mereka. Waktu dalam kandungan ibu
mereka menerima pengajaran Allah tentang seluk beluk menenun. Apa yang mereka
lakukan ketika mereka lahir adalah mengingat kembali pengajaran yang mereka
peroleh.
Jika demikian, seperti apakah Allah
yang memperkenalkan diri kepada melalui Yesus Kristus? Alkitab mengatakan bahwa
Allah yang menghampiri kita dalam Yesus adalah Tuhan yang berkasih karunia.
Emil Brunner menggunakan istilah “Tuhan yang berpaling kepada manusia.”[30]
Allah tidak menolak dan membenci manusia, sekalipun manusia membenci dan
menolak Allah. Ia adalah Tuhan yang merangkul dan mengasihi manusia.
rangkulanNya mendatangkan hidup, sumber damai sejahtera dan keadilan. Ini
disebabkan karena dalam diriNya sendiri Allah adalah Tuhan yang terbuka kepada
sesuatu yang lain di dalam diriNya.
Selanjutnya, dalam Yesus Kristus kita
kenal Allah sebagai Tuhan yang satu, tetapi dalam diriNya ada kejamakan. Ia
adalah Allah Tritunggal: Bapa Anak dan Roh Kudus. Allah di dalam Yesus Kristus
bukan Tuhan yang membenci dan menolak pluralitas, melainkan ia adalah Tuhan
yang menghendaki adanya keanekaragaman. Kalau manusia cenderung menjadikan
pluralitas sebagai pokok konflik dan permusuhan, Allah justru memadukan
kejamakan yang ada. Pluralitas itu diikat-satukan menjadi satu konstruksi yang
kompak utuh dan harmonis.
Erat berkaitan dengan pokok di atas
kita patut mencatat sifat dinamis dan inklusif atau integratif. Sifat-sifat ini
digambarkan Paulus dalam surat
Efesus 2:13-19. di situ ia
menulis: “Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu yang dahulu “jauh” sudah
menjadi “dekat” oleh darah Kristus. Sifat dinamis dan inklusif atau integratif
yang ada dalam diri dan pelayanan Yesus adalah gambaran dari sifat dinamis dan
inklusif atau integratif yang ada dalam Allah. Seperti yang dikatakan sendiri
oleh Yesus: “… Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang
jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang
yang tidak benar” (Mat. 5:45).
Selanjutnya sifat dinamis dan inklusif atau integratif dari kain tenun para
perempuan NTT adalah pantulan dari sifat dinamis dan inklusif atau
integratif yang ada dalam diri dan karya
Yesus. Itu sebabnya kain tenun perempuan-perempuan NTT penuh dengan pesan-pesan
spiritual yang berkorespondensi dengan pesan-pesan spiritual dalam hidup dan
ajaran Yesus Kristus.
Sifat dinamis dan inklusif atau
integratif dari motif kristologi pada kain tenun milik Allah sudah dikenal oleh
para bapak gereja di abad pertama. Itu sebabnya mereka tidak segan-segan
memberi kwalifikasi “am” kepada gereja (catholical
ecclesiam) untuk menggambarkan sifat universal dan keterbukaan gereja untuk
semua orang tanpa membedakan seks, suku, bahasa, kebangsaan, idiologi dan waktu
hidup.
Mengenai karakter kedua, yakni makna
sakramental dari motif-motif kain tenun perempuan-perempuan NTT, kita juga
dapat katakan bahwa hal itu berkorespondensi dengan motif kristologi. Dalam
korespondensi ini kristologi berfungsi sebagai pola dasar sedangkan motif-motif
yang dikembangkan para perempuan NTT merupakan pola tiruan atau rekaan. Kita
dapat katakan bahwa dalam menenun para perempuan NTT sedang melakukan apa yang
dalam dogma Kristen klasik disebut imitatio
Christi. Apa dasarnya?
Yesus Kristus, sebagaimana isi
kesaksian Alkitab, adalah nama yang di dalamnya tersimpul semua misteri dan
makna dari seluruh kenyataan, baik yang kelihatan maupun tidak kelihatan (Kol. 1:15-18). Ia adalah satu pribadi.
Tetapi di dalam pribadi yang satu itu mewakili seluruh ciptaan. Ia adalah yang
sulung dari semua yang ada. Segala sesuatu yang ada setelah Dia diciptakan oleh
dan dalam namaNya. Dalam surat
Filipi Paulus menyebut nama Yesus Kristus sebagai nama di atas segala nama
(Fil. 2:9). Dalam arti bahwa nama-nama yang lain ada karena Dia dan nama-nama
itu hanya memiliki makna jika mereka dicangkokan pada namaNya. “Supaya dalam
nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi
dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah
Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa.” Jelas di sini bahwa Yesus Kristus ada bukan
untuk diriNya sendiri. Ia memberi kesaksian tentang sang Bapa.
Nyatalah sudah bahwa kristologi
bukanlah motif yang ada untuk diri sendiri. Ia adalah motif yang membawa
pikiran, hati dan iman kita untuk menyelami misteri kasih dan kemurahan Allah
kepada manusia dan dunia baik untuk masa kini (karakter historis) maupun untuk
masa depan (karakter eskatologis). Kalau para perempuan NTT selalu menghias
motif pokok dengan motif-motif pendukung untuk memperindah keseluruhan tenunan,
Allah juga melakukan hal yang sama. Yesus Kristus adalah figur pokok dan di
sekitar serta dari Dia terdapat berbagai figur lain. Karl Barth mengambarkan
relasi antara Yesus Kristus sebagai motif sentral dengan motif-motif pendukung
dalam satu konstruksi tiga dimensi simetris yang sangat memukau.[31]
Yesus ada sebagai titik api dari prisma berdimensi tiga. Dari situ perhatian
kita ditarik untuk mengerti waktu hidup manusia: masa lalu, masa kini dan masa
depan. Bukan hanya makna sejarah saja yang disingkapkan bagi kita oleh Yesus
Kristus. Kita bahkan diizinkan juga untuk mengerti masa sebelum sejarah ada dan
sesudah sejarah berhenti ada. Dari titik yang sama kita kenal tiga karya Allah
dalam sejarah: penciptaan, pendamaian dan penebusan. Apa yang Allah lakukan ini
ternyata bukan pekerjaan yang kebetulan. Hal itu sudah diputuskan oleh Allah
sejak kekal. Dengan melihat pada Kristus kita juga mengerti karya penebusan
yang berdimensi tiga: karya Kristus sebagai raja, nabi dan iman. Ketiganya
melahirkan gereja yang juga memiliki tiga dimensi: disatukan, dibangun dan
diutus. Dari sini kita juga menjadi sadar akan karya rangkap tiga dari Allah
dalam gereja: pembenaran, pengudusan dan penugasan. Akibatnya kita kenal tiga
watak dosa: kesombongan, kelambanan dan kepalsuan sebagai bentuk hidup yang
sedang berlalu. Pada saat yang sama kita juga kenal tiga watak dari kehidupan
yang sejati: iman, kasih dan pengharapan sebagai bentuk hidup yang sedang
datang. [32]
Tentang karakter eskatologis, meskipun
sudah kita singgung di atas, tapi baiklah kita catat satu poin secara khusus.
Dari sudut pandang kristologi, kehidupan di masa depan dapat kita pahami dalam
ketegangan yang saling melengkapi. Kehidupan yang baru itu sudah datang secara sempurna tetapi belum final. Antara kehidupan masa kini dan masa yang akan datang
ada kontinutas sekaligus diskontinutas. Apa yang sekarang kita
alami bersama dan di dalam Kristus akan kita alami juga di dalam hidup yang
baru di balik kematian. Karena itu tanda atau gambar Kristus yang kita terima
saat ini berguna bukan hanya untuk hidup masa kini, tetapi juga untuk hidup di
masa depan. Paulus menegaskan hal ini dengan sangat jelas: “Dengan demikian,
kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh Baptisan dalam kematian,
supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh
kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom. 6:
4). Serentak dengan ini patut kita tambahkan bahwa kemuliaan yang kelak kita
alami di dalam dan bersama Kristus di balik kematian tidak dapat dibandingkan
dengan penderitaan zaman sekarang ini. Lagi-lagi Paulus menunjukan itu bagi
kita, katanya: “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak
dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.”
Gambar Kristus yang Allah tenun dalam
hidup kita selaku anggota gereja adalah jaminan bahwa nanti, pada waktu Allah
mengakhiri karya keselamatanNya dalam sejarah, kita akan dimerdekakan dari
perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.
Gambar itu diukir Allah dengan kiasan baptisan (I Pet. 3:21). Ia merupakan tanda pengenal, uang muka (arrabon), untuk pengangkatan kita
sebagai anak, serta diundang masuk dalam tempat perhentian yang kekal, rumah
Bapa (Rom. 8: 23)..
Hal ini juga digambarkan kembali oleh
perempuan-perempuan NTT dalam motif dan corak ragam yang mereka rekayasa pada
kain tenun mereka. Seperti sudah kita catat, motif-motif itu berguna sebagai
tanda pengenal untuk diizinkan masuk ke dunia para arwah, dikumpulkan bersama
para leluhur yang sudah meninggal dunia. Di sini kita temukan sekali lagi,
prinsip korespondensi antara fungsi motif tenun ikat dan iman kepada Kristus.
Kita lihat bahwa kristologi ternyata
bukan motif yang tertutup dan eksklusif.[33]
Ia adalah motif yang oleh Den Dulk digambarkan sebagai sebuah gelombang yang
terus bergerak dan bersifat merangkul.[34]
Ia menyatukan motif-motif lain sehingga lahirlah sebuah konstruksi yang utuh,
kompak dan multidimensional. Allah sudah membisikan hal-hal ini kepada para
penenun di NTT ketika ia membentuk mereka dalam kandungan ibu.
Perempuan-perempuan NTT kembali menuangkan pengetahuan yang mereka peroleh itu
pada tiap helai benang yang mereka tenun jadi satu. Perempuan-perempuan NTT
berpartisipasi dalam karya Allah saat mereka menenun sebuah selimut bermotif.
Bagian keempat:
Manfaat metafora Gereja sebagai kain tenun
bagi masyarakat di NTT
Ada
beberapa manfaat positif yang dapat kita ambil dari pemahaman tentang gereja
dengan menggunakan metafora kain tenun. Manfaat itu kita bagi atas beberapa
pokok: ekologis, eklesiologis (doktrinal), dan eskatologis. Untuk jelasnya kita
bicarakan satu persatu.
2.11 Manfaat ekologis.
Mengerjakan sebuah kain tenun tidak
dapat dipisahkan dari kebutuhan untuk memelihara alam. Bahan-bahan baku untuk menenun, baik
itu benang maupun zat warna, semuanya berasal dari lingkungan hidup di mana
pekerjaan itu dilaksanakan. Pemeliharaan budaya tenun ada hubungan dengan
pemeliharaan pohon-pohon dan lingkungan alam. Dalam membuka kebun baru, para
petani tidak akan memusnahkan pepohonan yang diperlukan untuk proses menenun.
Sebaliknya, sambil menanam jagung, ubi dan tanaman pangan lain, mereka juga
membudidayakan tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi pekerjaan menenun.
Dengan menggunakan pekerjaan menenun
sebagai metafora untuk menjelaskan kehidupan bergereja, akan terbuka pintu bagi
kita untuk berdiskusi tentang perlunya pelestarian alam dan berekonomi dengan
prinsip ramah terhadap ekologi. Dengan kata lain, dalam metafora gereja sebagai
kain tenun Allah, terkandung pesan ekologis yang sangat kuat.
2.12 Manfaat eklesiologis
a. Wajah feminin gereja
Metafora gereja sebagai “kain tenun
milik Allah” mengajak kita untuk menampilkan pola hidup eklesiologis yang lebih
berwajah feminin. Hal ini disebabkan karena pekerjaan menenun adalah
ketrampilan yang khusus dimiliki oleh perempuan-perempuan NTT. Pada saat kita
bicara tentang Allah sebagai seorang penenun, yang muncul dalam pikiran kita
tentulah Allah sebagai perempuan. Selanjutnya, kita tahu dari Alkitab, bahwa
dalam mengusahakan keselamatan dunia, Allah tidak pernah mau bekerja sendiri.
Ia selalu melibatkan sebanyak mungkin orang dan memanfaatkan sebanyak mungkin
karunia. Kalau konsep ini kita terapkan dalam masyarakat NTT yang secara adat
mengenal adanya pembagian kerja secara seksual, maka tentulah orang-orang yang
diangkat Allah menjadi kawan-kawan kerjaNya adalah perempuan-perempuan. Dalam
masyarakat adat NTT adalah tidak wajar seorang perempuan mengangkat seorang
laki-laki sebagai rekan kerja.
Pekerjaan menenun adalah karunia
khusus bagi perempuan. Kalau kita menggunakan kain tenun sebagai metafora untuk
gereja, maka dengan sendirinya para pekerja dalam gereja adalah
perempuan-perempuan. Ungkapan “perempuan” yang kita pakai di sini bukan
pertama-tama pengertian harafiah tetapi simbolis. Gereja dibangun dan diurus
oleh perempuan-perempuan yang dijadikan oleh Allah sebagai kawan-kawan kerja.
Apakah sesungguhnya arti kata perempuan?
“Perempuan” berasal dari kata “empu”
artinya “yang berkuasa.”[35]
Di kalangan suku atoni perempuan
disapa bife yang berarti “dia yang memberi.”[36]
Dalam mitos-mitos dan cerita rakyat yang beredar di kalangan suku Atoni
disebutkan bahwa perempuan memberi hidupnya secara sukarela untuk
mempertahankan kehidupan manusia. Itu umpamanya nampak dalam mitos asal usul
padi dan jangung. Menurut yang empunya cerita dua jenis makanan pokok suku
Atoni ini berasal dari seorang perempuan yang bersedia dibunuh dan tubuhnya
dipotong-potong untuk kemudian ditaburkan di ladang. Dari potongan tubuh itu
tumbuh pelbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan, termasuk padi dan
jagung.[37]
Dari tuturan ini terkesan kuat bahwa
cara perempuan memperoleh, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan tidak lain
dan tidak bukan adalah untuk membela dan menyelamatkan kehidupan dalam satu
masyarakat. Kesimpulan ini sejiwa dengan peranan perempuan-perempuan dalam
kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat seperti yang saya baca dalam
tuturan kitab suci orang Kristen (Alkitab), terutama di sekitar peristiwa
keluaran (exodus) bangsa Israel dari
Mesir. Perkenankan saya menyebut Sifra dan Pua. Keduanya adalah bidan
melahirkan berkebangsaan Mesir. Raja mereka, Firaun, mengeluarkan dekrit:
setiap ibu Yahudi yang melahirkan anak laki-laki hendaklah dicekik sampai mati
lalu mayatnya dibuang ke sungai Nil. Sifra dan Pua mendapat komando dari
baginda raja untuk mengamankan dekrit itu. Firaun memerintahkan kematian setiap
anak lelaki Yahudi. Dua perempuan ini tidak tega. Meskipun berkebangsaan Mesir,
mereka merasa diri bukan agen kematian. Mereka menolak taat kepada titah sang
raja. Mereka menggunakan kuasa dan otoritas yang dikaruniakan dari atas pada
mereka untuk menyelamatkan kehidupan bayi laki-laki Yahudi. Resikonya sangat besar
karena melawan dekrit penguasa negeri itu. Tetapi dua perempuan ini tidak
takut.
Ada kontras yang luar biasa antara cara
Firaun memperoleh, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan. Firaun, laki-laki
itu, mempertahankan kekuasaan dengan cara melenyapkan orang-orang yang bakal tampil
sebagai saingan, persis sama dengan seorang laki-laki lain dalam PB, Herodes.
Firaun mempertahankan kekuasaan dengan jalan menyingkirkan atau mem-persona-non-grata-kan orang lain.
Sedangkan perempuan-perempuan tadi justru bertindak sebaliknya. Mereka berusaha
mempertahankan kehidupan, menyelamatkan orang-orang dari kebinasaan. Perempuan
adalah orang yang memberi diri dan apa
yang mereka miliki bagi kehidupan yang damai.[38]
Allah adalah seorang penenun. Gereja
adalah karya tenunan milikNya. Orang-orang yang ia panggil menjadi kawan kerja
adalah perempuan-perempuan. Gereja karena itu adalah karya perempuan-perempuan.
Lagi pula, dalam Alkitab gereja bahkan disebut sebagai mempelai perempuan (Wah.
19:21). Apa artinya bagi
kita? Artinya, dalam kehidupan bergereja para pekerja perlu sadar bahwa mereka
adalah perempuan-perempuan. Memang para pekerja itu ada (kebanyakan) yang
berjenis kelamin laki-laki. Tetapi mereka disebut mempelai perempuan. Artinya,
mereka wajib membangun gereja dan membina persekutuan menurut spiritualitas
yang dimiliki perempuan.
Perpecahan, konflik dan berbagai
kemelut yang terjadi dalam gereja sering kali muncul karena para pekerja dalam
gereja lebih bermentalitas algojo,
bertindak seperti meo (panglima
perang), dan berakting sebagai sang penakluk dalam gereja. Untuk ini saya
mencatat secara khusus banyak ekses yang timbul dalam kalangan kelompok doa di
wilayah GMIT. Praktek-praktek pelayanan berkarakter algojo yang mereka terapkan
sudah menimbulkan banyak keresahan. Apakah gaya algojo
dan berperilaku meo memiliki tempat
dalam gereja? Metafora gereja
sebagai “kain tenunan milik Allah” mendorong kita untuk meninggalkan mentalitas
meo dan pelayanan bergaya algojo,
yang gemar melakukan terror, suka
menciptakann horror, dan mulai
membudayakan spiritualitas bife, sang
pembela kehidupan, perancang persekutuan dan agen damai sejahtera dalam jemaat
dan dalam dunia milik Allah. Ya. Karena gereja adalah mempelai perempuan.
Bahkan lebih dari itu Allah sang penenunnya adalah pribadi yang berkasih-karunia.
b. Gereja sebagai persekutuan ex-centric
Metafora gereja sebagai “kain tenun
Allah” menolong kita untuk lebih memahami gereja dalam fungsinya untuk dunia.
Gereja ada untuk melayani Allah. Tetapi karena Allah adalah “Tuhan yang
berpaling kepada manusia,” gereja yang benar-benar ada untuk Allah haruslah
menjadi gereja yang ada untuk sesama, untuk orang lain, the church for others.[39]
“Gereja ada untuk Allah dan untuk dunia, bukan untuk diri sendiri.” Begitulah
isi pengakuan iman GMIT.[40]
Tuhan Allah menetapkan gereja dalam rangka keselamatan dunia. Damai sejahtera
yang diberikan kepada gereja, bukan untuk dirinya sendiri. Motif kristologi
yang Allah rajut dalam kain tenun miliknya dimaksud untuk memberikan sukacita
dan penghiburan serta pokok keselamatan dunia. Motif itu bukan hanya untuk
dinikmati sendiri oleh gereja. Yesus Kristus harus diwartakan dan
diproklamasikan gereja kepada dunia, supaya dunia yang hidup dalam
keputus-asaan dan kematian boleh melihat kepada Dia dan menjadikan Dia harapan
mereka.
Di NTT seperti sudah kita catat,
perempuan-perempuan menenun bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan privat. Kain
tenun juga berfungsi sebagai perekat ikatan kekerabatan dan ungkapan kasih dari
pemiliknya kepada sesamanya. Tukar-menukar cinderamata yang paling biasa
menurut adat masyarakat NTT adalah dengan kain tenun. Jes A. Therik mengatakan
bahwa bila orang kebanyakan selalu mengatakan cinta dengan bunga, di pulau Timor, Flores, Sumba dan sekitarnya penduduknya selalu mengatakan cinta
dengan tenunan.[41] Jelasnya
kain tenun dikerjakan dengan maksud melayani masyarakat dan sesama.
Dengan metafora gereja sebagai kain
tenun milik Allah jemaat-jemaat dapat dituntun untuk lebih memahami fungsi
sebagai pewarta damai sejahtera dalam masyarakat. Dalam laporan hasil konferensi
evangelisasi dari gereja-gereja di Eropa dan Amerika yang diselenggarakan oleh
World Council of Churches tanggal 22-26 Agustus 1966 di Boldern, Männendorf
ditegaskan bahwa dalam masyarakat masa kini gereja perlu memikirkan kembali (reconsider) relesinya dengan dunia.
Sikap memusuhi dunia, seperti yang dianut dalam pandangan antitese, tidak lagi
dapat dipertahankan. Sikap antitese terhadap dunia harus diganti dengan sikap
totalitas. [42] Ada dua rekomendasi yang
mereka ajukan.
Pertama, perlu dipertimbangkan kembali
urutan klasik tentang interaksi antara Allah dan dunia. Menurut urutan (orde)
itu gereja ada sebagai perantara antara Allah dan dunia. Jelasnya kita kenal
urutan berikut: Allah – gereja – dunia. Di sini ditekankan bahwa hubungan Allah
dengan gereja adalah primer, sedangkan dengan dunia sifatnya sekunder. Artinya,
Allah membutuhkan gereja untuk dapat datang ke dalam dunia, dan sebaliknya.[43]
Para
peserta konferensi percaya bahwa orde in perlu ditambahkan dengan orde
alternatif kita tidak dapat sekedar bicara tentang Allah – gereja – dunia, tapi
juga perlu berpikir tentang Allah – dunia – gereja. Hubungan Allah dan dunia
juga bersifat primer. Ini juga kata Alkitab. Yang jadi sasaran kasih Allah
adalah dunia.[44] Gereja
ada sebagai instrumen agar kasih itu dapat dirasakan. “Karena begitu besar
kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang
tunggal… (Yoh. 3:16). Allah mengutus AnakNya bukan untuk menghukum atau
mengutuk dunia, tetapi untuk menyelamatkannya. Menurut Paulus, di dalam Kristus
Allah mendamaikan dunia dengan diriNya (II Kor. 5:19). Gereja tidak disebut-sebut. Hubungan Allah dengan
gereja bersifat sekunder, sedangkan dengan dunia bersifat primer.[45]
Orde alternatif ini juga keprihatinan
GMIT seperti tertuang dalam pokok-pokok pikiran tentang Pengakuan dan
Pengajaran GMIT tahun 2003-2007. Di bawah pokok tentang Gereja (eklesiologi
GMIT) tertulis: “Karena Tuhan Allah menghendaki keselamatan dunia, maka ia
menciptakan Gereja. Gereja ada karena Allah mengasihi dunia, bukan sebaliknya.
Gereja karena itu tidak boleh dan bisa berkata: “Untung saja ada gereja kalau
tidak dunia sudah binasa.” Yang seharusnya gereja katakana ialah: “Untung saja
ada dunia, kalau tidak gereja tidak mungkin ada. Kalau begitu maka gereja
sangat berhutang budi kepada dunia. Ia karena itu harus menyatakan terima kasih
dan hormatnya pada dunia dengan cara bekerja bagi kebaikan dan keselamatan
dunia. Gereja ada dalam dunia tidak lebih dari “panitia” khusus yang dibentuk
Allah dalam rangka mendatangkan keselamatan bagi dunia.[46]
Orde ini juga nyata kalau kita bicara
tentang gereja sebagai “kain tenun Allah”. Allah membentuk motif kristologi
pada kain tenun miliknya untuk memberitahukan besarnya kasih yang ada padaNya
kepada dunia. Allah membentuk kain tenun milikNya untuk diberikan kepada dunia
menjadi bukti kasih kepada dunia.
Kedua, peserta konferensi mendesak
agar pemahaman klasik tentang gereja sebagai “waiting chuches” (gereja yang tinggal di tempat dan menanti
manusia datang kepada Allah) perlu diganti dengan “going churches”, gereja yang harus pergi kepada orang-orang di
tempat yang jauh, menjumpai manusia yang ada dalam kesibukan. Para
peserta konferensi menyebut pemahaman baru ini dengan istilah “ex-centric position of the church.”[47]
Waktu membaca rekomendasi ini saya teringat kiriman kain tenun dari calon suami
sepupu perempuan saya. Dengan selimut itu ia mengirim pesan kasih kepada saya.
Sekalipun saya terlalu sibuk sehingga tidak silaturahmi keluarga, dia tidak
melupakan saya.
Kalau gereja, termasuk yang ada di
NTT, menyadari diri sebagai “persekutuan yang pergi” kepada orang-orang yang
asyik dalam kesibukan masing-masing, atau yang terperangkap dalam kegelapan dan
dosa, pergi bukan sebagai meo untuk
membawa terror dan menyebar horror, tetapi menjumpai mereka sebagai bife yang memberi kehidupan, terang dan
kesejukan, cerita kehidupan bersama di NTT akan memiliki wajah yang lain dari
keadaan yang terjadi saat ini.
Tidaklah berlebihan jika saya katakan
bahwa inilah juga cita-cita yang hendak diraih GMIT dengan menjadikan “jemaat
misioner” (persekutuan yang diutus) sebagai visi dan misi pelayanannya di
tengah masyarakat NTT.
2.13 Manfaat eskatologis
Metafora gereja sebagai “kain tenun”
Allah dengan motif Kristologi memiliki makna yang berharga dalam hubungan
dengan ajaran Kristen tentang kehidupan di langit yang baru dan bumi yang
baru. Salah satu hal yang berhubungan
dengan itu adalah soal baptisan. Kita semua tahu baptisan merupakan pokok yang
hangat diperdebatkan di kalangan warga gereja termasuk di GMIT. Sudah merupakan
rahasia umum tentang adanya baptisan ulang di kalangan warga gereja. Karena
berpendapat bahwa baptisan percik tidak menyelamatkan meskipun dilakukan dalam
nama Kristus, beberapa orang memberi diri untuk dibaptis lagi dengan cara menyelam.
Di situ ia sekali lagi menerima cap Kristus. Untuk selamat orang percaya harus
menerima cap Kristus dengan cara selam, bukan percik. Layak tidaknya seseorang
diterima Allah dalam keselamatan bergantung pada bentuk baptisan yang dia
terima. Dan untuk itu Allah lebih menyukai baptisan selam.
Kita berhadapan dengan pertanyaan
manakah bentuk baptisan yang sah dan benar dan yang menentukan orang sampai ke
langit yang baru dan bumi yang baru? Untuk menjawab pertanyaan ini saya membawa
perhatian pembaca kepada cara perempuan NTT menyelesaikan motif di atas sebuah
kain tenun. Kita sudah sudah menyebut ada tiga metode menyelesaikan sebuah
motif: futus (mengikat benang), sotis
(menyisip benang), dan buna (mengait
dan menyungkit benang). Motif yang dikerjakan satu dan sama, yakni yang
berhubungan dengan tokoh mitologis yang dihormati dalam kepercayaan masyarakat
itu.[48]
Ada tiga metode penyelesaian
motif: futus, sotis dan buna. Tapi seperti sudah kita catat,
satu lembar kain dikerjakan dengan satu metode saja. Tabu bagi perempuan NTT
mengerjakan sebuah motif dengan tiga metode sekaligus pada selembar kain. Jika
sejak awal dikerjakan dengan cara futus ini yang dikerjakan untuk seterusnya. Teknik
ini sangat penting kita perhatikan dalam hubungan dengan soal baptisan. Kalau
kita mengerti baptisan sebagai pekerjaan mengukir motif (tanda dan meterai)
Kristus dalam hidup seseorang, sudah tentu percik, siram atau selam adalah
metode saja. Ini dapat kita sejajarkan dengan teknik mengerjalan motif dengan
cara futus, sotis dan buna. Orang yang gemar memberi diri
dibaptis berulang-ulang itu ibarat ia membuat sebuah kain tenun dengan dua atau
tiga metode yang berbeda. Ini sebuah kejanggalan. Bukan hanya itu, motif pada
kain itu menjadi hancur. Tanpa pengenal kemargaannya rusak.
Waktu seseorang meninggal
dunia ia dimakamkan dengan kain tenun miliknya. Orang tidak mempersoalkan
apakah itu yang futus, atau sotis, maupun buna. Yang penting bukan teknik mengerjakan motif pada kain
tenunannya tetapi motif itu sendiri sebagai tanda pengenal kemargaan. Motif
itulah yang menjadi tanda pengenal untuk diperlihatkan kepada penjaga pintu
gerbang dunia para leluhur. Jika motif yang dia tunjukan dikenal, ia diizinkan
masuk. Sekali lagi corak ragam gambar atau motif itu yang penting, bukan metode
pembuatannya.
Hal yang sama berlaku juga
dalam hal keselamatan. Yang utama bagi keselamatan ialah bersekutu dalam
Kristus, atau menjadi satu dengan Kristus. Baptisan adalah jalan menuju
kesatuan dengan Kristus.[49]
Dalam gereja dikenal tiga cara metode baptisan percik, siram dan selam. Yang
diperlukan untuk masuk dalam keselamatan bukan metode seseorang menerima
baptisan, melainkan iman kepada Allah Tritunggal di dalam Yesus Kristus yang
menjadi isi dari baptisan.[50] Pada waktu kedatangan Kristus yang kedua, Allah akan menyelamatkan mereka
yang telah dimeteraikan sebagai milik Kristus. Allah akan melihat motif
Kristologi yang ditenun dalam hidup mereka. Apakah motif itu dikerjakan dengan
cara percik, siram atau selam itu bukan soal.
Hal ini penting untuk kita ketahui.
Banyak warga GMIT memberi diri untuk dibaptis ulang dengan cara selam karena
tidak puas dengan baptisan percik yang ia terima waktu masih kanak-kanak. Jika
ini terjadi, itu seumpama membuat motif yang sama dengan cara sotis atau buna di atas motif yang sudah dibuat sebelumnya dengan cara futus. Apa hasilnya? Bisa kita
bayangkan. Motif itu pasti rusak. Ia tidak lagi dapat dikenal. Ketika
pemiliknya memperlihatkan motif itu kepada penjaga pintu gerbang sorga dalam
perjalanannya ke rumah Bapa pada saat ia meninggal dunia, sang penjaga tidak
mengenal motif itu. Besar kemungkinan ia tidak diperkenankan masuk, perhentian
yang kekal yang ia mimpikan tidak menjadi bagiannya. Rohnya akan berkeliaran
tidak karuan. Amatlah mengerikan menerima nasib yang demikian.
[1] Paul
Michael Taylor & Lorraine
V. Aragon,
Beyond the Java Sea. Art of Indonesia’s Outer Islands,
(Washington D.C: Harry N. Abrams INC, 1991), hlm. 201.
[2] Bernard S.
Myers, Understadng the Art, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1958), hlm.
220.
[3] Jes A.
Therik, Tenun Ikat dari Timur, (Jakarta: Pudtaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 18.
[4] Jes. A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 24.
[5] Parsudi
Suparlan, “Kebudayaan Timor,” Dalam: Koentjaraningrat (Ed.), Manusia dan
Kebudajaan di Indonesia, (Djakarta: Penerbit Djambatan, 1971), hlm. 213.
[6] Bandingkan Ranjini
Rebera, A Search for Symbols. An Asian Experiment, (Manila: Christian
Conference of Asia Women’s Concerns 1990), hlm. 2.
[7] Jes. A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 24.
[8] T.J. Van
Oostrom Soede, Timoreesche Kains en Dooden, dalam: De Timor Bode No. 46.
Februari 1920, hlm. 47.
[9] Paul
Michael Taylor & Lorraine V. Aragon, op. cit., hlm. 206.
[10] Untuk pokok
ini saya persilahkan pembaca mencermati bab tentang Makna Allah dalam ike-suti dan suni-auni di bagian lain dari buku ini.
[11] H.G.
Schulte Nordholt, The Political System of the Atoni of Timor, (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1971), hlm. 42.
[12] Bdg. Juga
Ir. Ansgerius Takalapeta, Membangun dari Desa Memimpin dengan Hati. Sebuah
Otobiografi 1954-2003, (Jakarta:
Yayasan Nuba Raja Lagadoni, 2004), hlm. 3.
[13] Vandaar:
Het Tijdschrift voor missionair en diaconaal werk in binnen – en buitenland,
September 2002, hlm.218
[14] Jes A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 31.
[15] G. Th.
Therik, “Pesan Spiritual Dalam Tenunan” dalam: Berita GMIT No. 6. (Kupang:
Majelis Sinode, 1990), hlm. 4.
[16] Eben Nuban
Timo, “Menenun Sebagai Sebuah Karya Teologi,” dalam: Pos Kupang, 2002
[17] Paul
Michael Taylor & Lorraine V. Aragon, op. cit., hlm. 202
[18] Bert en Jannie Kramer, “De Geboorte van een staat”, dalam: Vandaar: Het Tijdschrift voor
missionair en diaconaal werk in binnen – en buitenland, September 2002, hlm.22.
[19] Marie Jeanne Adams, System and Meaning
in East Sumba Textiel Design: A Study in Traditional Indonesian Art, 1969, hal.
88.
[20] Paul
Michael Taylor & Lorraine V. Aragon, op. cit., hlm. 203.
[21] G.C.
Berkouwer, Dogmatische Studiēn. De Kerk I: Eenheid en Katholocoteit, (Kampen: J.H. Kok, 1970), hlm.
50.
[22] G.C.
Berkouwer, op. cit., hlm. 33.
[23] Jűrgen Moltmann, The Church in the Power of the Spirit. A Contribution
to Messianic Ecclesiology, (London: SCM Press, Ltd, 1977), hlm. 19.
[24] World
Council of Churches, The Church for Others. Two Reports on the Missionary
Structure of the Congregation, (Geneva: World Council of Churches, 1967), hlm
16.
[25] Arnold van
Gennep, The Rites of Passage, (London: routledge & Kegan Paul, 1960), hlm.
113.
[26] World
Council of Churches, The Church for Others… hlm. 22.
[27] F.W.
Grosheide, Korte Verklaring der Heilige Schrift Met Nieuwe Vertaling: II
Korinthe, (Kampen: J.H. Kok, 1955), hlm. 45.
[28] Emil
Brunner, God en Mensch, (Amsterdam: W. Ten Have, 1940), hlm. 158.
[29] Emil
Brunner, God…, hlm. 159.
[30] Emil
Brunner, God…, hlm. 158.
[31] J. van
Genderen, “De leer van de verzoening bij Karl Barth,” dalam: A.G. Knevel
(Red.), Visie op Karl Barth, (Kampen: J.H. Kok, 1987), hlm. 58.
[32] Eben Nuban
Timo, The Eschatological Dimension in Karl Barth’s Thinking and Speaking about
the Future, (Kampen: Drukkerij van den Berg, 2001), hlm 174.
[33] Eben Nuban
Timo, The Eschatological…, hlm. 176.
[34] Maarten den
Dulk, Als twee die spreken. Een manier om de heiligingsleer van Karl Barth te
lezen, (‘s-Gravenhage, 1987), hlm. 171.
[35] K.A.
Kapahan Kaunang, Perempuan. Pemahaman Teologis Tentang Perempuan Dalam Konteks
Budaya Minahasa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. xiv.
[36] (Krayer van Aalst,
“Brieven uit Kapan V, 4 Februari 1918,” dalam: De Timor Bode, 1918, hlm. 3.
[37] Eben Nuban
Timo, Pemberita Firman Pencinta Budaya, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004), hlm 25.
[38] Eben Nuban Timo,
“Politik Perempuan”. Dalam: Pos Kupang Sabtu 20 Maret 2004.
[39] Eben Nuban
Timo, I Believe in the Holy Spirit. An Attempt to understand the Meaning of the
Third Article of Christian Creed Especially Nicene-Constantinopel Creed as it
is Understood by Karl Barth and its Significance for Christians in Indonesia,
(Kampen: The theological University of the Reformed Churches in the
Netherlands, 1997.), Magister Thesis, hlm. 48.
[40] Majelis
Jemaat “Kaisarea BTN Kolhua Kupang,
Himpunan Ketetapan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor Tahun 2003.
[41] Jes. A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 24.
[42] Eben Nuban
Timo, I Believe in the Holy Spirit…, hlm. 48..
[43] World
Council of Churches, The Church for…, hlm. 16.
[44] Majelis
Sinode GMIT, Haluan dan Kebijaksanaan Umum Pelayanan 2003-2007 Gereja Masehi
Injili di Timor, (Kupang: Ms GMIT,. 2003), hlm. 4.
[45] World
Council of Churches, The Church for…, hlm. 17.
[46] Majelis
Jemaat “Kaisarea BTN Kolhua Kupang,
Himpunan…
[47] World
Council of Churches, The Church for…, hlm. 17.
[48] Jes A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 26.
[49] Eben Nuban
Timo, Baptisan Roh Menurut Alkitab, (Kupang: Yayasan Afnekan GMIT, 2003), hlm.
16.
[50] Lihat Eben
Nuban Timo, Kami Membaptis Anak-Anak Dengan Memercik, (Kupang: Yayasan Afnekan,
2003).
[1] Paul
Michael Taylor & Lorraine
V. Aragon,
Beyond the Java Sea. Art of Indonesia’s Outer Islands,
(Washington D.C: Harry N. Abrams INC, 1991), hlm. 201.
[2] Bernard S.
Myers, Understadng the Art, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1958), hlm.
220.
[3] Jes A.
Therik, Tenun Ikat dari Timur, (Jakarta: Pudtaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 18.
[4] Jes. A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 24.
[5] Parsudi
Suparlan, “Kebudayaan Timor,” Dalam: Koentjaraningrat (Ed.), Manusia dan
Kebudajaan di Indonesia, (Djakarta: Penerbit Djambatan, 1971), hlm. 213.
[6] Bandingkan Ranjini
Rebera, A Search for Symbols. An Asian Experiment, (Manila: Christian
Conference of Asia Women’s Concerns 1990), hlm. 2.
[7] Jes. A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 24.
[8] T.J. Van
Oostrom Soede, Timoreesche Kains en Dooden, dalam: De Timor Bode No. 46.
Februari 1920, hlm. 47.
[9] Paul
Michael Taylor & Lorraine V. Aragon, op. cit., hlm. 206.
[10] Untuk pokok
ini saya persilahkan pembaca mencermati bab tentang Makna Allah dalam ike-suti dan suni-auni di bagian lain dari buku ini.
[11] H.G.
Schulte Nordholt, The Political System of the Atoni of Timor, (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1971), hlm. 42.
[12] Bdg. Juga
Ir. Ansgerius Takalapeta, Membangun dari Desa Memimpin dengan Hati. Sebuah
Otobiografi 1954-2003, (Jakarta:
Yayasan Nuba Raja Lagadoni, 2004), hlm. 3.
[13] Vandaar:
Het Tijdschrift voor missionair en diaconaal werk in binnen – en buitenland,
September 2002, hlm.218
[14] Jes A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 31.
[15] G. Th.
Therik, “Pesan Spiritual Dalam Tenunan” dalam: Berita GMIT No. 6. (Kupang:
Majelis Sinode, 1990), hlm. 4.
[16] Eben Nuban
Timo, “Menenun Sebagai Sebuah Karya Teologi,” dalam: Pos Kupang, 2002
[17] Paul
Michael Taylor & Lorraine V. Aragon, op. cit., hlm. 202
[18] Bert en Jannie Kramer, “De Geboorte van een staat”, dalam: Vandaar: Het Tijdschrift voor
missionair en diaconaal werk in binnen – en buitenland, September 2002, hlm.22.
[19] Marie Jeanne Adams, System and Meaning
in East Sumba Textiel Design: A Study in Traditional Indonesian Art, 1969, hal.
88.
[20] Paul
Michael Taylor & Lorraine V. Aragon, op. cit., hlm. 203.
[21] G.C.
Berkouwer, Dogmatische Studiēn. De Kerk I: Eenheid en Katholocoteit, (Kampen: J.H. Kok, 1970), hlm.
50.
[22] G.C.
Berkouwer, op. cit., hlm. 33.
[23] Jűrgen Moltmann, The Church in the Power of the Spirit. A Contribution
to Messianic Ecclesiology, (London: SCM Press, Ltd, 1977), hlm. 19.
[24] World
Council of Churches, The Church for Others. Two Reports on the Missionary
Structure of the Congregation, (Geneva: World Council of Churches, 1967), hlm
16.
[25] Arnold van
Gennep, The Rites of Passage, (London: routledge & Kegan Paul, 1960), hlm.
113.
[26] World
Council of Churches, The Church for Others… hlm. 22.
[27] F.W.
Grosheide, Korte Verklaring der Heilige Schrift Met Nieuwe Vertaling: II
Korinthe, (Kampen: J.H. Kok, 1955), hlm. 45.
[28] Emil
Brunner, God en Mensch, (Amsterdam: W. Ten Have, 1940), hlm. 158.
[29] Emil
Brunner, God…, hlm. 159.
[30] Emil
Brunner, God…, hlm. 158.
[31] J. van
Genderen, “De leer van de verzoening bij Karl Barth,” dalam: A.G. Knevel
(Red.), Visie op Karl Barth, (Kampen: J.H. Kok, 1987), hlm. 58.
[32] Eben Nuban
Timo, The Eschatological Dimension in Karl Barth’s Thinking and Speaking about
the Future, (Kampen: Drukkerij van den Berg, 2001), hlm 174.
[33] Eben Nuban
Timo, The Eschatological…, hlm. 176.
[34] Maarten den
Dulk, Als twee die spreken. Een manier om de heiligingsleer van Karl Barth te
lezen, (‘s-Gravenhage, 1987), hlm. 171.
[35] K.A.
Kapahan Kaunang, Perempuan. Pemahaman Teologis Tentang Perempuan Dalam Konteks
Budaya Minahasa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. xiv.
[36] (Krayer van Aalst,
“Brieven uit Kapan V, 4 Februari 1918,” dalam: De Timor Bode, 1918, hlm. 3.
[37] Eben Nuban
Timo, Pemberita Firman Pencinta Budaya, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004), hlm 25.
[38] Eben Nuban Timo,
“Politik Perempuan”. Dalam: Pos Kupang Sabtu 20 Maret 2004.
[39] Eben Nuban
Timo, I Believe in the Holy Spirit. An Attempt to understand the Meaning of the
Third Article of Christian Creed Especially Nicene-Constantinopel Creed as it
is Understood by Karl Barth and its Significance for Christians in Indonesia,
(Kampen: The theological University of the Reformed Churches in the
Netherlands, 1997.), Magister Thesis, hlm. 48.
[40] Majelis
Jemaat “Kaisarea BTN Kolhua Kupang,
Himpunan Ketetapan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor Tahun 2003.
[41] Jes. A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 24.
[42] Eben Nuban
Timo, I Believe in the Holy Spirit…, hlm. 48..
[43] World
Council of Churches, The Church for…, hlm. 16.
[44] Majelis
Sinode GMIT, Haluan dan Kebijaksanaan Umum Pelayanan 2003-2007 Gereja Masehi
Injili di Timor, (Kupang: Ms GMIT,. 2003), hlm. 4.
[45] World
Council of Churches, The Church for…, hlm. 17.
[46] Majelis
Jemaat “Kaisarea BTN Kolhua Kupang,
Himpunan…
[47] World
Council of Churches, The Church for…, hlm. 17.
[48] Jes A.
Therik, Tenun Ikat…, hlm. 26.
[49] Eben Nuban
Timo, Baptisan Roh Menurut Alkitab, (Kupang: Yayasan Afnekan GMIT, 2003), hlm.
16.
[50] Lihat Eben
Nuban Timo, Kami Membaptis Anak-Anak Dengan Memercik, (Kupang: Yayasan Afnekan,
2003).