Arus
Umum: Model-model Teologi Feminis dan Relevansinya
bagi
Pengembangan Teologi Feminis di NTT
A. Pendahuluan
1Latar Belakang
Mengamati fenomena
sosial masyarakat yang pada dasarnya sangat majemuk, mengundang banyak sekali
operasi studi. Terutama dalam disiplin antropologi, sosiologi dan banyak
disiplin ilmu yang dikembangkan darinya. Tiap disiplin memberi perhatian
terutama denan bobot studi yang terintegrasi.
Salah satu fenomena
sosial yang sedang gencar diberi perhatian studi ialah mengenai ketidakadilan
yang menampakkan wajah dalam aktifitas kehidupan, peran dan status dari
perempuan. Fenomena ini terungkap dan diangkap sebagai bagian yang sangat perlu
ditanggapi dalam ranah keilmuan ialah karena adanya distingsi gender. Pokok
distingsi ini ialah bahwa faktor ketidakadilan mewarnai interaksi dua insan
sosial, yakni laki-laki dan perempuan. Interaksi inilah yang di dalamnya sudah
mencakup ambivalensinya, yakni antara kesadaran akan keadilan dan pengabaian
keadilan, superior-inferior, mengahasilkan distingsi sosial-gender. Jeny
Teichman menyampaikan bahwa distingsi itu dihasilkan juga dari meniru perbedaan
biologis alami.
Ihwal jender,
ketidakadilan tersebut dialami lebih banyak dan khusus bagi insan perempuan
(dan juga laki-laki) secara global di sepanjang zaman. Ketidakadilan tersebut
sekali lagi muncul dan dialami, paling tidak dalam rupa-rupa kekerasan terhadap
perempuan dalam aktifitas feminisnya yang menghasilkan penaklukan, subordinasi
terhadap wanita (perempuan dinomorduakan), marjinalisasi (peminggiran secara
ekonomi, peran natural, posisi dan status di masyarakat), beban kerja yang
banyak, stereotipe (anggapan baru/cap-capan/stigtisasi). Dari sinilah muncul
tendensi penyikapan lebih intens sebagai kebutuhan dan cita-cita glokal dan
individual untuk menjadikan masyarakat dan dunia egaliter (hidup setara dan
adil) yang layak dihuni.
Banyak hal dapat
dibicarakan mengenai suatu dunia yang layak dihuni. Salah satunya mengenai
konsentrasi dari pencarian dan penegakkan keadilan terhadap gender, lebih
khusus yang dialami oleh perempuan. Di NTT secara khusus sebagai bagian
integral, dari yang lokal sekaligus global, ada banyak khasus mengenai perlakuan
budaya, sejarah yang nota benenya dihidupi menurut struktur patriarkat. Struktur
ini mengasumsikan urgensi ketidakadilan gender yang menyentuh semua dimensi
kehidupan: kultural, religius-institusional, ideologis-politis, ekonomis, dan
ekologis. Dalam tulisannya, Banawiratma menandaskan bahwa sentuhan itu
menyentuh lagi level kehidupan, yakni: pribadi, keluarga, masyarakat,
lingkungan kerja, negara, agama. Dengan demikian, struktur patriarkat menjadi
semacam roh yang menjiwai hampir di seluruh aktifitas sosial masyarakat NTT. Karena
itu, dalam menata kembali urgensinya, gerakan feminis menjadi salah satu alat
operasional yang bersifat konsentris.
Konsentrasi dilakukan melalui
banyak perspektif. Untuk menentukan perspektif yang banyak, akan sangat perlu
dilakukan dengan menentukan dan mempelajari perspektif khas dan model-model
perspektif dari feminis secara teologis.
B. Mengapa
Teologi Feminis Kristen?
2.
Sejarah Lahirnya Teologi Feminis
Teologi feminis diprakarsai oleh Kaum perempuan Ero-Amerika. Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita
dan mahasiswi teologi di Amerika Serikat mengembangkan satu jurusan teologi
baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Asumsi mendasar mereka untuk berteologi bukan lagi asumsi
prafeminis, yang memandang bahwa kehidupan perempuan mempunyai beberapa aspek
yang unik, dapat setara dengan laki-laki, melainkan keyakinan yang kuat bahwa
perempuan dalam segala peran dan statusnya setara dengan laki-laki. Mereka pada
umumnya memiliki praasumsi egalitarian.
Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang
mewabah ke seluruh dunia, khususnya bagi masyarakat Amerika Utara. Akar dari
aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20, yaitu pada masa sesudah penghapusan
perbudakan dan hak pilih kaum wanita diakui dan dilegitimasi di Amerika dalam
undang-undang. Hal ini dikarenakan signifikansi dan intensitas
perjuangan pergerakkan kaum perempuan melalui perspektif gender (perspektif
sosial). Ini merupakan sebuah tuntutan revolusioner dalam tatanan dunia. Mereka
melakukan sesuatu yang baru pada waktu itu, yaitu dengan mengejar gelar
dibidang teologi, yang sebelumnya hanya diikuti oleh kaum lelaki saja. Hal ini
dilakukan guna membebaskan kaum perempuan yang mengalami ketidakadillan dan
penindasan. Pada tahun 1970-an dan sepanjang tahun 1980-an pengalaman kaum
perempuan berkulit putih diunggulkan. Namun banyak dari kaum perempuan ini
menyadari bahwa teologi mereka juga mengalami rabun senja serta mengakui bahwa
dalam menguniversalkan pengalaman mereka terpdapat pula bentuk patriakat yang
kelihatan. Oleh karena itu para teolog feminis memperluas perhatian mereka agar
merangkul semua kaum perempuan dari berbagai lokasi sosial yang berbeda dari
lokasi sisial mereka sendiri, termasuk juga
kaum laki-laki yang ditindas. Para teolog feminis Ero-Amerika menyatakan
sikap solider dengan kaum perempuan di dunia kedua dan kaum perempuan dan
laki-laki di dunia ketiga dalam perjuangan menentang penindasan patriarkat.
Kemudian memiliki suatu tekad bersama untuk memahami Allah dalam Yesus Kristus
dari sisi pengalaman kaum perempuan untuk
mendorong kaum perempuan turut terlibat aktif dalam berteologi demi
kepentingan bersama.
Semua teologi feminis menganut prinsip patriakat dan
androsentrisme. Para teolog dan pemimpin gerejani melayani dengan membawa injil
bagi jemaat. Namun, telaah atas sejarah gereja-gereja Kristen di Eropa Barat
dan Amerika menyingkapkan bahwa dalam hal Patriakat. Ada upaya para teolog
membawa injl untuk menentang patriakat tetapi mereka gagal. Sebab dalam
menyampaikan berita injil para teolog dan pemimpin gerejani juga memakai Alkitab
untuk mendukung kejahatan-kejahatan ditengah masyarakat. Salah satu misalnya
perempuan dipandang sebagai makhluk yang berbeda dan makhluk cacat dan
terkutuk. Selain itu dalam prinsip androsentrisme menjadi persoalan sistemik
dalam kehidupan gereja. Sebab ada pemahaman bahwa kaum perempuan harus
dikucilkan dari peran kepemimpinan gerejani. Singkatnya, Perempuan tidak boleh
menjadi pemimpin.
Kebanyakan orang mengalami hal menggereja itu pada kebaktian hari
minggu dan sering menajdi kesempatan secara simbolik status kelas dua
dipertegas. Khotbah sangat jarang memusatkan pada bacaan-bacaan yang
menampilkan perempaun. Di samping itu juga dalam liturgi tidak ditemukan
ungkapan mother, Women atau sisterhood sebab
kaum laki-laki dipandang sebagai yang mewakili seluruh manusia di hadapan
Allah.
Dalam patriakat mengabsahakan berbagai bentuk penindasan seperti
seksisme dari tata penciptaan: 1.
Orang-orang Afrika boleh diperbudak karena dibawah tulah Nuh atas anaknya Ham.
2. Israel mempertahankan kebiasaan memelihara budak. 3. Kristus tidak pernah
mengajar menentang perbudakan. 4. perbudakan merupakan tingkat rendah dalam
tatanan sosial yang diciptakan Allah. 5. perbudakan orang Afrika justru
memajukan taraf kehidupan mereka atas akses kepada injil yang membuat mereka
dari orang-orang yang tidak beradab menjadi beradab. Sebuah amanat yang
ditunjukan sama sekali berbeda dan disalahgunakan selama berabad-abad kemudian
untuk mengabsahkan perbudakan.
Dalam era perdangagan budak oleh orang-orang Eropa Barat dan
Ero-Amerika tidak mempersoalkan moralitas perbudakan itu. Para pemimpin
protestan juga memandang perbudakan sebagai suatu soal politik dan ekonomi dan
bukan perkara religious dan moral. Sehingga banyak di antara mereka tidak
membela orang-orang Afrika dalam perbudakan itu. Kolonialisme Eropa juga menjadi bentuk
patriakat yang memiliki dampak destruktif yang panjang atas hidup kaum perempuan
dan laki-laki, khususnya di dunia ke tiga. Masyarakat dan bangsa terus
menghadapi soal-soal yang ditinggalkan penaklukkan kolonial oleh bangsa-bangsa
barat Eropa Barat. Bebarapa kaum feminis berupaya untuk membedah persoalan ini.
Teologi feminis mengakui bahwa teologi tidak dapat dilaksanakan
tanpa upaya yang keras untuk mengatasi hal-hal yang bertentangan dengan amanat
Kristen yang mendukung gerakan feminis
akan menunjukkan sikap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang
berkomitmen untuk memperbaharui masyarakat agar keseteraan penuh antara
laki-laki dan perempuan dihormati. Untuk itu teologi feminis tidak bisa hanya
keluar dari intelektual melainkan harus memiliki implikasi demi memajukan kaum
perempuan dan orang-orang tertindas dalam gereja dan masyarakat. Dari semuanya
itu sangat diperlukan pembaruan sistem pemikiran yang membenarkan tata sosila
yang tidak adil dan ini menjadi hal penting bagi integrasi daya hidup agama
Kristen.
Dalam perkembangannya,
telah bermunculan beberapa penulis wanita mengembangkan dan memperluas pengaruh
gerakan feminisme ini ke dalam suatu karya tulisan/buku. Mereka menyoroti
pengaruh 'kecendrungan patriarkat yang menurut mereka begitu dominan' ada di
dalam Alkitab dan juga dalam penafsiran tradisi gereja secara socio-kultural,
terutama dalam konsep prihal Allah Tritunggal.
3.
Latar Belakang lahirnya Teologi Feminis: suatu
sasaran utama studi
Kalau North American Black Theology dan Latin American Liberation Theology dimulai
dengan berlandaskan pada suatu pengalaman ketidakadilan dalam berbagai wajahnya, yaitu penindasan yang sangat mendalam sehingga
'penindasan' ini menuntut mereka untuk mendapatkan pembebasan, maka dalam
gerakan Teologi Feminis landasan mereka adalah situasi penganiayaan dan
penindasan terhadap kaum wanita. Wanita dibebaskan dari penganiayaan dan
penindasan (oleh kaum laki-laki) sebagai
sebuah pengalaman yang sudah terjadi
selama berabad-abad. Oleh karena itu, tema seputar pengalaman penindasan
terhadap kaum wanita menjadi arah dasar teologi mereka. Sebuah pengalaman dimaksud ialah pengalaman dalam iman akan
Allah. Dengan begitu teologi feminis memusatkan pengalaman iman manusia dalam
ketertindasan, lebih daripada itu pengalaman sosial mereka yang lebih luas, dikembangkan dari perspektif wanita atau
terpusat pada wanita. Perspektif tadi ialah perspektif iman dan sikap iman Kristen.
Sehingga, teologi feminis dapat disebut sebagai salah satu studi dari perpektif
perempuan yang menelaah dan menyikapi suatu pengalaman pelik dan pahit akan
rupa-rupa ketidakadilan (global). Penelaahan tersebut dilakukan menurut disiplin
paradigma iman Kristen. Paradigma ini diutarakan berdasarkan paradigma
pembebasan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa latar belakang melakukan teologi
feminis ada pada tuntutan pembebasan. Sederhananya ialah bahwa teologi feminis
adalah bagian integrasi dari teologi pembebasan dengan memperluas asalisis yang
sudah dilakukan oleh teologi-teologi pembebasan, yakni dengan analisis gender.
Akhir abad kedua puluh teologi feminis berbagi/memiliki kesamaan tertentu dengan Teologi Hitam Amerika
Utara dan teologi pembebasan Amerika Latin. Seperti mereka, teologi feminis dimulai dengan situasi penindasan, serta munculnya refleksi penting berdasarkan praksis pengalaman orang tertindas untuk membebaskan diri dari denominasi.
Feminisme
Kristen ingin menunjukkan pada masyarakat bahwa laki-laki maupun perempuan
hidup dan bekerjasama sebagai mitra sejajar yang mempunyai tanggungjawab yang
sama. Namun Feminisme Kristen juga mengakui perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan pada dasarnya tidak ditolak. Yang dicari adalah suatu
status kesetaraan dan peran sosial, begitu
juga di hadapan Allah. Meskipun begitu, Feminisme tidak menginginkan
dominasi kaum perempuan terhadap laki-laki ataupun masyarakat pada umumnya.
Kaum Feminis mewariskan pemikiran eksklusif yang menentukan kebudayaan barat
(yang berpikir secara eksklusif), dan mencari pemikiran inklusif yang menerima
kepelbagaian sebagai kekayaan dan dorongan untuk mencari kebenaran yang lebih
dalam dan utuh. Oleh karena itu, sebagai orang kristen hendak menekankan
ketuhanan atau keilahian sebagai rahasia yang melampaui segala sesuatu yang
dapat kita bayangkan dan pekirkan sehingga ia dapat didekati dari berbagai
segi. Dalam hubungan dengan penganut agama dan ideologi lain, kita hendaknya
bekerja demi keadilan dan perdamaian, serta kehiduan manusia dan berusaha
memberi kesaksian atas kasih Allah. Inilah salah satu hakikat studi feminis.
Dengan Studi feminis adalah studi keadilan Allah, yaitu mencari dan
menampakkan keadilan Allah, sebagai keadilan, untuk diperhadapkan kepada dunia
yang tidak adil. Begitu juga studi ini adalah studi pembebasan umat
Allah, yang dapat dilakukan bukan saja oleh perempuan, tetapi juga laki-laki.
Demikian studi ini adalah studi persekutuan atau gereja, yaitu studi umat Allah,
studi yang menempatkan keadilan pada posisi yang tepat bagi semua umat
manusia.
4. Pendekatan Teologi Feminis
Banyak orang mencari
tahu tentang pegangan fundamental dari teologis feminis. Secara sadar dapat
ditemukan melalui tradisi hermeneutika. Akan tetapi, merasa belum begitu sadar
akan unsur hakikinya. Anne M. Clifford menyumbangkan secara gamblang bahwa unsur-unsur
hakiki dari teologi feminis bersifat profetis dan liberatif. Kedua unsur ini
adalah juga unsur yang digali dari Alkitab.
Dalam
tradisi profetis alktabiah, para pelayan Allah memberi perhatian pada hal yang
mengabaikan kebenaran Allah yang menyelamatkan semua jemaat. Salah satu ciri
yang membedakan dari teologi feminis ialah memusatkan perhatian pada
keanggotaan kaum perempuan yang diabaikan dalam jemaat. Oleh karena itu
penyebutan profetis tersebut sebenarnya ingin membebaskan teologi Kristen dari
pola rabun senja patriakat, yang mengutamakan pengalaman, pemikiran dan nilai
kaum laki-laki selama selama berabad-abad. Hal ini juga yang setidaknya telah
disampaikan oleh salah satu teolog pembebasan, Juan Louis Segundo dalam
tulisannya, Lyberation of theology (1976),
yaitu teologi pembebasan sebagai pembebasan teologi.
Kaum Feminis
mengembangkan tiga langkah dalam berteologi (feminis). Pertama, dimulai dengan kritik terhadap peristiwa masa lampau,
terutama terhadap tradisi teologi, gereja dan budaya yang cenderung bernuansa
patriarkat. Kritik tersebut dimaksudkan sebagai semacam penyembuhan atas
ingatan akan adanya bahaya penindasan yang dialami kaum wanita pada masa lampau
yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal ini dilakukan dengan jasa kritik historis. Mengeritik
dominasi maskulin dalam tradisi teologi, sejarah gereja dan budaya.
Kedua, mencari alasan, istilah dan alternatif
lain untuk mendukung gerakan yang disesuaikan dengan keinginan mereka, terutama
dari Kitab Suci, dan juga dari luar Alkitab. Ketiga, mereka mengembangkan metode teologi untuk merevisi doktrin
yang tidak sesuai dengan lingkup dunia wanita.
Seperti juga American Liberation Theology, Feminisme
melihat teologi sebagai refleksi dari suatu tindakan atau pengalaman yang
diterima kaum wanita yang tertindas oleh kaum laki-laki. Menurut mereka, semua
pendekatan teologi Feminis harus didasarkan pada pengalaman praksis wanita,
bukan bersumber utama kepada Alkitab atau tradisi gereja. Tentang hal ini J.
Grenz mengatakan; “Bukan
kebetulan bahwa langkah mendasar ini datang
terakhir, teologi feminis, melihat teologi
sebagai refleksi atas proses rekonstruksi kepercayaan
Kristen dan kehidupan berdasarkan pengalaman perempuan.”
Untuk membenarkan pandangannya, para teolog
feminis memberikan kritik terhadap teologi dan
tradisi Gereja terutama kritik terhadap pandangan para Bapa Gereja. Pertama-tama kritik holistikal terhadap teologi yang
berabad-abad, yang sangat maskulin. Artinya, semua konstruksi teologi yang
berabad-abad selama ini bersifat kelaki-lakian. Sebagai contoh, Rosemary Radford
Ruether, mengkritik para Bapa gereja dan ahli filsafat seperti Origenes,
Agustinus, Socrates, Plato, dan
lain-lain, yang menurutnya hanya menghargai keberadaan kaum laki-laki sebagai ‘the Image of God’ sedangkan wanita
bukan ‘the Image of God. Sementara Thomas Aquinas dinilai
hanya menghargai wanita sebagai seorang laki-laki yang dilupakan. Sementara
itu, mereka menilai para Bapa reformasi tidak berusaha mengubah status wanita
di dalam gereja, bahkan Karl Barth pun mengatakan wanita di dalam perjanjian dengan
Allah menduduki tempat nomor dua. Chrysostom sependapat dengan
Agustinus bahwa hanya manusia khususnya laki-laki yang sesuai dengan ‘image of God’ karena itu laki-laki
mempunyai otoritas dan wanita tidak. Dia mengatakan; "Lalu kenapa 'manusia/pria' dikatakan dalam 'gambar Allah' dan wanita tidak? ... 'Image/gambaran' memiliki lebih hubungannya dengan otoritas, dan ini hanya milik
pria, sedangkan wanita tidak
memilikinya.” Sementara itu, Tertulianus menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”.
Terakhir Agustinus berpendapat bahwa hanya laki-laki sendirilah merupakan citra
Allah, seorang perempuan adalah citra Allah hanya bersama dengan suaminya.
Pendapat di atas menurut Marie Claire
Barth-Frommel cukup hidup dalam masyarakat, seperti terjadi di Asia. Dia adalah
seorang teolog perempuan yang menganalisis dan mengembangkan wawasannya tentang
teologi feminis di Asia. Dia menulis pendapatnya demikian; ”Dominasi kaum
laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat.
Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional,
produktif, menghasilkan kekayaan, menciptakan budaya, sanggup membuat
perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa,
reproduktif, suka memelihara apa yang ada dan meneruskan ketrampilan lama, biasa
melayani dan suka dipimpin. Jika kita mengamati dengan seksama dan teliti, ada
banyak implikasi yang cukup serius mensubordinasi wanita. Pertama, Laki-laki dipandang sebagai superior atas perempuan. Laki-laki
memiliki peran penting yang tidak dapat digantikan oleh perempuan karena
sifat-sifat perempuan lebih dilihat sebagai pelengkap. Kedua,perempuan hanya bertugas melanjutkan apa yang telah dirintis
oleh laki-laki karena pada umumnya laki-laki itu kuat dan pemberani. Ketiga, laki-laki bertugas untuk
memimpin suatu masyarakat yang luas, sedangkan perempuan ditugaskan untuk
memelihara rumah tangga dan sekitarnya. Di dalam kalangan atas, seorang
perempuan yang menjadi istri pejabat, harus mampu mengimbangi peran suaminya.
Ia harus mendampingi suaminya dan menampilkan keanggunan sebagai istri yang
baik serta pendidik sopan santun untuk anak-anak.
5. Tema-Tema Pertama (Sekular) dalam Teologi Feminis
Pada
tahun delapan puluhan, spiritualitas feminis mulai menampakkan diri dengan
tema-tema sebagai berikut:
1) Monisme/New Age Movement: All
is one, semua adalah satu. Tema inilah yang pertama kali muncul dalam
kehidupan spiritualitas teologi Feminis yang percaya bahwa segala sesuatu satu
adanya, seperti bagian-bagian kecil menyusun bagian kesatuan yang besar.
Menurut mereka, segala sesuatu saling berhubungan, saling bergantung, dan
saling meresapi. Adanya indikasi monism masuk dalam spiritualitas teologi
feminis bisa dibaca dari pandangan Douglas Groothuis. Dia meneliti bahwa
gerakan New Age sudah meresapi gerakan feminism dengan mengatakan; "Pada akhirnya, monisme menegaskan tidak ada perbedaan antara Tuhan, seseorang, apel, atau batu. Mereka
adalah bagian dari sebuah
realitas terus menerus yang tidak memiliki batas dan tidak ada keterpisahan."
2) Pantheisme, gerakan ini pun sangat dekat dengan
lingkup pandangan teolog Feminis. Pandangan ini melihat; All is God, semua adalah Allah, artinya semua materi atau benda apa
pun, baik binatang, manusia, tanah, tumbuhan, laut, dan lain-lain adalah
merupakan bagian dari Allah.
3) Selfisme. Menurut pandangan ini, Self is God Diri manusia adalah Allah.
Tentang hal ini Mary Daly berkata jika Allah itu 'male' maka 'male' itu Allah.
4) Humanitas Baru. Menurut teologi feminis segala sesuatu
menuju kepada suatu perjuangan yang mengarah kepada humanitas baru yang
sempurna.
5) Unisex. Di sini teologi feminis
mendesak agar menggunakan istilah Allah ke dalam istilah yang menyatukan
seksisme; laki-laki dan perempuan menjadi suatu bentuk yang "netral"
atau "no sex".
Tema-tema di atas
memperlihatkan kepada kita bahwa spiritualitas feminis tidak dimulai dengan
mendasarkan diri pada doktrin, tetapi lebih pada spiritualitas (gerakan
sekular) bahkan boleh disebut sebagai sebuah bentuk
teologi emotif, bila mereka tidak ingin memaksakan teologi mereka pertama-tama disebut
teologi non-doktrin. Namun sebenarnya ada
beberap tesis yang hendak diangkat oleh teologi feminis yang kami paparkan
secara singkat di bagian selanjutnya.
6.
Tesis-Tesis Pokok Teologi Feminis
Betty Talbert-Wettler
menerangkan bahwa untuk mengerti apakah Feminisme itu sekuler atau tidak,
gereja wajib mengerti dan memahami presposisi mereka. Inilah beberapa preposisi
yang ditulis oleh Betty Talbert-Wettler:
1. Feminis
melihat bahwa sistem ajaran inti kekristenan bersifat ‘patriarkhat’ yang
menindas wanita.
2. Simbol
‘maskulin’ untuk Allah menguatkan sistem hirarki secara seksual, menempatkan
kedudukan laki-laki melebihi kedudukan wanita.
3. Simbol,
metafor dan gambaran Kristus/bahasa
tentang Allah sebagai laki-laki
tidak cocok dengan kepentingan religi wanita.
4. Wanita
harus dilepas-bebaskan dari penindasan kaum laki-laki baik secara teologis
maupun secara sosial. Wanita harus membangun komunitas baru yang berdasarkan
pada nilai-nilai yang berbeda dengan tradisi dan filsafat ‘patriarchi’.
7.
Beberapa Contoh Pendasaran Biblis Teologi Feminis
Beberapa contoh ini bukanlah sebuah ajian teologis lengkap.
7.1.
Dalam Perjanjian Lama
Pengaturan peranan
wanita dalam Perjanjian Lama banyak didasarkan pada kitab Kejadian pasal 1 dan 2. Pada mulanya pandangan umum bangsa Israel
terhadap peranan wanita dan pria adalah sama sederajat. Pengertian manusia
(wanita/pria) adalah gambar dan teladan Allah, merupakan suatu pengertian yang
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perubahan itu mulai terjadi saat
Allah melalui perjanjian kekal-Nya menyebut "Abraham sebagai Bapa
segala bangsa". Istilah inilah yang kemudian menjadi suatu alasan dari
munculnya pandangan bahwa yang memegang peranan otoritas tertinggi keluarga ada
di tangan "kaum patriakh/laki-laki". Hal ini terjadi sampai pada zaman
Israel dipilih Allah sebagai bangsa yang kudus, umat perjanjian Allah.
Dalam pandangan lama
tersebut, peranan kaum patriakh dalam keluarga sangat menyolok, seperti
Abraham, mencarikan jodoh anaknya, Ishak. Kej 24. Peranan ayah Ribkah,
mengambil keputusan menerima lamaran atau tidak, menunjukkan bahwa adat saat
itu tetap melalui jalur otoritas seorang ayah. Walaupun akhirnya keputusan
untuk ikut Eliezer atau tidak, diserahkan kembali kepada anaknya, Ribkah.
Demikian juga kepemimpinan Bapa Abraham boleh dikatakan tidak dominan lagi,
sejak peranan Sarah lebih dominan dalam mengatur seluk beluk keluarga.
Dalam hal perceraian
Perjanjian Lama sebenarnya tidak banyak memberikan informasi tetapi berdasarkan
Ul 22:13-29. Ada dua hal yang cukup kelihatan. Pertama, suami tidak diperbolehkan menceraikan istrinya terutma
jika ia salah dalam menuduh istrinya perihal ketidaksucian istrinya tersebut. Kedua, jika ia memaksa istrinya
(memperkosa) padahal istrinya tidak mau melayaninya. Di dalam Perjanjian lama,
banyak teks Alkitab yang membahas bagaimana keluarga harus melindungi kesucian
wanita, janda dan anak perempuan (Bdk.Ul
22-25).
Selanjutnya kita juga
bisa melihat dalam kitab Bilangan. Menurut Bil. 30:3-16, kedudukan ayah sangat
dominan dalam menentukan kehidupan anaknya (wanita) pada masa gadisnya. Bahkan
setelah menikah pun sang ayah dapat menolong anaknya dengan menerima dia
kembali saat diceraikan. Seandainya ayahnya sudah meninggal maka kewajiban
saudara laki-lakinya yang melindungi janda ini. Dari sini kita melihat dengan
jelas bahwa dalam konteks teks Bilangan tersebut, wanita harus tunduk pada
pria, tujuannya bukan untuk menekan wanita tetapi untuk melindungi hak-hak
wanita.
Lebih jauh, dalam Perjanjian
Lama kita melihat banyak sekali teks yang menceritakan peranan wanita. Kalau mau
dilihat secara mendalam, peranan wanita dalam PL, khususnya ibu sangat penting,
baik pengaruh negatif maupun positif. Misalnya, kasus Yefta, Samuel, Eli, di
mana kasih seorang ibu tidak pernah mereka dapatkan. Dengan itu, dampaknya
sangat luar biasa parahnya. Sebaliknya peranan ibu yang negatif pun ada,
seperti kasus Salomo, anak kesayangan Betsyeba, Dina anak Yakub, Ribkah, dan
lain-lain. Wanita pun mendapatkan hak sebagai pemimpin bangsa. Baik peranan
mereka menjadi hakim, nabi, ratu, dan lain-lain, misalnya, Deborah, Naomi,
Ester, Rahab, Hana, Elizabeth, dan lain-lain.
7.2.
Kedudukan Wanita dalam Perjanjian Baru
Untuk pendasaran dari Perjanjian
Baru ini, kami ingin memfokuskan diri untuk melihat kedudukan wanita dalam
kehidupan Tuhan Yesus dan kedudukan wanita dalam zaman para rasul.
7.2.1. Wanita
dalam Kehidupan Tuhan Yesus
Secara umum, dapat
dikatakan bahwa ada banyak wanita yang menjadi pengikut Yesus. Prihal
pertanyaan, siapakah saudara dan orang tua Yesus?, kita bisa melihat jawaban
dalam Mat 12:49-50, "siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di Sorga
dialah saudaraku laki-laki, saudaraku wanita dan ibuku,". Selanjutnya,
dalam Injil Yohanes kita melihat wanita pertama dalam kitab Injil Yohanes yang
ditemui Yesus adalah Perempuan Samaria (Bdk. Yoh 4:5-30). Kemudian wanita dari
Kanaan yang menjerit meminta tolong Yesus (Bdk. Yoh 15:22-28). Wanita jugalah yang
mengurapi Tuhan Yesus di rumah Simon, orang Farisi (Bdk. Luk 7:44-50). Yesus
juga bertemu seorang wanita yang menderita bungkuk delapan belas tahun (Bdk.
Luk 13:10-17).
Ada masih banyak
cerita lain yang melibatkan wanita dalam kehidupan Yesus. Kita bisa menyebut wanita
dalam ceritera parabel Tuhan Yesus; seorang wanita mengaduk tepung dengan ragi (Bdk.
Mat 13:3), gadis yang mencari koin yang hilang (Bdk Luk 15:8-10), sepuluh gadis
pintar dan sepuluh gadis bodoh (Bdk. Mat 25:1-13), perumpamaan tentang janda
yang ulet dalam memohon kepada seorang hakim (Bdk. Luk 18:1-8) dan Janda miskin
yang memberikan seluruh hartanya kepada Tuhan (Bdk. Mat 12:38-44).
Kita
juga bisa menyebut beberapa wanita yang menjadi murid Yesus dalam
pengajaranNya, seperti Maria dan Marta (Bdk Luk 10:38-42). Lalu ada Maria
Magdalena, seorang wanita yang disembuhkan Yesus karena kuasa roh jahat.
Kemudian dia menerima Yesus di rumahnya dan mendukung pelayanan Yesus dengan
menjual dan memberikan harta miliknya (Bdk. Luk 8:1-3). Ada juga Salome dan ibu dari Yakobus anak
Zebedius (Bdk. Mat 27:55-56) serta dan tentu saja kita harus menyebut wanita
sentral; Maria ibu Yesus.
Penting sekali juga,
kita melihat bagaimana pengajaran Yesus tentang perkawinan, perceraian, dan
selibat (Bdk. Mat 19:3-12 dan Mrk 10:11-12). Ajaran Yesus ini jauh melampaui
tradisi atau hukum Yahudi. Pertama,
pada prinsipnya menurut Tuhan Yesus, Allah tidak menghendaki perceraian. Kedua, Yesus mengatakan apabila ada
suami yang menceraikan istrinya kemudian menikah lagi, maka suami itu harus
dianggap terlibat praktik perzinahan. Tentu saja, prinsip kedua ini tidak sama dengan
tradisi dan hukum Yahudi yang menekankan kebebasan suami untuk menikah lagi. Di
sini kita dapat menyimpulkan bahwa isu moral yang Tuhan Yesus ajarkan jauh melampaui
pengajaran rabbi-rabbi Yahudi (Bdk Mat 5-7).
7.2.2. Posisi
Wanita pada Zaman Para Rasul
Pada zaman para Rasul
kedudukan wanita adalah sebagai teman sekerja dalam penginjilan. Kita bisa
menyebut Priskila dan suaminya Akwila (Kis 18:2). Mereka adalah kawan sekerja
Rasul Paulus. Dalam Rom 16:3-5, kita membaca bagaimana salam dari Paulus memperlihatkan
kedekatan hubungan Paulus dengan mereka. Kita juga patut menyebut beberapa wanita
lain yang sangat mendukung pelayanan penginjilan, seperti Eudia, Sintekhe
dan Febe.
Sebagai
kesimpulan, kita dapat mengatakan bahwa kalau dilihat dalam banyak hal maka
Alkitab tidak pernah membuang apalagi merendahkan peranan wanita. Oleh karena
itu, teologi feminis perlu melihat peranan wanita secara menyeluruh dan dari
semua sisi kehidupan mereka, bukan hanya sisi ketidakadilannya, tetapi juga terutama
bagaimana hebatnya pelayanan mereka dalam mengembangkan penginjilan yang
dilakukan mulai dari zaman Tuhan Yesus sampai jamannya para Rasul. Peranan
wanita ini terus berlangsung dan sangat positif disambut, bahkan
dalam kehidupan gereja mula-mula.
C. Model-model
Teologi Feminis
Untuk dapat memberikan
penilaian proporsional terhadap teologi feminis, terlebih dahulu kita perlu
mengenal beberapa jenis teologi feminis. Teologi Feminis dibagi menjadi
beberapa golongan menurut jenis teologianya, yaitu kaum feminis pembaharuan,
kaum feminis emansipasi, kaum feminis radikal.
1. Teologi
Feminis feminis Kristen revolusioner (pembaharuan menyeluruh dan mendasar). Mereka berusaha memberi kesempatan baik bagi kaum pria
maupun kaum wanita untuk menggunakan potensinya. Menurut mereka, dalam
masyarakat tradisional pembagian tugas menurut jenis kelamin membatasi
kebebasan keduanya, baik pria maupun wanita. Mereka mendapat kesempatan
memainkan peranannya dan hanya beberapa bagian peranan yang cocok dengan
kedudukannya, misalnya sebagai ayah atau ibu. Mereka berfungsi seperti separuh
manusia. Anne M. Clifford memberi pandangan lebih khusus
dalam gereja. Dalam model
teologi ini nyatanya banyak dipengaruhi oleh kaum radikal, khususnya bagi
kelompok yang membela kebudayaan kaum perempuan. Banyak dari teologi feminis
radikal dapat dikatakan sebagai kaum pasca Kristen. Banyak dari mereka yang
juga mengambil bagian dalam gereja-gereja Kristen, namun dengan kesadaran bahwa
ternyata agama Kristen itu patriarkat yang tidak dapat disembuhkan lagi bahkan
anti perempuan. Sehingga jika kaum perempuan ingin dibebaskan, maka kaum ini
harus meninggalkan agama Kristen. Masalah utama mereka mengenai agama Kristen
ialah peran utaman yang diberikan mengenai seorang Allah laki-laki yang
diyakini untuk mengabsahkan penindasan patriakat dan penidasan kaum perempuan
yang ada di dalam gereja dalam relasi perkwainan mereka. Jadi, para teolog
meninggalkan agama Kristen karena sikap opresif terhadap perempuan. Banyak dari
mereka yang berpaling kepada tradisi dewa-dewi purba sebagai sumber teologi
mereka yang memberi daya kreatif kaum perempuan. Dengan demikian menurutnya,
dalam model teologi revolusioner memandang tradisi telah didominasi oleh kaum
laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi tidak dapat memberikan harapan perbaikan.
Oleh karena itu, menurut teolog feminis revolusioner,
harus ada pembaharuan berkaitan dengan kedudukan pria dan wanita. Pembaharuan
ini dapat dicapai dengan dua cara yaitu pembaharuan secara struktural dan
secara individu.
2.
Teologi feminis Kristen reformis. Model ini merupakan model yang
berbeda dari model revolusioner. Hal yang ditekankan dalam model ini ialah
seorang teolog tidak berupaya untuk melakukan perubahan-perubahan secara total
untuk merombak gama Kristen melainkan mereka melakukan perubahan yang moderat
dalam struktur gereja-gereja yang ada. Sikap-sikap mereka menunjukkan komitmen
yang sama dalam tradisi Kristen. Para feminis reformis ini bisa ditemukan dalam
denominasi protestan dan gereja Katolik Roma.
Dalam denominasi-denominasi
protestan, kaum feminis dianggap lebih konservatif adalah kaum evangelis dan
fundamentalis yang berpegang teguh pada kitab suci serta teks-teks yang ada di
dalamnya dan juga melawan prasangka gender dalam perlakuan terhadap perempuan
di dalam gereja, keluarga dan masyarakat. Para pendukung model teologi feminis
ini yakin bahwa mereka dapat memecahkan masalah kaum perempuan dengan cara
menerjemahkan Alkitab yang leih baik dan penekanan lebih banyak pada perikop
yang berbicara mengenai kesetaraam antara kaum perempuan dan laki-laki dalam
kitab suci. Dalam gereja Katolik Roma, para perempuan dan laki-laki menunjukkan
rasa hormat yang mendalam terhadap tradisi Katolik Roma dan kewenangan
institusionalnya. Selain itu mereka berkeyakinan bahwa kaum perempaun perlu
dilibatkan dalam kehidupan dan kepemipinan gerejani. Namun, ada pula sebagian
dari mereka yang bersikap tidak kritis terhadap struktur kelembagaan gereja dan
mendukung ajaran gereja. Contohnya dalam petahbisan, mereka membatasi pejabat
gereja hanya bagi kaum laki-laki saja sedangkan perempuan terlibat dalam
pelayanan-pelayanan gereja yang lain dan dalam pendidikan teologi. Jadi,
teologi ini mengatakan bahwa walaupun memandang tradisi telah didominasi oleh
kaum laki-laki, dan perempuan cenderung kurang kritis, tetapi masih melihat
adanya harapan bahwa tradisi Kristen dapat diubah.
3.
Teologi Feminis Kristen
rekonstruksionis. Dalam model ini nyatanya memiliki titik temu dengan feminisme
reformis dalam komitmen kepada agama Kristen. Dalam hal ini mengizinkan kaum
perempuan memegang jabatan gereja dan melaksanakan pelayanan-pelayanan gereja.
Para teolog feminis rekonstrusionis mencari sebuah intipati teologis yang
membebaskan kaum perempuan di dalam tradisi Kristen sendiri, namun juga
mencita-citakan pembaharuan lebih sungguh, suatu konstrusi yang sejati bukan
saja menyangkut struktur gereja melainkan juga struktur dalam masyarakat. Di
sini para teolog feminis Kristen Rekonstruksionis membuat penilaian kritis
terhadap patriakat dengan menafsir kembali simbol-simbol dan gagasan-gagasan
tradisi agama Kristen tanpa melepaskan otoritas Allah di dalam Kristus.
Komitmen bersama dalam persekutuan murid yang
bermartabat dianut oleh para teolog feminis melangkaui denominasi atau lintas
denominasi. Mereka masing-masing yang bisa saja memiliki perbedaan doktrin,
namun dalam mengupayakan teologi, mereka sangat menjunjung tinggi kemitraan
antardenominasi, dan member rasa hormat bagi perbedaan. Lebih daripada itu
berusaha melalui kemitraan, membangun suatu wawasan Kristen yang komprehensif
yang mampu menyeberangi batas perbedaan suku, kelas, kiblat seksual, agama.
Model ini sangat potensial
dibanding model lain. Model ini secara baik akan menjadi kiblat berteologi
feminis. Penganut model ini menempatkan pengalaman perempuan sebagai salah satu
batu loncatan konstruksi teologi yang amat penting. Dalam model
rekonstruksionis, para teolognya bukan sekedar merevisi suatu cara berteologi
atau wawasan teologi yang sudah terbentang dari sumber teologi pertama yang
dibangun menurut kelaki-lakian. Model ini percaya bahwa sisi baik dari teologi
yang bersifat maskulin itu sudah berbicara jauh mengenai tema-tema inti dalam
teologi Kristen, seperti keadilan, damai, kasih dan kemurahan hati (dan lain
sebagainya). Mereka bahkan melakukan diolog bersama dengan para pelaku teologi
pertama itu. Penganut model rekonstruksionis akan mengakui teologi yang
berkenan dan menyentuh kedalaman feminis. Sekaligus mereka mengeritik dan
merubah yang tidak berkenan pengunaan istilah yang mencederai kedalaman
feminis.
Karena itu, ada tiga metode yang
digunakan oleh teolog feminis rekonstruksionis Kristen dalam membangun
teologinya:
1.
Menyelisik pengalaman-pengalaman
tentang patriarkat dan androsentrime dengan mendengarkan secara saksama
pengalamanku sendiri, dan kaum perempuan yang lain atau kaum laki-laki
tertindas. Hal ini dilakukan selanjutnya melalui suatu strategi penyadaran
bahwa penindasan itu mesti dilawan. Perlawanan pada akhirnya mesti disambut
baik dengan strategi hermenuetik yang benar, yang dapat mengangkat
kesalahan-kelasahan tafsir kitab suci untuk diperbaiki. Ini berarti, ada
semacam sokongan terhadap upaya menyadarkan kaum tertindas melalui pengalaman
yang direspon menurut tafsir kitab suci.
Upaya ini pada akhirnya dalam model ini akan menyembuhkan kebengisan patrirkat
yang pernah dan bahkan masih menindas.
2.
Mendialogkan
pengalaman-pengalaman tersebut dengan dokumen-dokumen Kristen lainnya. Hal ini
dapat dilakukan melalui tradisi hermeneutika feminis. Dialog dimaksud,
dilakukan dengan mempertanyakan kembali bahasa kitab suci, simbol-simbol.
Dialog ini mengasumsikan bahwa tradisi, kitab suci dan sumber-sumber Kristen
tidak dengan begitu saja member perendahan terhadap perempuan. Sebab, jika
demikian, perempuan tidak dapat dibebaskan, melainkan akan lebih menekan
perempuan sampai ke tanah. Karena hal-hal tadi menyentuh langsung dengan hal
vital kekristenan.
3.
Mengembangkan berbagai strategi demi aksi atau praksis transformatif yang memerdekakan.
Metode ketiga ini mengasumsikan bahwa tindakan konkret harus
dilakukan. Tindakan itu ialah tindakan pembebasan. Jika dilakukan dalam
disiplin dan intensitasnya mutlak dalam cita-cita perubahan masyarakat, maka
tidak ada katerisasi, melainkan hanya sebuah tindakan imperatif. Tanpa syarat,
dan lakukan itu. Metode ini menyatakan bahwa teologi adalah sebuah proses yang
melayani kehidupan jemaat Allah. Dan lebih dari pada itu, bahwa Allah mengasihi
seluruh manusia, maka mesti ada praksis transformatif yang kuat. Praksis itu
berakar pada refleksi. Akhir dari seluruh rumusan teologi feminis dan metodenya
mesti bermuara pada aksi konkret yang mendatangkan perubahan.
8.
Pertimbangan Kritis Terhadap Teologi
Feminis
Pertimbangan
ini dilakukan dengan memerhatikan kompleksitas aktifitas teologi feminis yang
cenderung tidak disiplin dan bahkan dapat dikatakan begitu mengganas dan
emotif. Selain, memerhatikan sumbangan berteologi yang dapat berkeadilan juga.
8.1. Pengaruh Positif
Menurut
kami, apabila feminisme bertujuan agar wanita mempunyai hak yang sama dengan
pria dan mereka diperlakukan sederajat dalam segala hal, maka kita harus
menerimanya dengan catatan bahwa gerakan feminisme tidak ditujukan untuk
menginjak-injak kaum laki-laki sebagai alasan ‘curiga-dendam’ atas hak-hak
mereka yang telah ditindas. Fisher Humphreys mengatakan, “Jika feminisme berarti
bahwa para perempuan [perlu] mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dan harus
diperlakukan dengan rasa hormat yang sama, maka jawaban terhadap pertanyaan ini
adalah, ya.”
Terhadap
Gereja, kita perlu mengakui bahwa dengan adanya kritik historis yang dilakukan
oleh para tokoh feminisme ini, gereja menemukan kembali pentingnya arti nilai
pelayanan wanita yang memang sering dilupakan dalam sejarah gereja. Memang
kalau diamati secara sepintas dalam perjalanan sejarah gereja, wanita biasanya
hanya dianggap sebagai pelayan "kelas dua" tanpa adanya sumbangsih
yang berarti. Oleh karena itu, kritik kaum feminis ini sangat dibutuhkan oleh
gereja untuk mengingat kembali betapa pentingnya nilai sumber daya wanita dalam
pelayanan gereja dan aktivitasnya, walaupun metode dan kesimpulan yang dibuat
teolog feminis ini sangat spekulatif. Stanley J. Grenz mengakui kenyataan buruk
ini dengan mengatakan;
Yang positif dari pendekatan feminis terhadap tradisi Kristen adalah pemulihan dari memori yang hilang dari wanita. Tidak ada orang yang telah melakukan lebih
banyak untuk menemukan kembali peran dan kontribusi perempuan dalam tradisi Kristen selain Elizabeth Schussler Fiorenza. Meskipun metode dan kesimpulan mungkin dianggap spekulatif.
Sifat
mementingkan dan memusatkan laki-laki sebagai pemimpin yang otoriter menjadikan
mereka sebagai penindas perempuan baik di dalam maupun di luar kehidupan
gereja. Kesalahan fatal gereja harus diperbaiki. Untuk itu, Gereja mesti
berterima kasih kepada kaum feminis yang telah bersungguh-sungguh mengungkapkan
"dosa besar" ini. Keangkuhan laki-laki, otoritas kebapakan dan sifat
kebenciannya terhadap perempuan yang telah terpendam beratus-ratus tahun lalu
harus segera diakhiri. Kaum feminis juga menolong Gereja agar lebih terbuka
terhadap kaum perempuan dan tidak ‘eksklusif’ untuk kaum laki-laki saja.
Teologi feminis telah melakukan pelayanan besar bagi komunitas Kristen dengan menunjukkan kejahatan androsentris patriarki dan misogoni. Para Teolog feminis seringkali membantu gereja untuk menjadi lebih inklusif dan oleh karena itu memberikan pandangan
yang lebih benar berkaitan dengan gambar Allah sebagai laki-laki dan perempuan serta universalitas Injil.
Sampai
di sini kita melihat bahwa teologi feminis telah sanggup membukakan satu
dimensi dan suatu wawasan baru dalam mengerjakan penafsiran secara horizontal
seluruh penafsiran Alkitab.
8.2. Pengaruh Negatif
Kami
melihat bahwa setelah mendapatkan kesempatan dan dukungan dari masyarakat dan Gereja,
kaum feminis yang bersifat ‘radikal’/‘ekstrim’ sering melangkah terlalu jauh
bahkan dengan menggunakan metode spekulatif berani untuk menghakimi Alkitab. Mereka
bahkan menilai Alkitab tidak benar karena disusun dengan menjunjung nilai
maskulin dan merendahkan nilai feminim. Akhirnya mereka menyimpulkan kedudukan
antara Allah dan manusia tak ada bedanya. Donald G. Bloesch, mengutip ucapan
Carol Ochs demikian, " Kita, bersama-sama, menjadi bagian dari
keseluruhan, setelah dipertimbangkan semuanya, Tuhan tidaklah menjadi ayah,
maupun mengasuh, maupun bahkan orang tua, sebab Tuhan bukanlah selain dari,
beda dari, atau mempertentangkan ciptaan.
Dari data sejarah, kita
melihat pada mulanya teolog feminis memang hanya menuntut haknya tetapi
lama-kelamaan beberapa dari mereka menjadi 'radikal'. Tuntutan mereka melampaui
dari yang ditetapkan Alkitab bahkan berani menentang ajaran fundamental
ortodoks tentang Allah Tritunggal dan Kristus. Ada empat hal atau ciri-ciri
mengetahui teolog Feminis itu radikal atau tidak, seperti kesimpulan Fisher
Humphreys berikut ini;
Pertama, feminis radikal ketika menyerukan kepada perempuan untuk membenci pria dan ketika itu menyerukan agar pria membenci diri mereka
sendiri, kedua, feminis radikal menghina pernikahan, orang tua, dan rumah tangga ... tetap tunggal, tanpa anak, ketiga, feminis radikal menegaskan homoseksualitas, biseksualitas, atau masyarakat bergender, keempat, feminis radikal berusaha menafsirkan semua realitas sosial melalui sisi gender.
Kita
juga bisa menyebut banyak kritik lain terhadap teologi feminis, seperti penolakan
mereka terhadap Allah sebagai 'Bapa' dan 'Tuhan' dapat membuka jalan pada
kepercayaan politeisme dewa-dewi. Padahal penyebutan Bapa atau Tuhan itu tidak
didasarkan kemauan atau konsensus dari teolog pria, melainkan dari Wahyu Ilahi yang
dibawa oleh Yesus sendiri. Bahwa dalam kenyataan sebutan-sebutan seperti Tuhan
dan Bapa mungkin disalahtafsirkan oleh beberapa teolog pria, tetapi itu bukanlah
alasan yang tepat untuk menolak bahasa Wahyu (Allah) itu sendiri.
Sebagai implikasi
lanjut dari kritik di atas, kita perlu menegaskan bahwa naskah Alkitab memang
seharusnya tidak boleh diubah misalnya hanya untuk mengurangi bau 'patriarkatnya'
dan bahwa naskah tersebut tidak boleh disingkirkan karena dianggap bertentangan
dengan hak semua wanita dalam segala hal (mis Ef. 5:21-24).
Yang
lebih berbahaya lagi adalah teolog Feminis seperti Mary Daly akhirnya mendukung
gerakan "gay", "lesbian" dan masyarakat
"non-sexist". Donald G. Bloesch mengutarakan sebagai berikut;
Hal ini tidak mengherankan jika feminis radikal cenderung mendukung gerakan Pembebasan Gay, karena mereka benar-benar memutus seks dari tujuan reproduksi atau generatifnya. Mereka juga mengusulkan "penghapusan total peran seks", dan ini mencakup toleransi atas lesbian serta hubungan homoseksual laki-laki. Untuk Mary Daly, homoseksual pada masyarakat nonsexist akan membebaskan berhubungan bermakna dan otentik satu sama lain.
D.
Mengutarakan Relevansi Bagi Pengembangan
Teologi Feminis di NTT
Kelompok kami
mengangkat dua hal pokok yang terjadi di NTT yang menurut kami membuat wanita
terbelenggu dan perlu disikapi oleh teologi feminis. Dua kenyataan itu adalah
kuatnya budaya patriarkat dan menguatnya adanya fenomena perdagangan
perempuan.
Pertama, kuatnya budaya patriarkhat. Masyarakat
NTT, jika ditinjau dari sudut sosio-budaya terdiri dari beragam suku, bahasa
dan adat istiadat. Setiap suku merupakan ikatan genealogis beradasarkan garis
keturunan ayah (patrilineal). Dengan demikian pada masyarakat NTT, umumyana
kedudukan dan peran kaum pria lebih tinggi jika dibandingkan dengan kaum
wanita. Pada pundak kaum pria diembankan tugas dan tanggung jawab
suku,sedangkan kaum wanita dilihat sebagai pribadi yang disiapkan untuk suku
lain dalam perkawinan eksogami (tradisi
perkawinan yang mengharuskan pencarian jodoh dari luar lingkungan sosialnya). Kenyataan ini memperlihatkan suatu
keprihatinan akan peran dan fungsi kaum wanita yang terbelenggu dalam
stereotipe lama sebagai the second class.
Dalam
urusan perkawinan adat misalnya,wanita diukur dalam bentuk belis seperti gading
di budaya Lamaholot, moko di Alor ataupun barang antik lainnya dengaan ukuran sekian sesuai dengan tradisi
dari masyarakat yang bersangkutan. Pertanyaan yang muncul adalah nilai apakah
yang ada di balik belis itu? Mengapa belisnya dalam bentuk barang-barang antik
bersejarah? Semua pertanyaan di atas menghantar kita untuk mengungkapkan bahwa
betapa tinggi dan luhurnya martabat kaum wanita. Tetapi di pihak lain, pada
saat yang sama, karena belis itu diambil dari barang-barang antik yang sulit
untuk didapat maka di sana akan terjadi proses tawar-menawar antara keluarga
pria dengan kelurga wanita. Hal ini berarti eksistensi dan martabat kaum wanita
direduksi ke dalam benda-benda material, seakan-akan kaum wanita identik dengan
seduah barang yang diperdagangkan. Untuk
meggambarkan hal ini, sering juga dikatakan bahwa “wanita jatuh harga”. Konsekuensi dari kenyataan ini adalah
muncul pemahaman baru bagi profil wanita sebagai pelayan keluarga kaum pria
yang telah membelinya dengan belis. Kedua,
menguatnya fenomena perdagangan
perempuan. Hal ini disebabkan oleh beragam alasan, dan salah satu alasan
utamanya adalah keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. NTT
merupakan salah satu provinsi pengekspor TKW terbesar di Indonesia. Malangnya,
kebanyakan dari mereka mengalami perlakuan yang tidak pantas di luar negeri,
bahkan ada yang terancam mendapat hukuman mati.
Terhadap dua fenomena
besar di atas kelompok kami menganjurkan agar Gereja NTT perlu secara khusus
dan sungguh-sungguh memihak kaum wanita. Oleh karena itu, gerakan teologi
feminis, terutama yang bersifat emansipatoris (melakukan pembebasan) sungguh-sungguh perlu mengakar di NTT. Secara lebih konkrit,
Gereja NTT perlu membuat pastoral kategorial khusus untuk membela/melakukan
advokasi terhadap wanita NTT dari pasungan budaya patriarkat dan juga fenomena
perdagangan perempuan, serta berbagai fenomena sosial, religius, dan budaya
lainnya yang jelas-jelas membelenggu wanita.
Gereja juga perlu
mendukung dan memberikan catatan kritis terhadap usaha pemerintah dan LSM-LSM
di bidang kewanitaan. Gereja NTT misalnya perlu menjadi mitra strategis dari Kementrian
pemberdayaan perempuan, di tingkat provinsi dan kabupaten perlu bermitra dengan
Dinas Pemberdayaan Perempuan untuk mendukung dikeluarkannya wanita dari
belenggu keterpasungan yang ada.
Gereja-gereja di NTT perlu
secara konsekuen untuk mengembangkan beberapa hal: Pertama, institusi-institusi religious dan
gerejawi seyogyanya menjadi teladan dalam menangani ketidakadilan gender. Kedua, Konferensi atau sidang-sidang khusus gereja (GMIT) membentuk atau meningkatkan Jaringan
Mitra Perempuan (JMP) di setiap wilayah di Nusa Tenggara dan menjalin kerja
sama dengan rekannya dan dengan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi
yang sama sebagai mitra. Ketiga,
mendorong setiap unit pelayanan memberi perhatian
terhadap isu-isu ketidakadilan gender untuk membuat atau meningkatkan gerakan penyadaran gender. Keempat, melalui pendidikan, para pengelola pendidikan dalam kurikulum yang menyentuh isu-isu semacamnya, yaitu
membangun pendidikan yang
berwawasan gender. Kelima, mendorong
partisipasi penuh kaum perempuan dalam semua perangkat pastoral yang terbuka
untuk awam dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pastoral. Keenam, dalam melakukan teologi sebagai sebuah pekerjaan pertama
dalam aksi, mesti dengan teliti menggunakan metode yang dianggap kontekstual
menurut disiplin teologi feminis ketika menyikapi persoalan kontekstual
mengenai perempuan.
Daftar Pustaka
-
Andalas, P. Mutiara., 2009.
Lahir Dari Rahim. Yogyakarta: Kanisius.
-
Barth-Frommel, Marie Claire., 2003.
Hati
Allah bagaikan Hati seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- Bevans, Stephen B., 2010.
Teologi
Dalam Perspektif Global. Maumere: Penerbit Ledalero.
-
Bloesch, Donald
G., 1982.
Is the bible Sexist?, Illinois: Crossway.
- Burnham, Frederic B., 1989.
"Does the Bible
Has a Post Modern Message?", dalam Post
Modern Theology: Christian Faith in a Pluralist World, (Ed.), San
Fransisco: Harper and Row.
- Clifford, Anne M., 2002
Memperkenalkan Teologi Feminis, Terj. Yosef M. Florisan,
Maumere: Ledalero.
-
Embu, Emanuel
J. dan Amatus Woi, 2004.
Berpastoral di Tapal Batas . Pertemuan pastoral VI Konferensi Waligereja
Nusa Tenggara, Maumere: Ledalero dan Candradity.
-
Grenz ,Stanley J. & Olson, Roger E., 1992.
20th Century Theology: God and World in a Transitional Age. Illinois: IVP.
- Groothuis, Douglas., 1986.
Unmaking the New Age, Illinois: IVP.
- Heuken, A.,1994.
Ensiklopedi Gereja IV, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
-
Hommes, Anne., 1992.
Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, Jakarta-Bandung: Gunung Mulia dan Kanisius.
-
Humphreys, Fisher., 1995.
Feminism and the Christian Faith, New Orleans: The
Theological Educator.
- Johnson, Elizabeth A., 2003.
Kristologi
Di Mata Kaum Feminis: Gelombang Pembaruan dalam Kristologi. Yogyakarta: Kanisius.
- Natar, Asnath M.., 2004,
Perempuan Indonesia-Berteologi
Feminis dalam Konteks. Yogyakarta: Pusat Studi Feminis Fakultas Teologi UKDW.
- Ratu-Pada, Maria. &
Campbell-Nelson, Karen., 2000.
Kumpulan
Bacaan Teologia dan Gender. (UKAW, Fakultas Teologi).
- Ritzer, George & Douglas J.
Goodman.,
2004, Teori Sosiologi Modern. (ed.6.).Jakarta: Kencana.
- Ruether, Rosemary Radford., 1983.
Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, Boston: Beacon.
- Segundo, Juan. L., 1976.
Liberation
of Theology.Maryknoll,
M.Y: Orbis Books.
- Talbert-Wettler, Betty., 1995.
Secular Feminist Religious Metaphor and Christianity, San Diego: EVSJ.
-
Teichman, Jeny., 1998. Etika Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.