Rabu, 13 November 2013

TEOLOGI MINJUNG



Teologi Minjung



 




1.      Pokok-pokok pengalaman bersama (para minjung)?




2.      Apa pokok keprihatinan terpenting dari pengalaman bersama itu? dan apa sebab musababnya?




3.      Refleksi teologis apa dari minjung itu?




4.      Bagaimana anda melihat pokok-pokok perubahan (apa) dalam kisah itu, dari perjungan teologi minjung.




 




 




1.      Deskripsi




Sejarah mencatat berbagai macam persoalan mengenai penderitaan dalam konteks, waktu dan pada tempat tertentu. Pada khususnya, terjadi di Korea Selatan, dalam hubungannya dengan minjung. Secara historis, sampai dengan saat ini, situasi di Korea sangat kompleks pada ranah sosial,  yang dimaksudkan ialah, pertama, konflik dan ketegangan yang masih tetap ada dan terjadi antara Korea Utara dan Korea Selatan.[1] Menurut seorang teolog Asia, Kim Yong Bock, hal semacam ini dirasakan secara mendalam dan merasuk ke dalam batin kehidupan bangsa Korea, yang menyababkan kehancuran dan penderitaan yang tidak terperikan. Kedua, bangsa korea masih hidup dalam konflik dengan pemerintah mereka sendiri.[2]




Berdasarkan akar sejarahnya, situasi Korea di mana lahir dan berkembang sebagai sistim ideologi subyektif rakyat dan teologi rakyat (di Asia) pada akhirnya, digambarkan penuh dengan kemajemukan konflik. Berdasarkan pemutlakan kediktatoran yang diciptakan pemerintahan Presiden Park Chung-Hee (1963-1979) [3], menghasilkan manipulasi ideologis, propaganda, ketidakadilan ekonomi dan tekanan politis yang keji.[4] Pembangunan ekonominya dikatakan berhasil namun, secara implisit, dibangun di atas ketidakadilan struktural. Pada rezimnya, kritik tidak dimungkinkan. Bagi mereka yang mencobanya akan dipenjarakan, dan terkadang tanpa proses peradilan hukum positif.




Situasi Korea sangat memprihatinkan pada waktu itu (bahkan sampai sekarang bagi situasi pemerintahan mereka sendiri). Menurut refleksinya mengenai situasi Korea pada saat itu, Dewan Gereja-gereja Asia (CCA) pada pertemuan din Hong kong, 28-23 Agustus 1974, tercatat beberapa hal pokok-pokok pengalaman bersama orang Korea:




ü  Karena pembagian negeri, bangsa Korea mengalami perang yang tragis dan berdampak pada kehidupan rakyat yang begitu sulit. Pembangunan ekonomi terjadi dilakukan tetapi mengorbankan hak-hak asasi manusia dari bangsa Korea.




ü  Sistem politik dijalankan secara brutal dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi manusia.




ü  Menindas kebebasan berbicara, memenjarakan rakyat dengan sewenang-wenang bagi para pengecam pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan terhadap bangsanya sendiri.




 




Selain dari Dewan Gereja-gereja Asia (CCA), dapat diperoleh beberapa tambahan mengenai pokok-pokok pengalaman bersama oleh para minjung dalam situasi konkrit mereka:




ü  Dikatakan oleh Kim Yong Bock, mereka hidup sebagaimana mesti berhadapan dengan situasi konflik mereka. Rakyat selalu tersingkir. Biografi sosial mereka disita oleh pemerintah, dan pemerintah selalu berpretensi dan memiliki kecencerungan menghilangkan “biografi sosial” rakyat, yakni kesubyektifitasan rakyat dalam sejarah. Tindakan dan perasaan mereka dirampok.




ü  Mereka tidak diperbolehkan mengambil keputusan untuk menentukan nasib dan arah hidup mereka sendiri. Dicatat bahwa yang ada pada perspektif rakyat hanya sejarah penguasa. Kaum minjung didefinisikan oleh penguasa sebagai kaum yang mestinya tak “berada”. Mereka adalah petani, nelayan, buruh, tentara, polisi, juru bayar gaji, para pengangguran, pemilik warung, produsen kecil, para cendekiawan, kaum ibu, ras yang mendominasi terhadap ras yang lain, dsb.[5]




ü  Pada hematnya, dalam kelas minjung, secara konkrit para minjung menderita karena penindasan politik oleh penguasa melalui struktur politik mereka secara khusus, penghisapan ekonomi, pencemoohan  sosial, dan keterasingan budaya dan intelektual atau dalam bidang pendidikan. Penguasa sungguh-sungguh mendominasi minjung.




 




Minjung sudah ada sejak lama pada diri bangsa Korea. Kaum minjung adalah sukumpulan masyarakat yang setia kepada tanah dan “rumah” mereka. Minjung lahir dan merasakan situasi historis yang penuh penderitaan penderitaan tetapi tanpa bersikap statis dan fatalistis.




2.      Analisis (sosial)




Berdasarkan deskripsi singkat di atas dan pokok-pokok pengalaman bersama, maka terdapat beberapa pokok-pokok keprihatinan terpenting dan sebab musababnya:




ü  Bersama-sama mengalami penindasan secara struktural (politik, ekonomi, sosial, budaya, agama[6] dan pendidikan pada khususnya) terhadap hak-hak asasi manusia. Para minjung tidak diperbolehkan untuk melakukan perkumpulan-perkumpulan tertentu, dan tidak diperbolehkan melakukan protes-protes terbuka. Itu artinya berbagai bentuk kebebasan asasi manusia, seperti berbicara, protes, dll. Akan dikonfrontir dengan tindakan penangkapan, penghukuman, bahkan pembunuhan oleh penguasa.




ü  Bersama-sama mengalami ketidakadilan sosial dan eksploitasi kemanusiaan. Ketidakadilan sosial selalu berhubungan dengan kekuasaan. Struktur atas dalam mengintervensi langsung pada struktur yang paling rendah. Secara ekonomis, Ketidakaadilan sosial direnggut dari minjung akan berakibat pada penguasaan sistem pembagian segala produksi yang dihasilkan oleh minjung. Dengan kata lain, sistem distribusi segala produksi yang dihasilkan oleh minjung tidak dapat dipisahkan bahkan mencerminkan sistem distribusi kekuasaan. Segala sistim distribusi diatur oleh para elit dominan.[7] Dalam hal ini, Park Cung-Hee, dalam pembangunan ekonomi, menempatkan negara sebagai agen utama. Negara berkarakter intervensionis dalam pembangunan, yaitu bahwa sektor swasta dalam hal ini kelompok-kelompok bisnis tidak diikutsertakan. Demikian, dampaknya sampai pada perekomian kecil masyarakat tentu tidak ditunjang oleh pemerintah. Pasar ada di tangan penguasa.




ü  Bersama-sama mengalami keterasingan budaya. Budaya penguasa mendominasi budaya asli Korea. Pernah terjadi peniadaan atau pemutarbalikan cerita rakyat dan lagu-lagu Korea.




ü  Bersama-sama menjalani konflik viatorum. Terjadi krisis dan perbedaan nilai, stigmatisasi status, kekuasaan (atas vs bawah), dan keterbatasan sumberdaya multikultural.




ü  Akhirnya, pokok pengalaman bersama mereka ialah penderitaan yang sangat varian dalam setiap bidang karena dampak yang memang telah tersistem dari apa yang telah disebukan sebelumnya. Bersama-sama menderita kemiskinan (yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin) yang berakibat pada kelaparan,  pembunuhan massal, pekerja remaja perempuan yang menderita di pabrik, petani, mahasiswa yang diseret dalam pengadilan militer, para profesor dan wartawan yang diculik,[8] pencemoohan sosial, marginalisasi perempuan kaum minjung dan pada khususnya dalam hal pengecapan pendidikan yang tidak merata. Pendidikan dimiliki kaum berkuasa, dll.




Semuanya ini disebabkan oleh karena struktur ketidakadilan yang diciptakan oleh kaum berkuasa. Pemerintahan yang ditinggalkan oleh para penjajah, maupun pemerintahan Korea sindiri bersikap dan bertindak sebagai penindas secara langsung dan tidak langsung. Konstelasi politik yang tak berkeadilan menyebabkan bebagai perubahan perilaku moral dari para penguasa dan elit-elit tertentu yang sangat tidak adil, menjadi lebih tidak adil. Secara historis tercatat bahwa penderitaan masyarakat Korea akibat kepemimpinan yang otoritarian barang tentu tidak berkeadilan secara struktural.




3.      Refleksi teologis[9]




Berdasarkan beberapa pokok keprihatinan terpenting di atas, maka terdapat beberapa refleksi teologis yang tentunya dilakukan ole para teolog  Korea berdasarkan realitas-realitas minjung. Dr. Kim melihat kecenderungan ke arah “historikalisasi” dalam teologi Asia dewasa ini, yaitu ke arah refleksi teologis dalam kesadaran hubungannya kondisi historis bangsa-bangsa Asia pada umumnya. Dalam konteks ini muncullah sebuah tema baru bagi refleksi teologis yaitu konsep “rakyat di Asia,” yang dipahami sebagai rakyat yang tertindas, miskin dan tereksploitasi. Dengan mengambil Korea Selatan sebagai contoh, Kim melacak perkembangan “teologi rakyat” di dalam disiplin studi Alkitab, sejarah gereja dan teologi reflektif, yang berusaha menghubungkan Injil secara bermakna dengan pergumulan dan aspirasi rakyat. Jangkauan “teologi rakyat” adalah sejarah umum; pendiriannya berpihak kepada rakyat; dan “teologi ini berusaha agar bebas dan secara konkrit melampaui kerangka kerja filosofis dan ideologis”,[10] sebagaimana corak teologi barat, yang oleh para teolog Korea sendiri, pada konteksnya mempertentangkan corak teologi yang beredar di Korea.




Untuk itu, Dieter Becker menyampaikan corak teologi yang dianut oleh minjung, yaitu bagaimana Alkitab memiliki konsepsi tertentu mengenai peranan dan realitas minjung.[11] Artinya ialah bahwa cerita Alkitab diidentikan dengan cerita-cerita minjung. Cerita-cerita Yesus adalah juga cerita-cerita minjung. Gereja tidak berperan sebagai minjung, tetapi gereja adalah minjung itu sendiri yang menginginkan suatu kebebasan. Gereja berjuang bersama rakyat demi mewujudkan hak-hak asasi manusia. Pada tahun1973, suatu deklarasi diteerbitkan oleh gereja yang disebut sebagai Deklarasi Kristen Korea:[12]




 




Yesus sang Mesias, Tuhan kita, hidup dan tinggal di antara kaum tertindas dan miskin, mereka ang ditimpa kemiskinan dan yang sakit di Yudea.




 




Deklarasi ini mengisyaratkan secara reflektif bahwa adanya pengharapan mesianis. Yesus adalah sosok minjung yang menderita. Hidup di antara para minjung. Yesus adalah sahabat minjung. Minjung hidup dalam “mesianisme Yesus” (hamba) dan bukan “misianisme kekuasaan” (politik). Semua kekuasaan telah dan harus berada di bawah penguasaan Yesus.[13]




Minjung berada dalam peristiwa dan sejarah exodus. Minjung adalah umat Perjanjian Lama. Minjung mengalami dua keluaran. Keluar sebagai bangsa yang tertindas dan diperkosa hak-haknya, dan keluar sebagai umat yang ditebus bagi dan bersama Kristus.[14]




Yesus adalah minjung. Kehadiran Yesus di tengah-tengah situasi konkrit minjung  bukan ‘sekedar untuk’  minjung. Yesus adalah sungguh minjung. Ia hidup dan menapaki setiap kehidupan minjung yang tertindas, miskin dan lapar. Yesus adalah tokoh yang konkrit sebagai minjung. Yesus selalu berpihak pada minjung.




Menurut kitab wahyu, minjung akan berpartisipasi konstan dalam kerajaan mesias. Dalam eskatologi, para minjung hadir sebagai subyek sejarah, manakala pendeitaan meraka ditransformasikan ke dalam pengharapan. Pengharapan itu terarah pada kemenangan. Keadilan sosial terlaksana karena keadilan Allah. Pengharapan itu bukan impian, melainkan sudah terlaksana, dan menuntut keterlibatan aktif dan perjuangan dari minjung menuju penggenapan ke dalam situasi konkrit. Salib Yesus adalah lambang penderitaan minjung. Yesus menderita dan mati untuk semua orang, tidak terkecuali minjung. Untuk itu, penderitaan minjung adalah pendritaan seluruh Korea.




Yesus yang tersalib adalah Allah yang tersalib. Yesus yang menderita adalah Allah yang menderita. Untuk itu, penderitaan minjung adalah sungguh penderitaan Allah. Penderitaan yang dirasakan minjung, turut dirasakan Allah. Allah turut menderita bersama-sama manusia. wujud kasih agape Allah adalah turut bersama manusia menuntaskan penderitaan. Allah itu kasih, maka pada penderitaan minjung, Allah tidak bermasabodoh. Allah yang sifatnya agape, mampu menderita dan siap mendrita. Di salib, minjung tidak lagi menjadi subyek penderitaannya, tetapi menjadi obyek penderitaan salib. Yesus mengobyekan penderitaan minjung yang mengalami ketidakadilan sosial dan eksploitasi nilai.[15]




Akhirnya, ialah bahwa, Kristus Yesus yang diimani adalah Kristus yang mentransposisikan diri-Nya sendiri sebagai minjung. Dan Ia adalah minjung itu sendiri. Ia berhidung mancung, Ia adalah yang disita harta miliknya oleh penguasa, Ia adalah yang dicemooh, ditendang, dipenjara, mengalami sakit-penyakit karena ditolak hak berobat dan ditindas. Berhadap-hadapan dengan Pilatus Korea, disalibkan sebagai kesaksian-Nya akan kebenaran. Ia telah bangkit dari antara orang mati untuk membebaskan. Dan dengan kuasa transformatif yang memerdekakan umat-Nya. umat-Nya menjadi subyek pembebasan. Bebas dari dosa, bebas secara eksistensial.




 




4.      Aksi




Berdasarkan refleksi-refleksi teologis yang dikonstruksikan oleh pada teolog Korea tersebut, maka pada substansinya terlihat beberapa perubahan dari teologi minjung, (pada khususnya pula, gereja):




ü  Allah yang turut menderita dan siap menderita, mempersiapkan minjung untuk memiliki harapan bahwa perjungan mereka adalah juga perjuangan transendental atau sebagai peristiwa bersama. Yang adikodrati menderita dan berjuang bersama yang kodrati demi transformasi sejarah kodrati. Perjuangan bersama ini memberi indikasi bahwa minjung tak pernah mati sampai skarang ini.




ü  Peristiwa-peristiwa minjung adalah peristiwa-peristiwa berdarah Allah. Darah menjadi undangan bersama para minjung untuk bersekutu bersama. Membangun persepsi bersama yang transfomatif. Para minjung diundang untuk menderita, “bagi dan bersama” Kristus.




ü  Allah yang menderita, menyadarkan dan mengembalikan subyektifitasan tiap-tiap minjung. Untuk itu, gereja yang dulunya diklim sebagai gereja penguasa, telah menjadi sadar untuk berpihak pada umat Allah. Gereja menyatakan kudeta terhadap penguasa karena kebenaran Kistus. Kemedekaan yang penuh kemerdekaan dan yang datang bersama kerajaan Allah.[16] Allah yang menyadakan adalah Allah yang memberikan hikmat.




ü  Allah yang turut menderita, membebaskan teologi, sehingga telah menjadi teologi yang membebaskan.




ü  Allah yang turut menderita dalam Kistus, menyadarkan masyarakat Korea untukbertanggung jawab secara politik sebagai buah dari keberhasilan pembangunan ekonomi dan tingginya tingkat pendidikan. Negara melepaskan intervensionismenya terhadap perekonomian (sebab pada rezim Park, orientasi negara ialah pada pembangunan perekonomian), sehingga pada bidang industri terjadi peningkatan dan menjadi salah satu prioritas perekonomian, export-oriented industry. Masyarakat merasakan demokrasi dan untuk itu menjadi pengawas pemerintahan.[17] Proses demokratisasi berlangsung.




ü  Terjadi pembangunan yang berasal dari bawah, seperti yang disampaikan Kim.[18]




ü  Dalam bidang kebudayaan, nyanyian-nyanyian Korea dan cerita-cerita rakyat dikembang secara signifikan.




ü  Dalam bidang pemerintahan, yang dulunya adalah para penguasa dan otoriter, telah pada perubahannya, telah disebut sebagai “para pembangkang”.




ü  Demikian, para minjung, dan keutuhan masyarakat menderita, yang berjuang bersama sebagai persekutuan darah Kristus, yaitu persekutuan partisipatif munuju negara Korea yang maju dalam industri dan teologi adalah otentis kontekstual.







[1] Situasi antara Korea Utara dan Korea Selatan akhir-akhir ini meningkat kembali akibat kerjasama militer antara Korea Selatan dengan USA dengan menggalang latihan militer bersama. Pada latihan ini, Korea Utara menuduh kerjasama tersebut yang menyebabkan terputus sistim jaringan komputer Korea Utara terputus secara nasional. Untuk itu, Korea Utara mengancam untuk memrangi USA, bahkan Korea Selatan bila perlu.


[2] Menurut A. A. Yewangoe, hal yang kedua ini mesti dibaca dalam rezim atau konteks pemerintahan Presiden Park Chung-Hee.


[3] http://www.borakkosong.com/2013/04/


[4] Duglas. J. Elwood. Teologi Kristen Asia, Tema-tema Tampil Ke Permukaan. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1992, 362; Popy S. Winanti, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik-Developmental State dan Tantangan Globalisasi “Pengalaman Korea Selatan” (vol. 7) . No. 2. Nov, 2003, hlm. 183-185.  Pemerintahan Park, disebut sebagai bureaucratic autoritarianism. Di bawah kekuasaan politik yang otoritarian tersebut, kekuasaan pemerintahan berpusat pada presiden dan gerakan oposisi dibatasi. Atas nama kestabilan politik (bnd. Dieter Becker) dan keamanan nasional, semua aktivitas oraganisasi, maupun persekutuan, media, serta parpol dibekukan.    


[5] A.A. Yewangoe., ibid, hlm. 131; Dieter Becker, Pedoman Dogmatika (Suatu Kompedium Singkat). Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2009, hlm. 97.


[6] Agama pada khususnya, misalkan, gereja pada saat itu dikekang oleh penguasa. Dan diapaksa membangun teologi yang memihak pada penguasa. Gereja-gereja diperbudak oleh penguasa dan kehilangan subyektifitasannya sebagai gereja yang memiliki hakikat pada keadilan sosial. A.A. Yewangoe. ibid, hlm. 158.


[7] Surya Wasita.  Asas Keadilan Sosial. Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS, 1989, hlm 14-15.


[8]  Samuel Amirtham. John S. Pobee. Teologi Oleh Rakyat; Refleksi Tentang Berteologi Dalam Jemaat.Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993, hlm. 36.


[9] Paling tidak, dalam bukunya, Kim menggunakan teks-teks ini: Markus 9:35 dan 10:44; Filipi 2:5-8; Yesaya 11:1-9. KIM Yong-Bock, Messiah and Minjung, (Hongkong: Urban Rural Mission, 1981). Dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.


[10] Dari Documents on the Struggle for Democracy in Korea, diterbitkan dan hak cipta oleh Japan Emergency Christian Conference on Korean Problems (Tokyo National Christian Council, 1975), hlm. 37-43. Dicetak ulang dengan izin. Dalam Duglas. J. Elwood,. Op, cit., hlm. 361.


[11] Dieter Becker. Op, cit., hlm. 97.


[12] A.A. Yewangoe. Op, cit., hlm.159.


[13] Ibid., hlm. 163-164.


[14] Ibid., hlm. 166-168.


[15] Choan-Seng Song. Allah yang Turut Menderita. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2008. A.A. Yewangoe., ibid., hlm. 179-182.


[16] Choan-Seng Song. Yesus dan Pemerintahan Allah. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2010, 22-26.


[17] Contoh dari era pasca Rezim militer sebagai salah satu bentuk perjuangan minjung dan teologinya pada akhir 1980-an. Poppy S. Winanti. Op, cit., hlm. 189-191.

[18] Dieter Becker., Op, cit., hlm. 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar