Rabu, 06 November 2013

REFLEKSI EKOLOGIS

SETETES DARAH REFORMASI
(Suatu Refleksi Ekologis Terhadap Darah Kristus Pada Salib)
Kemurahan salib, jangan dipakai untuk sebuah proyek moral dalam meluluskan diri menjadi benar.
“Iman bukanlah tanpa perbuatan”, Luther.

“Iman kepada Kristus tidak membebaskan kita dari perbuatan, yaitu praanggapan yang sembrono bahwa pembenaran diperoleh melalui perbuatan”. Kita dan sesama ciptaan menolak gagasan mengenai pembenaran oleh perbuatan atau prestasi moral, bukan bahwa tidak ada perbuatan yang benar atau baik yang tidak dapat dilakukan orang, atau segala perbuatan baik dapat disangkal kebaikan atau kebenarannya. Tetapi bahwa kita tidak boleh mengandalkannya sebagai ketunggalan alat keselamatan, atau pun mengharapkan keselamatan daripadanya. Ini bukan masalah “harus iman” atau “harus perbuatan”, tetapi keduanya adalah hasil pembenaran untuk bersikap terhadap alam. Dan pembenaran itu ialah oleh darah-Nya (Rm. 5:9).
Adakah orang berpikir praktis dengan keyakinan aksiomatis, bahwa dengan legitimasi suatu perbuatan adalah tindakan moral, maka upaya melakukan suatu pekerjaan baik adalah menyatakan rasa solidaritasnya terhadap ciptaan merupakan suatu usaha mencari selamat dan menyelamatkan? Tentu pikiran tersebut merupakan suatu kegagalan pertama dalam rangka wawasan reformatoris yang paling fundamental. Saya sendiri, bila berbicara tentang pikiran-pikiran yang tersalib, selalu merujuk pada Tuhan yang tersalib (1 Kor. 2:2). Misalkan, Paulus dalam berteologi, akan selalu betolak dari preseposisi iman kepada Seorang Anak Manusia yang berdarah, yaitu Kristus. Saya memahami secara keseluruhan, bahwa ada banyak usaha teologis dalam mengalihkan pemahaman bahwa telah terjadi “kelupaan” dan “ketidakpedulian” iman terhadap situasi ekologis komtemporer. Yang dimaksud adalah bahwa ke-hari-ini-an teologi tentang salib belum kokoh sebagai sentral reflektif akan lingkungan atau alam ini. Memaknai istilah Tillich, ultimate concern dalam situasi kini dan di sini, terhadap refleksi mendalam tentang salib Kristus sebagai anugerah yang memulihkan alam dan memperbaharuinya. Saya melihat bahwa yang menjadi sebuah concern of faith di sini adalah bahwa, alam ini sementara menjerit, berduka. Jeritan dan kedukaan itu telah menjadi keprihatinanan dari puncak tertinggi Golgota, yaitu salib Kristus.
Kedukaan alam bukan berarti bahwa dirinya sedang dan akan terus disakiti. Melainkan bahwa dirinya hampir tidak dipedulikan oleh sesamanya, manusia. Jeritan alam dalam tangisannya mengindikasikan bahwa kemerosotan moral kian tinggi. Banyak hal dapat dilupakan ketika orientasi moral tertuju pada perlakuan bejat kapitalis serta mental materialistik. Berbagai terapan-terapan ilmu dan teknologi, eksploitasi tubuh alam dalam berbagai bentuk, penebangan dan pembakaran hutan. Semuanya merusak kian banyak ekosistim, membunuh berbagai spesis, mencela biosfer dan merampas hak hidup sesama ciptaan. Ini fakta moral. Sekian banyak penyakit mengalami evolusi dan berbahaya bagi kehidupan, peralihan-peralihan rupa relief bumi pada suatu wilayah geografis tertentu terus terjadi. Semua ini timbul menjadi jeritan dan kedukaan alam ini. Dari sini, saya berkesimpulan bahwa jeritan dan duka alam terjadi dikarenakan oleh sikap antroposentrik, yang menganggap bahwa alam patut dieksploitasi demi kepentingan manusia semata. Sedang pemeliharaannya berdasarkan sikap moral, ialah melalui etika konservasi sebagai sebuah aktivitas moralitas untuk menjadikannya tetap tersedia bagi masa depan manusia. Sedikit menyelisik, bahwa akar dari sikap atau pandangan antroposentrik ini adalah bahwa adanya tendensi konstan pada pandangan, bahwa dalam penciptaan, hanya manusialah gambar dan rupa Allah. Sedang ciptaan lainnya tidak. Serta pandangan lain seperti sebuah pandangan tentang penaklukkan alam dan penguasaan terhadap dirinya.
Secara kosmologis terhadap kelestarian manusia (bertambah banyaklah dan penuhilah bumi), serta cara-cara penyesuaian dirinya terhadap dunia alami terus dipertanyakan. Apa bentuk-benuk identifikasi diri manusia terhadap alam?
Berbagai pandangan dan keprihatinan moral manusia yang dibungkus dalam berbagai pandangan ekologis (natural-filosofis maupun agama-teologis) sampai sekarang ini sangat varian dan bermuara pada tindakan dan perbuatan moral. Walau begitu, pandangan-pandangan tersebut belum sepenuhnya mengobati luka alam ini. Bahkan ia terus menjerit kesakitan. Jeritan ini adalah jeritan krisis batin alam, sebuah krisis lingkungan. Adakah di antara manusia dapat mendengar bahwa jeritan Kristus yang tersalib adalah sebuah jeritan untuk alam, untuk keutuhan ciptaan. Bahkan jeritan itu adalah jeritan alam ini secara kosmologis. Penderitaan Kristus, di kayu salib memberi indikasi yang konsisten juga konstan pada ciptaan. Jeritan itu memanggil kesadaran, dan darah itu menuntut reaksi etis. Lihatlah darah Kristus! Darah itu merembes turun ke bawah pada palang salib, dan rembesan itu menyentuh tanah yang kian tersakiti oleh perbuatan-perbuatan yang tidak layak. Rembesan itu adalah salah satu bukti praktis bersatunya imenensi ilahi dengan alam. Sebab tanah meresap darah Yang Menderita itu, tetes demi tetes. Dengan demikian, secara konsisten, jika terjadi ketidaklayakan dengan perlakuan immoral terhadap ciptaan, bahwasanya adalah menciptakan keberdosaan terhadap tubuh dan darah Tuhan (1 Kor. 11:27). Rembesan darah itu, suci-kudus, mendamaikan, memulihkan, menebus dan memperbaharui alam ini. Bukankah itu anugerah yang mulia, yang meniadakan batas-batas keterpisahan antara manusia dengan ciptaan?
Kalimat konotatif yang menghidupkan dari darah Kristus adalah “...inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu” (ayt. 24). Lambung yang tertikam tombak, tangan yang berlubang paku, serta memar dan goresan-goresan luka berdarah pada pada tubuh dan dahi-Nya, diberikannya bagi keutuhan alam ini.
Darah Kristus menjernihkan pikiran, menghidupkan tindakan, memberi wawasan dan daya untuk serasi dengan ciptaan sebagai sesama gambar Allah. Darah Kristus memberi spiritualitas ekologis yang memberi perhatian pada aplikasi moral. Sedang, hal ini bukan berarti bahwa pada akhirnya aplikasi moral semata-mata timbul karena spiritualitas ekologis, melainkan bahwa kedua-duanya termasuk dalam dinamika iman.  Karena itu, bertolak dari darah Kristus sebagai bagian dari penderitaan-Nya, menjadikan sebuah pandangan yang pertama sekali dalam membuka wawasan yang luar biasa penting dalam rangka menjadikannya sebagai titik tolak pandangan-pandangan Kristen dalam bersikap terhadap ciptaan, terhadap alam ini. Sebab, baik masa kini tentang alam dan wajahnya dan masa depan sama saja, yaitu bahwa kesemuanya ditentukan dari pandangan mendasar kita tentang alam. Pandangan-pandangan itu adalah pandangan-pandangan iman. Dan pandangan-pandangan yang terreformasi.
Jika seseorang bertanya tentang kemanusiaannya, kesiapaannya dan statusnya berbanding kualitatif dengan alam di hadapan salib Kristus, serta penderitaan-Nya (sebagai anugerah), maka ia wajib secara konsekuen merubah padarigmanya kepada penyatuan diri ke dalam “segala sesuatu” (Kol 1:17). Sebab segala sesuatu ada di dalam Dia. Hal ini menyatakan bahwa manusia sejajar dengan alam ketika menerima anugerah Allah dalam Kristus.  Dan bila seseorang menuntut sesuatu hal tentang pencapaian moral dari dirinya, sejauh ia dikatakan telah berbuat sesuatu kepada alam sebagai sesamanya, maka ia wajib secara konsekuen, mengaku bahwa perbuatannya semata-mata hanya oleh pembenaran karena imannya mengamini karya Allah dalam Kristus serta penderitaan-Nya di kayu salib. Atau mengamini darah-Nya. Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa pengharapan untuk kelestarian kehidupan ini bukan datang dari reaksi moralitas manusia yang buta, tetapi dari salib dan darah Kristus. Untuk itu, “iman bukan tanpa pengharapan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar