Definisi Teologi
Teologi
berasal dari dua kata Yunani Θέος = Tuhan dan Λογος = firman, pengajaran, atau
studi. Secara etimologis teologi berarti "pengajaran tentang allah"
atau "studi mengenai Allah". Dalam pemahaman orang Yunani, kata
teologi menunjuk pada pengajaran-pengajaran dari para filsuf atau penyair
mengenai Allah, khususnya pengajaran tentang Allah yang diuraikan dalam sistem
pengetahuan manusia dan alam.[1]
Ini beda dengan kesaksian tentang Allah yang mengemuka dalam Alkitab bertolak
dari pemahaman orang Yahudi. Dalam Alkitab gambaran tentang Allah lahir dari
pengalaman sehari-hari orang Yahudi sehingga bersifat konkret. Sementara dalam
pandangan Yunani terdapat banyak aspek metafisik dan abstrak.
Dalam
pemahaman orang Kristen, kata teologi mengalami perubahan makna. Teologi tidak
lagi dipahami sebagai percakapan mengenai Allah, tetapi sebagai penjelasan
rasional mengenai penyataan Allah. Nico Syukur Dister OFM (1990:17) memahami
teologi sebagai "pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis, dan
koheren tentang apa yang diimani sebagai wahyu Allah atau berkaitan dengan
wahyu itu." Selanjutnya, beliau menegaskan bahwa teologi harus digolongkan
ke dalam kegiatan intelektual manusia yang disebut tahu dan mengetahui
yang mencakup sensus (pengetahuan indrawi), ratio (daya berpikir
dan menalar), intellectus (intuisi rohani), dan adi-kodrati.
Definisi ini memberi
kita beberapa indikator untuk mengerjakan teologi vera, yakni teologi harus
dikerjakan secara metodis, sistematis dan koheren. Metodis artinya artinya
dalam berbicara tentang Allah kita perlu memperhatikan titik berangkat, sudut
pandangan atau pendekatan yang kita pakai maupun yang dipakai oleh Alkitab.
Sistematis artinya percakapan kita tentang Allah perlu memperhatikan langkah
dan tahapan-tahapan kronologis yang terencana dan terarah. Ada rute dan
rambu-rambu yang harus diperhatikan. Koheren menunjuk pada upaya untuk
menghubungkan dan mempertemukan tiap sudut pandang dan tahapan itu menjadi satu
kesatuan pemahaman yang utuh, saling melengkapi dan mengisi.
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap kontribusi tadi,
definisi dari Nico Syukur Dister memiliki bebarapa kelemahan. Pertama, teologi
dipahami sebagai pengetahuan adikodrati. Ini berpotensi mengabaikan pergumulan
sehari-hari manusia dan masyarakat. Teologi menjadi sesuatu yang metafisik dan
abstrak. Mendefinisikan teologi sebagai pengetahuan adikodrat membuat teologi
menjadi bisnis kalangan elit semata-mata. Ini berbeda dengan apa yang kita
jumpai dalam Alkitab. Kedua, ruang lingkup teologi terlalu terfokus pada domain
intelektual dan akademis.
Dalam
nada serupa J.A.B Jongeneel memahami dogmatik, nama untuk bidang yang cukup
penting dari teologi Kristen: "Suatu uraian sistematis mengenai iman
kristen."[2] Betapapun tidak eksplisit
disebutkan, tetapi definisi ini mengandaikan adanya perhatian terhadap
pengalaman sehari-hari, mengingat disebutkan di situ tentang iman. Tetapi pada
sisi lain, seperti pada definisi sebelumnya, dalam definisi ini pun tekanan
sangat besar diberikan pada akal budi manusia. Hal ini baik, tetapi karena akal
budi hanya salah satu dimensi dari kehidupan manusia maka kami beranggapan
bahwa definisi ini belum sepenuhnya menampung keseluruhan dinamika dan realitas
dari teologi itu sendiri.
John
Macquarrie memahami teologi sebagai sebuah studi atau percakapan yang berusaha
mengungkapkan isi dari sebuah pergumulan iman dalam bahasa yang jelas dan
koheren. Upaya ini hanya mungkin jika dilakukan melalui partisipasi dalam iman
yang akan diuraikan itu.[3]
Definisi
ini sudah lebih dinamis dan komprehensif dibanding dua definisi yang pertama.
Dalam definisi ini pengalaman konkret manusia mendapat tempat yang penting dan
ikut menentukan dalam tugas berteologi. Meskipun begitu gambaran tentang
bentuk-bentuk apa saja yang bisa dipakai untuk mengungkapkan iman itu belum
disebutkan dengan jelas. Definisi ini juga mengesankan dengan sangat kuat bahwa
teologi adalah bisnisnya kaum elit intelektual dan melulu merupakan domainnya
para akademisi.
Menurut
pendapat saya, definisi-definisi tentang teologi yang menekankan dengan sangat
kuat sisi intelektualitas dan akademik. Itu sebabnya hasil-hasil karya teologi
gereja-gereja kita terkesan sangat berat dan serius. Teologi membuat wajah
orang-orangnya berkerut dan tanpa senyum.
Ini
bertentangan dengan hakikat teologi sebagai ilmu yang mendatangkan sukacita.
Ya, teaologi adalah ilmu yang mendatangkan sukacita dan membuat orang
tersenyum. Mengapa tidak? Bukankah dalam teologi kita berbicara tentang Allah
yang mengasihi kita? Bukankah dalam teologi kita berurusan dengan injil yang
adalah kabar sukacita? Sayang sekali karena kita kehilangan sukacita dalam
teologi dan jarang sekali tertawa waktu memberitakan dan mendengarkan injil.
Mengapa? Karena kita lebih banyak memahami teologi sebagai bisnis karya
akademik. Teologi menjadi berat dan sarat dengan logika yang berbelit-belit.
Karya
berteologi yang lebih banyak memberi tekanan kepada sisi akademik dan
intelektual lebih tepat disebut dogmatika yang adalah salah satu bidang dalam
studi teologi. Teologi sendiri lebih luas dari dogmatika. Ia tidak hanya
bersentuhan dengan inteletualitas manusia, tetapi juga dengan sikap atau rasa
keindahan (estetika), ketepatan dan kepatutan (etika) serta kebisuan manusia
(mistis). Teologi karena itu merupakan sebuah tanggapan manusia terhadap akta
penyataan Allah dengan melibatkan seluruh aktivitas indrawi. Teologi dapatlah
kita sebut sebagai sebuah ungkapan cinta kasih dari Gereja terhadap Allah
dengan berbagai akta simbolis.
Dalam
arti ini teologi tidak hanya muncul dalam bentuk sebuah uraian sistematis
mengenai iman kristen dan di ruang kelas atau dalam buku-buku yang berat dan
tebal, tetapi teologi dapat juga terkristalisasi dalam sebuah cerita (narasi),
lukisan, nyanyian, tarian, sajak atau puisi bahkan juga dalam bentuk hidup
kepatuhan akan perintah Allah yang penuh kebisuan seperti yang ditampilkan
Yusuf tunangan Maria ibu Yesus. Teologi tidak hanya ditemukan di ruang-ruang
kuliah. Di sawah dan kebun para petani yang bersukacita atas hasil panen
sehingga mulailah mereka bernyanyi, menari dan berpantun kita juga menemukan di
situ pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang Allah.
Teologi Sebagai Habitus
Keberatan
umum kami terhadap ketiga definisi tadi adalah sebagai berikut. Tiga definisi
yang kami tunjukkan memperkenalkan kepada kita teologi sebagai sebuah disiplin
yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan latar belakang pendidikan
khusus. Kami tidak menyangkali hal ini. Tetapi menurut kami teologi bukan
sekedar sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Teologi adalah sebuah habitus,
atau sikap dan perilaku hidup manusia.[4] Ia
adalah menyangkut kehidupan manusia. Sebagai habitus teologi bisa
dilakukan setiap orang percaya dan muncul dalam berbagai bentuk.
Karena
teologi adalah sebuah habitus maka ia bukan melulu acta cognito
yang bersangkut-paut dengan kepala manusia saja. Ia juga bertautan dengan
manusia seutuhnya. Teologi adalah akta manusia seutuhnya melibatkan keseluruhan
eksistensi manusia.[5] Kami tidak menolak peran
rasio dalam berteologi, tetapi kami menganggap itu tidak cukup. Robert Screiter
menunjukkan salah satu keterbatasan teologi yang memberi tekanan berat pada
aspek intelektual. Ia menulis sebagai berikut: “Banyak gereja lokal mengakui
bahwa kepemimpinan yang terbina di universitas-universitas luar negeri tidak
selalu membawa persilangan gagasan baru, melainkan kadang-kadang penindasan
terhadap gagasan lokal.”[6]
Keberatan ini sejalan dengan pikiran
Song berikut ini. Semua definisi tadi memberi tekanan pada aspek intelektual
dan knowledge yang kognitif. Teologi dalam arti seperti ini oleh
Choan-Seng Song aktivitas yang berkonsentrasi di kepala.[7]
Teologi seperti itu hanya mempunyai kepala, sangat teoritis dan melelahkan. Padahal
menurut dia, teologi yang sejati harus melibatkan manusia secara utuh dan
bulat. Ia merupakan upaya menjajaki dan menggalami makna Allah dalam
penderitaan dan pengharapan umat manusia yang tercermin dalam
kebudayaan-kebudayaan, sejarah-sejarah dan agama-agama.[8]
Makna Allah tadi tidak hanya bisa
dipahami oleh otak atau kepala saja. Makna itu juga dikenal oleh mata, telinga,
mulut, hidung, dan kulit. Seluruh panca indra manusia merupakan antena-antena
yang dilengkapi dengan kapasitas menangkap sinyal-sinyal Allah dalam
kebudayaan-kebudayaan, sejarah-sejarah, dan agama-agama yang bermakna bagi
hidup.
Teologi yang melibatkan seluruh panca
indra ini, tidak hanya sekedar ilmiah, tetapi juga indah. Mata melihat
kecantikan makna Allah itu, telinga mendengar kemerduannya, lidah dapat
mengecap manisnya makna, indra perasa kita (kulit) menyukai kehangatannya. Dan
akhirnya indra pembau, yakni hidung mengendus aroma semerbak wangi dari bau
makna Allah itu. Teologi yang hanya memiliki kepala membuat penjajakan kita
terhadap “makna-Allah” terjatuh dalam bahaya lebenfreimheit (terasing dari hidup).
[2] Prof. Dr. J.A.B.
Jongeneel, Pembimbing ke dalam Dogmatik Kristen, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia). hal. 15.
[3] John Macquarrie,
Principles of Christian Theology. Revised Edition (London: SCM Press LTD,
1977), hal. 1.
[4] Pieter C. Hodgson
& Robert H. King. Readings in Christian Theology.
Philadelphia: Fortress Press. 1985., hal. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar