Rabu, 13 November 2013

DEFINISI TEOLOGI



Definisi Teologi
          Teologi berasal dari dua kata Yunani Θέος = Tuhan dan Λογος = firman, pengajaran, atau studi. Secara etimologis teologi berarti "pengajaran tentang allah" atau "studi mengenai Allah". Dalam pemahaman orang Yunani, kata teologi menunjuk pada pengajaran-pengajaran dari para filsuf atau penyair mengenai Allah, khususnya pengajaran tentang Allah yang diuraikan dalam sistem pengetahuan manusia dan alam.[1] Ini beda dengan kesaksian tentang Allah yang mengemuka dalam Alkitab bertolak dari pemahaman orang Yahudi. Dalam Alkitab gambaran tentang Allah lahir dari pengalaman sehari-hari orang Yahudi sehingga bersifat konkret. Sementara dalam pandangan Yunani terdapat banyak aspek metafisik dan abstrak.
            Dalam pemahaman orang Kristen, kata teologi mengalami perubahan makna. Teologi tidak lagi dipahami sebagai percakapan mengenai Allah, tetapi sebagai penjelasan rasional mengenai penyataan Allah. Nico Syukur Dister OFM (1990:17) memahami teologi sebagai "pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis, dan koheren tentang apa yang diimani sebagai wahyu Allah atau berkaitan dengan wahyu itu." Selanjutnya, beliau menegaskan bahwa teologi harus digolongkan ke dalam kegiatan intelektual manusia yang disebut tahu dan mengetahui yang mencakup sensus (pengetahuan indrawi), ratio (daya berpikir dan menalar), intellectus (intuisi rohani), dan adi-kodrati.
            Definisi ini memberi kita beberapa indikator untuk mengerjakan teologi vera, yakni teologi harus dikerjakan secara metodis, sistematis dan koheren. Metodis artinya artinya dalam berbicara tentang Allah kita perlu memperhatikan titik berangkat, sudut pandangan atau pendekatan yang kita pakai maupun yang dipakai oleh Alkitab. Sistematis artinya percakapan kita tentang Allah perlu memperhatikan langkah dan tahapan-tahapan kronologis yang terencana dan terarah. Ada rute dan rambu-rambu yang harus diperhatikan. Koheren menunjuk pada upaya untuk menghubungkan dan mempertemukan tiap sudut pandang dan tahapan itu menjadi satu kesatuan pemahaman yang utuh, saling melengkapi dan mengisi.
            Tanpa mengurangi apresiasi terhadap kontribusi tadi, definisi dari Nico Syukur Dister memiliki bebarapa kelemahan. Pertama, teologi dipahami sebagai pengetahuan adikodrati. Ini berpotensi mengabaikan pergumulan sehari-hari manusia dan masyarakat. Teologi menjadi sesuatu yang metafisik dan abstrak. Mendefinisikan teologi sebagai pengetahuan adikodrat membuat teologi menjadi bisnis kalangan elit semata-mata. Ini berbeda dengan apa yang kita jumpai dalam Alkitab. Kedua, ruang lingkup teologi terlalu terfokus pada domain intelektual dan akademis.
          Dalam nada serupa J.A.B Jongeneel memahami dogmatik, nama untuk bidang yang cukup penting dari teologi Kristen: "Suatu uraian sistematis mengenai iman kristen."[2] Betapapun tidak eksplisit disebutkan, tetapi definisi ini mengandaikan adanya perhatian terhadap pengalaman sehari-hari, mengingat disebutkan di situ tentang iman. Tetapi pada sisi lain, seperti pada definisi sebelumnya, dalam definisi ini pun tekanan sangat besar diberikan pada akal budi manusia. Hal ini baik, tetapi karena akal budi hanya salah satu dimensi dari kehidupan manusia maka kami beranggapan bahwa definisi ini belum sepenuhnya menampung keseluruhan dinamika dan realitas dari teologi itu sendiri.
          John Macquarrie memahami teologi sebagai sebuah studi atau percakapan yang berusaha mengungkapkan isi dari sebuah pergumulan iman dalam bahasa yang jelas dan koheren. Upaya ini hanya mungkin jika dilakukan melalui partisipasi dalam iman yang akan diuraikan itu.[3]
          Definisi ini sudah lebih dinamis dan komprehensif dibanding dua definisi yang pertama. Dalam definisi ini pengalaman konkret manusia mendapat tempat yang penting dan ikut menentukan dalam tugas berteologi. Meskipun begitu gambaran tentang bentuk-bentuk apa saja yang bisa dipakai untuk mengungkapkan iman itu belum disebutkan dengan jelas. Definisi ini juga mengesankan dengan sangat kuat bahwa teologi adalah bisnisnya kaum elit intelektual dan melulu merupakan domainnya para akademisi.
          Menurut pendapat saya, definisi-definisi tentang teologi yang menekankan dengan sangat kuat sisi intelektualitas dan akademik. Itu sebabnya hasil-hasil karya teologi gereja-gereja kita terkesan sangat berat dan serius. Teologi membuat wajah orang-orangnya berkerut dan tanpa senyum.
          Ini bertentangan dengan hakikat teologi sebagai ilmu yang mendatangkan sukacita. Ya, teaologi adalah ilmu yang mendatangkan sukacita dan membuat orang tersenyum. Mengapa tidak? Bukankah dalam teologi kita berbicara tentang Allah yang mengasihi kita? Bukankah dalam teologi kita berurusan dengan injil yang adalah kabar sukacita? Sayang sekali karena kita kehilangan sukacita dalam teologi dan jarang sekali tertawa waktu memberitakan dan mendengarkan injil. Mengapa? Karena kita lebih banyak memahami teologi sebagai bisnis karya akademik. Teologi menjadi berat dan sarat dengan logika yang berbelit-belit.
          Karya berteologi yang lebih banyak memberi tekanan kepada sisi akademik dan intelektual lebih tepat disebut dogmatika yang adalah salah satu bidang dalam studi teologi. Teologi sendiri lebih luas dari dogmatika. Ia tidak hanya bersentuhan dengan inteletualitas manusia, tetapi juga dengan sikap atau rasa keindahan (estetika), ketepatan dan kepatutan (etika) serta kebisuan manusia (mistis). Teologi karena itu merupakan sebuah tanggapan manusia terhadap akta penyataan Allah dengan melibatkan seluruh aktivitas indrawi. Teologi dapatlah kita sebut sebagai sebuah ungkapan cinta kasih dari Gereja terhadap Allah dengan berbagai akta simbolis.
          Dalam arti ini teologi tidak hanya muncul dalam bentuk sebuah uraian sistematis mengenai iman kristen dan di ruang kelas atau dalam buku-buku yang berat dan tebal, tetapi teologi dapat juga terkristalisasi dalam sebuah cerita (narasi), lukisan, nyanyian, tarian, sajak atau puisi bahkan juga dalam bentuk hidup kepatuhan akan perintah Allah yang penuh kebisuan seperti yang ditampilkan Yusuf tunangan Maria ibu Yesus. Teologi tidak hanya ditemukan di ruang-ruang kuliah. Di sawah dan kebun para petani yang bersukacita atas hasil panen sehingga mulailah mereka bernyanyi, menari dan berpantun kita juga menemukan di situ pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang Allah.

Teologi Sebagai Habitus
            Keberatan umum kami terhadap ketiga definisi tadi adalah sebagai berikut. Tiga definisi yang kami tunjukkan memperkenalkan kepada kita teologi sebagai sebuah disiplin yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan latar belakang pendidikan khusus. Kami tidak menyangkali hal ini. Tetapi menurut kami teologi bukan sekedar sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Teologi adalah sebuah habitus, atau sikap dan perilaku hidup manusia.[4] Ia adalah menyangkut kehidupan manusia. Sebagai habitus teologi bisa dilakukan setiap orang percaya dan muncul dalam berbagai bentuk.
            Karena teologi adalah sebuah habitus maka ia bukan melulu acta cognito yang bersangkut-paut dengan kepala manusia saja. Ia juga bertautan dengan manusia seutuhnya. Teologi adalah akta manusia seutuhnya melibatkan keseluruhan eksistensi manusia.[5] Kami tidak menolak peran rasio dalam berteologi, tetapi kami menganggap itu tidak cukup. Robert Screiter menunjukkan salah satu keterbatasan teologi yang memberi tekanan berat pada aspek intelektual. Ia menulis sebagai berikut: “Banyak gereja lokal mengakui bahwa kepemimpinan yang terbina di universitas-universitas luar negeri tidak selalu membawa persilangan gagasan baru, melainkan kadang-kadang penindasan terhadap gagasan lokal.”[6]
Keberatan ini sejalan dengan pikiran Song berikut ini. Semua definisi tadi memberi tekanan pada aspek intelektual dan knowledge yang kognitif. Teologi dalam arti seperti ini oleh Choan-Seng Song aktivitas yang berkonsentrasi di kepala.[7] Teologi seperti itu hanya mempunyai kepala, sangat teoritis dan melelahkan. Padahal menurut dia, teologi yang sejati harus melibatkan manusia secara utuh dan bulat. Ia merupakan upaya menjajaki dan menggalami makna Allah dalam penderitaan dan pengharapan umat manusia yang tercermin dalam kebudayaan-kebudayaan, sejarah-sejarah dan agama-agama.[8]
Makna Allah tadi tidak hanya bisa dipahami oleh otak atau kepala saja. Makna itu juga dikenal oleh mata, telinga, mulut, hidung, dan kulit. Seluruh panca indra manusia merupakan antena-antena yang dilengkapi dengan kapasitas menangkap sinyal-sinyal Allah dalam kebudayaan-kebudayaan, sejarah-sejarah, dan agama-agama yang bermakna bagi hidup.
Teologi yang melibatkan seluruh panca indra ini, tidak hanya sekedar ilmiah, tetapi juga indah. Mata melihat kecantikan makna Allah itu, telinga mendengar kemerduannya, lidah dapat mengecap manisnya makna, indra perasa kita (kulit) menyukai kehangatannya. Dan akhirnya indra pembau, yakni hidung mengendus aroma semerbak wangi dari bau makna Allah itu. Teologi yang hanya memiliki kepala membuat penjajakan kita terhadap “makna-Allah” terjatuh dalam bahaya lebenfreimheit (terasing dari hidup).


[1] Stanley J. Grenz, Theology for the Community of God, (UK: Paternoster Press, 1994), hal. 3.
[2] Prof. Dr. J.A.B. Jongeneel, Pembimbing ke dalam Dogmatik Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia).  hal. 15.
[3] John Macquarrie, Principles of Christian Theology. Revised Edition (London: SCM Press LTD, 1977), hal. 1.
[4] Pieter C. Hodgson & Robert H. King. Readings in Christian Theology. Philadelphia: Fortress Press. 1985., hal. 5
[5] ibid, hal. 16.
[6] Robert J. Shcreiter. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991. hal. 64.
[7] Choan-Seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989. hal. 88.
[8] Ibid, hal. 87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar